OLEH : MUHAMMAD AINUN NADJIB
Semakin banyak orang tahu bahwa dunia ini bergerak menuju “Indonesia harus terus hidup, tapi jangan sampai besar dan kuat. Negara Indonesia harus lemah, bangsa Indonesia harus kerdil”.
Maka orasi seorang tokoh tua di sebuah “rapat gelap” ini mungkin justru merupakan ungkapan cinta yang mendalam dan pembelaan kepada Indonesia:
“Kita bangsa Indonesia jangan sampai berhenti berjuang sebelum Indonesia benar-benar total kehilangan Indonesianya. UUD perlu kita amandemen terus sampai berapa kalipun sampai kelak nasionalisme dan kedaulatan keIndonesiaan terkikis habis”.
“Setiap bikin undang-undang baru, peraturan-peraturan baru, di lembaga kenegaraan sebelah manapun, di tingkat paling atas sampai bawah, sebaiknya dipastikan menuju proyek besar sejarah de-nasionalisasi Indonesia hingga titik paling nadir”.
“Demikian juga policy dan penanganan segala bidang: perdagangan, pertanian, perpajakan, pendidikan, kebudayaan, sampaipun cara berpikir dan selera makan, hendaknya jangan memanjakan ke-Indonesiaan. Bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang dengan ketangguhannya siap ditimpa dan memikul ujian-ujian sangat berat yang tak mungkin dipanggul oleh bangsa-bangsa lain”.
“Pemimpin bangsa berikutnya haruslah lebih buruk. Nasionalisme Indonesia harus dihajar habis sampai tingkat kematian yang memungkinkan ia lahir kembali. Kita memerlukan tempo yang lebih tinggi untuk menyelenggarakan kehancuran, kebobrokan dan kebusukan — bangsa kita amat sangat tahan derita, sanggup hidup nyaman dalam kebusukan, bahkan mampu hidup sebagai kebusukan itu sendiri”.
“Dialektika Penghancuran Nasional harus dipacu habis. Kokohkan setiap pemerintahan sebagai perusahaan yang memanipulasi dan mengeksploitasi rakyatnya. Proyek penjualan tanah air dengan segala kekayaannya harus dijadikan ideologi utama”.
Pasti itu bukan pernyataan politik. Bukan anjuran sejarah. Itu jeritan orang patah hati.
Kalau Negara rusak, pemerintahan penuh dusta, sistem bobrok dan prinsip nilai jungkir-balik: yang terutama menangis adalah “orang”. Adalah “manusia”. Adapun Negara, pemerintah, ssstem, nilai, tak bisa menangis, tak bisa bersedih. Juga tak menanggung apa-apa. Yang menanggung duka derita adalah manusia.
Jadi tulisan ini tak lebih hanyalah tegur sapa dengan sesama manusia, dengan derita hatinya, tangisnya, sepi dan bisunya.
Dan apa boleh buat, kalau menyapa manusia, tidak mungkin dilakukan tanpa menyapa juga pihak yang bikin manusia: Tuhan. Kemudian juga IBlis, “hulu” derita ummat manusia.
Iblis berkata : “Tahukan engkau, Muhammad, aku adalah asal usul dusta. Aku adalah makhluk pertama yang berdusta. Para pendusta di bumi adalah sahabatku. Dan mereka yang bersumpah kemudian mendustakan sumpah itu, mereka adalah kekasihku”.
Kurang jelaskah pemandangan wajah Indonesia sekarang ini di kalimat Iblis itu? Kurang tampakkah, sosok pemerintahan Indonesia, tradisi mental banyak pejabatnya, pengkhianatan terhadap amanat kerakyatannya, juga manipulasi kebijakan yang sangat tidak bijak — pada pernyataan Iblis itu?
Dan, pen “citra” an, apakah gerangan ia kalau bukan dusta? Siapakah yang memamerkan wajahnya, menyorong punggungnya, menyodorkan dirinya untuk menjadi pemimpin, selain sahabat dan kekasih Iblis?
Iblis tidak berjarak dengan diri kita, dengan karakter budaya, politik dan pasar sejarah kita. Malah Tuhan yang jaraknya cenderung semakin menjauh dari kita, kecuali pas kita perlukan untuk memperoleh keuntungan atau mentopengi muka.
