Perilaku masa kecil Kyai Mundzir wajar-wajar saja, sebagaimana anak kecil pada umumnya, walau kadang memperlihatkan pola tingkah yang tidak lumrah atau nganeh-nganehi, yang di dunia pesantren bisa di istilahkan dengan kata khorikul ‘adah, pernah suatu ketika Kyai Mundzir memainkan gentong / mengangkat-angkat gentong dengan santainya, tentu hal ini mengundang keheranan dan rasa takjub bagi siapapun yang melihatnya. Rasa heran dan takjub itupun semakin menjadi tatkala gentong tersebut penuh dengan air yang bagi satu orang dewasapun umumnya belum kuat untuk mengangkatnya, namun ternyata Kyai Mundzir yang masih anak-anak itu bukan sekedar mengangkat, malah memainkanya dengan santai laksana seorang “pendekar atau jagoan kungfu” yang sedang memperlihatkan keahlianya.
Polah tingkah yang tidak wajar terjadi sampai Kyai Mundzir tumbuh dewasa. Dikisahkan oleh seorang teman dekat beliau yang saat nyantri di pesantren Semelo Perak Jombang, yaitu seorang santri yang sekarang tinggal di dusun Sido Warek Jombang. Kyai Mundzir seorang santri yang gemar ziarah ke makam-makam para wali, sebagai teman dekat santri tadi di ajak ziarah ke pesarean Mojo Agung, Jombang. Seperti biasanya perjalanan itu dilakukan dengan berjalan kaki. Namun kiranya ada yang luar biasa dalam perjalanan kali ini, karena sebelum berangkat Kyai Mundzir berpesan kepada teman akrabnya tersebut untuk tidak tolah toleh dan selalu melihat punggung beliau selama perjalanan nanti. Setelah beberapa saat dalam perjalanan, teman Kyai Mundzir merasa seakan akan melewati suatu kawasan yang banyak di tumbuhi rerumputan yang tinggi dan lebat, kang santri pun penasaran, tumbuhan apakah yang kiranya kadang menyambar di tubuhnya itu. saking penasarannya, sambil berjalan kang santri tadi sesekali memetik beberapa helai daun atau rumput, dan ia sempat memasukan daun itu ke dalam saku bajunya. Perjalananpun akhirnya sampai, setelah keperluan ziarah dan lainya selesai, Kyai Mundzir mengajak pulang seperti biasanya. Setelah sampai di kamar santri tadi segera mengambil daun yang ada dalam sakunya untuk dilihat. Namun alangkah terkejutnya kang santri tadi, karena ternyata bukan rumput yang di temukan dalam sakunya melainkan daun kelapa yang masih muda. Setelah menyadari apa yang baru saja terjadi, sambil menerawang, santri tersebut bergumam “Lha aku iki la’ diajak Gus Mundzir lewat duwure wit klopo (Lha, aku diajak Gus Mundzir lewat atasnya pohon kelapa)”.
Di suatu daerah Jombang, saat Kyai Mundzir sedang melaksanakan riyadhoh, dan sebagaimana biasa, hari itupun diisi dengan terus menerus sholat. Kebetulan di tempat itu, ada seorang santri yang bisa di bilang nakal, dan ia mengetahui bagaimana disiplinya Kyai Mundzir menjaga kebersihan. Di saat beliau sedang menunaikan sholat, santri tadi sengaja berniat ngerjai/njarag, dengan cara pakaian beliau yang di jemur di depan mushola sebagai lap. Hal itu ternyata di ketahui oleh beliau, karena itu setelah salam, beliau langsung mencuci pakaian tersebut dan kembali menjemurnya lagi, melihat hal itu, santri tadi ternyata mengulangi lagi perbuatan tersebut, lagi-lagi beliau tahu, dan mencuci serta menjemurnya lagi, dan selanjutnya kembali sholat. Namun saking nakalnya santri tadi belum puas, lalu mengulanginya sekali lagi. Saat itulah, setelah sholat, beliau mencuci pakaian tersebut, namun kali ini di jemur dengan cara yang ”nyleneh”, bagaimana tidak, usai mencuci pakaian tadi, beliau melambaikan tangan seakan memanggil pucuk pohon bambu yang berada di depan mushola, dan anehnya pula bambu itu seolah paham, karena tiba-tiba bambu itu merunduk dan selanjutnya berdiri tegak kembali, setelah jemuran pakaian beliau di titipkan pada pucuknya.
Pada saat berdirinya sebuah pesantren dan jumlah santrinya masih sedikit, hubungan antara pengasuh dan santri sangat dekat dan akrab. Terlebih lagi hubungan antar santri, sehingga yang namanya masak bersama adalah suatu kebiasaan yang paling digemari. Tidak jauh berbeda dengan kondisi Ma’unah sari tempo dulu, suatu ketika dalam acara masak bersama, Kyai Mundzir di aturi untuk kerso dahar/makan bersama, masakan “karya” bersama yang di komandani kang Sarwan, saat itu di lengkapi dengan lauk ikan lele, sungguh sebuah menu yang cukup istimewa bagi santri tempo dulu, pada saat makan bersama itu, tampak para santri menikmati masakan itu dengan nikmatnya, namun lain halnya dengan yang di rasakan Kyai Mundzir, karena beliau merasakan ikan lele tersebut sangat pahit sekali. Kemudian Kyai Mundzir bertanya kepada kang santri “Kok rasanya begini, kenapa? Pasti ada yang gak beres!” dawuh Kyai Mundzir. Setelah diusut ternyata ikan lele yang dimakan tadi berasal dari kubangan yang airnya mengalir dari rumah tetangga dan kemungkinan ikan subhat itu berasal dari sana pula.
