Al 'Arifubillah Almaghfurlah KH. Ahmad Shiddiq yg nama kecilnya Ahmad Muhammad Hasan lahir di Jember pada hari Ahad Legi tanggal 10 Rajab 1344 H/ 14 Januari 1926 M. Beliau adalah putra bungsu Al 'Arifubillah Almaghfurlah KH. Muhammad Shiddiq dan dari ibunya Nyai Hj. Zaqiyah (Nyai Maryam) bt. Yusuf.
Kyai Ahmad ditinggal wafat abahnya dlm usia 8 tahun. Dan sebelumnya pada usia 4 tahun beliau sdh ditinggal wafat ibunya ditengah perjalanan laut ketika pulang dari menunaikan ibadah haji. Jadi, sejak usia anak-anak, Kyai Ahmad sdh yatim piatu. Karena itu, KH. Mahfudz Shiddiq kebagian tugas mengasuh beliau, sedangkan KH. Abdul Halim Shiddiq mengasuh KH. Abdullah Shiddiq yg masih berumur 10 tahun. Ada yg menduga, bahwa bila Kyai Ahmad terkesan banyak mewarisi sifat dan gaya berfikir kakaknya yaitu KH. Mahfudz Shiddiq. Kyai Ahmad memiliki watak sabar, tenang dan sangat cerdas. Wawasan berfikirnya amat luas, baik dlm ilmu agama maupun pengetahuan umum.
Pada Munas Alim Ulama NU di Situbondo pada bulan Desember 1983, Kyai Ahmad menjelaskan makalahnya tentang "Penerimaan Azas Tunggal Pancasila bagi NU." Beliau menyampaikan pokok-pokok fikiran dan berdialog tanpa kesan apolog. Beliau mengungkapkan argumentasi secara mendasar dan rasional dari segi agama, historis maupun politik. "Pancasila dan Islam adalah hal yg dpt sejalan dan saling menunjang. Keduanya tdk bertentangan dan jangan dipertentangkan," kata Kyai Ahmad.
Lebih lanjut ditegaskan: "NU menerima Pancasila berdasarkan pandangan syariah bukan semata-mata berdasarkan pandangan politik. Dan NU tetap berpegang pada ajaran aqidah dan syariat Islam. Ibarat makanan, Pancasila itu sdh kita makan selama 38 tahun, koq baru sekarang kita persoalkan halal dan haramnya," kata Kyai Ahmad setengah bergurau penuh diplomatik.
Sungguh luar biasa, ratusan kyai yg sejak awal menampik Pancasila sebagai satu-satunya azas organisasi, berangsur-angsur berubah sikap dan menyepakatinya. Sejak saat itulah, sejarah mencatat NU menjadi Ormas keagamaan yg pertama menerima Pancasila sebagai satu-satunya azas.
Nama Kyai Ahmad melejit bak "Bintang Kejora", dlm Munas Alim Ulama NU itu. Dan tak heran, dlm Muktamar NU ke 27 di Situbondo itu, Kyai Ahmad terpilih sebagai Ro'is Aam PBNU, sedang Gus Dur terpilih sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU, bentuk pasangan yg ideal.
Duet Kyai Ahmad dan Gus Dur ternyata mampu mengangkat pamor NU ke permukaan. Beberapa kali NU bisa selamat ketika menghadapi setiap persoalan besar dan pelik berkat kepemimpinan keduanya. Semisal goncangan, ketika KH. As'ad Syamsul Arifin mengguncang NU dgn sikap mufaroqohnya terhadap kepemimpinan Gus Dur. Dlm Munas NU di Cilacap tahun 1987, Kyai As'ad menginginkan Gus Dur dijadikan agenda Munas, dan diganti. Namun demikian, Kyai Ahmad dan KH. Ali Ma'shum tampil membela Gus Dur.
Kyai Ahmad dlm posisi sulit dan menentukan itu mampu meyakinkan warga NU utk tetap kukuh dgn Khitthah NU 1926. Pada Muktamar NU ke 28 di Yogyakarta pada tahun 1989, Kyai Ahmad menegaskan pendiriannya tentang Khitthah.
"NU ibarat kereta api, bukan taksi yg bisa dibawa sopirnya kemana saja. Rel Nu sdh tetap," ujar Kyai Ahmad memberi tamsil. Dgn tamsil ini pula Muktamar NU di Yogyakarta dpt mempertahankan duet Kyai Ahmad dan Gus Dur.
Dan sepulangnya Kyai Ahmad dari Muktamar di Yogyakarta, beliau terserang penyakit Diabetes Melitus yg parah. Kyai Ahmad dirawat di RS dr. Sutomo, Surabaya. "Tugasku di NU sdh selesai," kata Kyai Ahmad pada rombongan PBNU yg membesuknya di RS dr. Sutomo. Ternyata isyarat itu benar. Tanggal 23 Januari 1991, KH. Ahmad Shiddiq wafat. Ro'is Aam PBNU yg berwajah sejuk itu menanggalkan beberapa jabatan penting yaitu anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung) dan anggota BPPN (badan Pertimbangan Pendidikan Nasional).
KH. Ahmad Shiddiq dimakamkan di kompleks makam Auliya Tambak, Mojo, Kediri. Di makam itu juga sdh dimakamkan lebih kurang 300 orang auliya sebelumnya. "Aku senang disini, besok kalau aku mati dikubur disini saja," wasiat Kyai Ahmad pada istri dan anak-anaknya. Walaupun berat hati karena jauh dari Jember, keluarganya pun merelakannya sebagai penghormatan pada bapak yg sangat dicintainya.
Ribuan kaum muslimin dan muslimat melayat ke pemakaman Kyai Ahmad. Jenazah terlebih dahulu disemayamkan di rumah duka kompleks Pesantren Ashtra Talangsari, dan keesokan harinya barulah beriring-iringan mobil berjumlah ratusan itu mengantarkannya ke tempat yg jauh tetapi menyenangkannya. Sang Bintang Kejora itu jauh dari Jember tetapi sinarnya tetap cemerlang dari pemakaman Tambak nun jauh.
Sekitar 5 tahun setelah wafatnya, tepatnya pada tanggal 9 November 1995, KH. Ahmad Shiddiq mendapatkan penghargaan "Bintang Maha Putera NARARYA", dari pemerintah dan beliau tercatat sebagai Pahlawan Nasional.
·
Tidak ada komentar:
Posting Komentar