Akan tetapi dalam kehidupan kita Iblis bukan fakta. Ia hanya simbol. Idiom. Icon. Hanya abastraksi untuk menuding “kambing hitam”. Atau Tuhan kita perlukan untuk kapitalisasi karier, bisnis pendidikan, usaha dagang sedekah dan industri zakat, kostum religi perbankan dan bermacam-macam lagi dusta liberal penyelenggaraan kapitalisme kita.
Tuhan juga makin jadi “dongeng”. Segera Ia akan masuk daftar dongeng sesudah Malaikat dan dan Iblis. Peta mitos. Khayalan tentang suatu pemahaman yang disepakati istilahnya: Iblis, Setan, Dajjal, sebagaimana abstraksi kata Bajingan, Bangsat, Dancuk, Anjing. Sebab pada makian “Anjing!” yang dimaksud bukan benar-benar anjing. Anjing adalah binatang yang baik, tidak pernah berdosa, tidak pernah berbuat jahat dan tidak ada statemen Tuhan yang menyatakan bahwa anjing masuk neraka. Bahkan dalam faham pewayangan malah Puntadewa atau Prabu Dharmakusuma yang hidupnya sangat ikhlas dan sumeleh, tidak bisa naik ke langit yang lebih tinggi sementara anjingnya melaju ke sana.
Iblis dipahami sebagai simbol, tidak sebagai fakta. Itupun wilayah berlakunya simbolisasi Iblis tidak dipetakan secara memadai. Iblis diidentifikasi sebagai “idiom” untuk menyebut segala jenis keburukan dan kejahatan manusia — dan itu tidak sepenuhnya benar. Sedangkan “arupadatu” di Borobudur pun fakta, tak hanya “rupa datu” yang tampak oleh mata, yang tergolong “Ilmu Katon”: pemahaman tentang segala sesuatu yang bisa dilihat dengan mata. Iblis sendiri tidak sepenuhnya tinggal di wilayah “arupadatu”. Ia sangat faktual di “rupadatu”, sebab ia berada pada syariat utama kehidupan manusia, yakni darah yang mengalir di dalam tubuhnya.
“Kamu Muhammad”, kata Iblis suatu hari, “tak akan bisa berbahagia dengan ummatmu, karena aku bisa memasuki darah mereka tanpa mereka bisa menemukanku”. Iblis melanjutkan, “aku minta kepada Allah agar menganugerahiku kemampuan untuk mengalir di dalam darah manusia, dan Allah menjawab Silahkan!”.
Sebentar. Yang menyuruh Iblis datang ke Muhammad adalah Tuhan sendiri. Yang disuruh itu lazimnya adalah anak buah. Dan kalau musuh tidak pada tempatnya menyuruh musuh. Allah menginstruksikan agar Iblis tidak berdusta kepada Muhammad, menjawab pertanyaan dengan jujur, serta membuka semua rahasia tugasnya dari Allah di medan kehidupan manusia.
Coba ingat kata-kata Iblis “Akulah makhluk pertama yang berdusta”. Fakta dusta Iblis yang pertama adalah ia tidak mau bersujud kepada Adam. Penolakan untuk menghormati manusia ini parallel dengan pernyataan semua Malaikat kepada Tuhan: “Kenapa Engkau ciptakan manusia, yang kerjanya merusak bumi dan menumpahkan darah”. Andai di-kalimat-kan, Iblis meneruskan: “Maka aku menolak bersujud kepada Adam”.
Kemudian Allah mengizinkan Iblis yang meminta “tangguh waktu” sampai hari Kiamat, untuk kelak membuktikan bahwa setelah menjalani sekian peradaban, manusia terbukti tidak punya kelayakan untuk dihormati atau “disembah” oleh Iblis dan para Malaikat. Dan Iblis hari ini tersenyum-senyum: tak perlu nunggu sampai Kiamat, datang saja ke Indonesia tanggal berapa bulan apa saja untuk menemukan bahwa penolakan bersujud oleh Iblis itu pada hakekatnya bukan dusta.