Lain lagi cerita pada masa awal berdirinya pesantren ma’unah sari. Kegiatan yang ditekankan bukanlah mengaji kitab atau pelajaran-pelajaran yang bersifat teori, akan tetapi amalan amalan sholat sunnah dan wiridan. Sementara itu aturan pondok pun belum tersusun secara rapi, pokoknya “Opo dawuhe yai” itulah aturan. Sehingga keluyuran malam termasuk agenda harian para santri awal, salah satunya adalah seorang santri dari nganjuk. Si santri ini, saat itu tergolong santri yang “sedengan” selain senang dengan keluyuran malam, terkadang juga masih di tambah dengan acara “njaraki” anak perempuan atau melakukan hal-hal lain khas anak muda dalam “tuornya” yang terkadang tidak cocok dengan etika santri, istilahnya sembrono dan biasanya setelah larut malam rombongan santri ndableg itu melakukan agenda harianya dan seperti biasanya sampai larut malam. Anehnya ketika mereka kembali ke pondok dengan diam-diam, Kyai Mundzir sudah mapak di samping masjid seakan akan sudah tahu apa yang baru saja mereka lakukan. Sambil terus memperhatikan santri-santrinya yang habis keluyuran itu, Kyai Mundzir dawuh “Ayo kang wudhu” kang santripun menjawab “ Inggih yai” dengan rasa takut dan heran kepada kyainya itu. kemudian dengan bijaksananya, beliau memerintahkan kepada santrinya yang terkenal dengan sebutan baduine bandar kidul beserta rombonganya itu untuk sholat sunnah dan membaca istighfar sampai ribuan kali, bahkan terkadang tiada batasan.hingga nanti kalau di suruh berhenti barulah selesai hukumanya.
Pada saat peringatan haul KHR. Abdul Fattah Mangunsari Tulungagung, pernah terjadi peristiwa menarik yang bisa kita jadikan pelajaran, ceritanya begini, pada saat prosesi sedang berlangsung, saat itu hadirin sedang membaca maulid Diba’ bersama-sama, sedang Kyai Mundzir berada di makamnya Mbah Fattah. Namun ketika pembacaan Diba’ baru berjalan separo beliau mendatangi majlis tersebut sambil dawuh dawuh “Wis,wis mandeg disik ojo di teruske (Sudah sudah berhenti dulu jangan diterusin)", setelah jamaah berhenti beliau kembali lagi ke pesarean. Hadirin saling bertanya, ada apa kok Kyai Mundzir sampai menyuruh pembacaan Diba’ di hentikan? Akhirnya ada seorang kyai yang mengusulkan agar semua jamaah yang ikut majlis Diba’an itu mengambil wudhu dan memulai Diba’an dari awal lagi dengan niat sungguh-sungguh dan ikhlas, setelah usul itu dilaksanakan, kira-kira pembacaan dziba’ baru sampai pertengahan beliau mendatangi majlis itu lagi, sambil dawuh “Lha, yo ngono, sing apik, sing tenanan (Lha ya begitu yg bagus, yg benar)”.
Suatu ketika lurah pondok yang bernama Ibnu Alwan mengumandangkan adzan. Tiba-tiba beliau mendatanginya seraya menegur, “ Kamu belum wudhu ya?” spontan Ibnu Alwan terkejut dan gugup sambil menjawab, “Sampun kyai!”
“Kamu tidak perlu bohong” begitu beliau kembali menegur. Dan Ibnu Alwan pun tersipu malu, karena kenyataanya memang belum berwudhu, dan di wanti- wanti untuk tidak mengulanginya.
Di saat yang lain, ada seorang pekerja yang sedang mengecat masjid ma’unah sari. Tiba-tiba beliau mendatanginya, lalu mengusir dan menggantinya dengan orang lain. Usut punya usut, ketika mengecat tadi, si pekerja tersebut ternyata dalam keadaan hadats besar dan belum mandi jinabat. Entah dengan bagaimana beliau mengetahuinya.
Ini peristiwa yang terjadi pada dua orang keponakan beliau yang di jadikan putra angkat beliau, yakni H. Agus Thoha Yasin dan Agus Kawakib. Tatkala beliau masih muda belia, dan tentu saja belum menikah, beliau mengemukakan kepada salah seorang famili perempuan beliau, yakni ibu Nyai Rahma Dahlan yang saat itu masih gadis (ibu nyai pesantren Darul Hikam kencong baron nganjuk) bahwa kelak beliau akan berbesanan dengan ibu Nyai Rahma. Dan hal itu memang menjadi kenyataan, setelah bertahun-tahun kemudian, putri ibu Nyai Rahma tersebut yang bernama Ning Khoiriyah, akhirnya menikah dengan putra angkat beliau, Agus Kawakib.
Demikian pula dengan H. Agus Thoha Yasin. Lama sebelum Gus Thoha menikah, beliau telah mengungkapkan bahwa jodoh Gus Thoha ada di Yogyakarta. Ucapan beliau lalu di pertegas oleh KH. Mufid Mas'ud yang juga kakak ipar ibu Nyai Zuhriyah, bahwa jodoh Agus Thoha kiranya adalah putri KH. Nawawi Abdul Aziz, pengasuh pesantren An-nur Ngrukem Yogyakarta, dan itu terbukti.
·
Tidak ada komentar:
Posting Komentar