Jadi, siapa yang lebih kompatibel dengan neraka: kita atau Iblis? Ketika ada orang berbuat jahat, kita maki “Dasar Iblis!”, secara idiomatik makian itu tidak faktual. Ketika 70.000 anak-anak Iblis berdebat, lantas salah satu dari mereka memaki “Dasar manusia!”, itu bisa jadi itu malah benar dan jujur.
Kayaknya salah satu kesalahan manusia yang paling serius adalah memanipulasi Iblis. Padahal seluruh keburukan yang kita ludahkan itu bukan bikinan Iblis, melainkan produk keputusan kita sendiri.
“Aku tidak diberi kemampuan oleh Allah untuk menyesatkan manusia”, kata Iblis lagi kepada Muhammad, “Aku hanya membisiki dan menggoda. Kalau aku dikasih kuasa untuk menyesatkan manusia, maka tak akan tersisa satu orangpun yang tidak menjadi pengikutmu. Sebagaimana engkau Muhammad, tak ada kemampuanmu untuk memberi hidayah kepada manusia. Engkau hanya berhak dan mampu menyampaikan, tetapi tak bisa mengubah hati manusia. Sebab kalau kau dianugerahi kesanggupan untuk memberi hidayah, tak akan ada satu orangpun yang menjadi pengikutku”.
Begitu banyak — mengacu ke Borobudur — fakta “rupadatu” pada kehidupan manusia yang mata mereka tak melihatnya. Udara yang ia hirup, suaranya sendiri, bahkan mata tidak mampu melihat mata, paling jauh ia melihat bayangannya di cermin, tapi bukan diri mata itu sendiri. Jangankan lagi dengan semakin canggihnya teknologi ultra-modern sekarang: kita bingung siaran televisi itu berasal dari “rupadatu”, diantarkan oleh “arupadatu”, ditangkap dan diekspressikan secara “rupadatu”. Belum lagi ke kerjaan frekwensi yang lain: software di komputer, lalulalang Sms, Bbm, unduh ini unggah itu. Dulu saya menyangka telegram itu dikirim kertasnya meluncur nyantol lewat kabel-kabel sepanjang jalan. Se-nyata dan se-faktual itulah Iblis dalam kehidupan kita, bahkan di dalam diri kita, bahkan ia mengalir di dalam darah kita.
Maka sebagaimana formula “casting” Iblis, orasi tokoh tua kita di atas tepatnya dipahami tidak dengan logika linier. Ia suatu lipatan, mungkin dialektika berpikir yang zigzag, mungkin spiral, mungkin siklikal. Kalimat seniman kita “Nasionalisme Indonesia harus dihajar habis sampai tingkat kematian yang memungkinkan ia lahir kembali” adalah sisipan cita-cita mulia di tengah deretan pernyataan yang seolah-olah mendorong kita ke kehancuran.
Muhammad bertanya, “Siapa temanmu?”
Iblis menjawab, “Para pemakan riba”. Sangat jelas mappingnya di Indonesia.
“Siapa tamumu?”
“Para pencuri”. Sampai-sampai diperlukan KPK, yang kita doakan segera bubar, yakni sesudah Kepolisian Kejaksaan Kehakiman bisa dipercaya untuk menangani perilaku tamu-tamu Iblis.
“Siapa utusanmu?”
“Tukang-tukang sihir”. Sihir pemikiran, cara berpikir, peta manipulasi wacana berpikir, di Sekolah, Kampus, semua media wadah pemikiran.
“Siapa teman tidurmu?”
“Para pemabuk”. Mabuk idolatri, mabuk tayangan-tayangan, mabuk artis-artisan, Ustadz-ustadzan, Gus-Gusan, Kiai-Kiaian… yang terbuat dari plastik… seperti mobil-mobilan untuk kanak-kanak di pasar Kecamatan.
Iblis juga menyindir kita: “Gosip dan adu-domba adalah hobiku”.
Ada baiknya kita undang Iblis menjadi narasumber rembug nasional, dengan syarat: “Aku mendatangi semua manusia, yang bodoh maupun pintar, yang durjana atau yang salah, yang bisa membaca atau buta huruf. Semuanya, kecuali orang ikhlas”.
Yogya 25 September 2012
Dimuat di Kolom, Majalah Gatra No. 49 XVIII 11 Oktober – 17 Oktober 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar