KHITTAH NAHDLATUL ULAMA
DAN CITA-CITA PEMBENTUKAN KHAIRA UMMAH
Dengan prinsip-prinsip yang dipegangnya, Nahdlatul Ulama (NU) pada awalnya berusaha menjaga termasuk mengembangkan kepercayaan dan praktek Islam masyarakat mayoritas yang kebetulan mengikuti paham aswaja sebagai hasil dari binaan para muballigh yang bermuara pada "wali songo". Bisa dikatakan bahwa ketika NU lahir, masyarakat Islam meresponnya dengan positif dan mereka merasa sebagai anggota NU, meskipun tidak pernah secara resmi mendaftarkan diri.
Respon positif masyarakat telah meneguhkan tekad para pendiri NU untuk terus berjuang melalui organisasi baru ini. Pada sepuluh tahun pertama, pengikut NU telah mencapai 67 ribu orang yang tersebar di 68 cabang se-Indonesia. Respon masyarakat Islam Indonesia terhadap NU makin besar ketika tidak kurang dari 400 kiai bergabung dengan NU. Capaian kuantitatif tersebut mungkin melebihi jumlah anggota organisasi keagamaan lainnya yang telah lebih dulu lahir dan eksis di bumi Hindia Belanda.
Meskipun ia adalah organisasi sosial keagamaan, kelahiran NU juga dimaksudkan sebagai wadah perjuangan yang harus merespon berbagai masalah dalam masyarakat. Seperti terlihat dalam dokumen pendiriannya, NU pada awalnya menitikberatkan kepada tiga bidang; sosial, pendidikan dan perekonomian, sebagai lahan garapannya. Di bidang sosial, NU berupaya menciptakan kenyamanan masyarakat Islam dalam melakukan aktifitas ritualnya. Di samping itu, NU juga berusaha mencari jalan keluar atas problem yang dihadapi fakir miskin dan anak yatim piatu.
Di bidang pendidikan, NU berupaya meningkatkan kualitas lembaga-lembaga pendidikan pesantren , di samping juga mendorong terjadinya pembaruan dengan mendirikan madrasah atau sekolah baik di lingkungan pesantren maupun di tengah masyarakat umum. Di bidang perekonomian, NU berusaha melakukan modernisasi di bidang pertanian, perdagangan dan dan industri. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan mendirikan badan-badan usaha, seperti koperasi.
Karena NU lahir untuk mengembangkan masyarakat, dan membantu memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya, maka perkembangan masyarakat sendiri telah membawa NU untuk terlibat dalam masalah-masalah yang berbau politik, lebih-lebih masyarakat memang berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Ketika Muktamar NU XI diadakan di Banjarmasin pada bulan Juni 1936, para kiai terpaksa NU harus menjawab problem sosial mengenai eksistensi pemerintahan Hindia Belanda. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah, apakah negara Hindia Belanda (Indonesia) ini ‘darul harbi’ (dâr al-harb) atau ‘darul Islam’ (dâr al-Islâm)? Hal yang cukup mengejutkan adalah bahwa Muktamar yang didominasi oleh para kiai pesantren itu berkesimpulan bahwa negara Hindia Belanda saat itu dianggap sebagai darul Islam. Konsekuensinya, NU mempunyai kewajiban sosial, agama dan politik untuk mewujudkan tata kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam, seperti anti diskriminasi, perbudakan, keadilan, kemerdekaan menjalankan agama dan keyakinannya dan sebagainya. Pandangan akomodatif NU ini kelihatannya dipengaruhi oleh prinsip klasik yang berkembang di lingkungan pesantren yang menegaskan bahwa penguasa yang membolehkan umatnya menjalankan kewajiban agamanya lebih baik daripada fitnah (chaos) yang diakibatkan oleh aksi kekerasan. Meskipun demikian, sikap kompromistis seperti itu bisa berbalik menjadi radikal dan tidak kompromistis apabila para elite NU menilai bahwa pemerintah melakukan penyimpangan dilihat dari perspektif Islam. NU, misalnya, pernah menolak keras permintaan pemerintah pendudukan Jepang agar rakyat Indonesia melakukan saikeirei, yaitu ritual membungkukkan badan ke arah Kaisar Jepang, sehingga pemerintah pendudukan memenjarakan dua tokoh NU, yaitu KH. Hasyim Asyari dan KH. Mahfoedz Shiddiq beberapa bulan.
Persinggungan NU dengan masalah politik terus meningkat sejalan dengan perkembangan politik Belanda di tanah air. Dalam Muktamar XIII di Menes, Banten, bulan Juni 1938, terdapat peserta muktamar yang mengusulkan agar NU berusaha mendudukkan wakilnya dalam Volksraad (dewan rakyat), sebuah parlemen semu bentukan Pemerintah Hindia Belanda. Tetapi usulan ini mendapat penolakan keras dari peserta Muktamar lainnya, yang mengharapkan NU menghindarkan diri dari dunia politik dalam bentuk apapun. Meskipun NU berusaha untuk bersikap apolitik dengan menitikberatkan gerakannya di bidang sosial, ekonomi dan pendidikan, perkembangan sosial politik yang ada telah menyebabkannya tidak bisa menghindar untuk bersentuhan dengan masalah-masalah politik. Bersama-sama dengan organisasi Islam lain, NU telah mendirikan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), suatu federasi yang merespon kebijakan-kebijakan pemerintah Belanda.
Orientasi yang agak politis ini menguat ketika kekuasaan Belanda berakhir pada 1942, digantikan oleh pemerintah pendudukan Jepang. Pada bulan Nopember 1943 Nahdlatul Ulama turut serta membidani lahirnya Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia, Dewan Musyawarah umat Islam Indonesia) yang didukung oleh organisasi-organisasi Islam. Masyumi merupakan organisasi semacam holding company organisasi-organisasi Islam yang bertujuan memperkuat persatuan di antara mereka. Presiden Masyumi pertama adalah KH. Hasyim Asy’ari yang juga Rais Akbar Syuriah NU. Keterlibatan dalam Masyumi ini telah membuat NU tidak dilihat dengan sebelah mata oleh pemerintah Jepang. Pihak Jepang justru memberikan peran yang cukup kepada NU, misalnya ketika terjadi penataan ulang Shumubu (Departemen Agama). Aktifnya NU di masa pendudukan Jepang ini juga terlihat, misalnya, ketika NU membentuk barisan Hizbullah, yaitu barisan semi-militer sebagai respon terhadap wacana kemerdekaan bagi Indonesia yang dikemukakan oleh pemerintah pendudukan Jepang.
Menjelang berakhirnya kekuasaan Jepang, NU melebarkan cakupan perjuangannya dengan terjun ke dalam dunia politik praktis. Hal itu makin menguat setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya, karena wacana kemerdekaan Indonesia membutuhkan perjuangan politik oleh ormas-ormas yang ada. Setelah kemerdekaan, keterlibatan NU dalam politik tidak terhindarkan, lebih-lebih NU ikut mendirikan partai politik Masyumi bersama organisasi Islam lainnya.
Komitmen Nahdlatul Ulama untuk mempertahankan kemerdekaan RI mendapat ujian ketika tentara Inggris sudah mendarat di Jakarta pada akhir September 1945, tidak lama setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Pada tanggal 21—22 Oktober 1945, wakil-wakil cabang NU di Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya dan menyatakan bahwa perjuangan melawan Inggris merupakan jihad (perang suci), setelah beberapa kota di Jawa, termasuk kota Semarang dan Bandung jatuh ke tangan Inggris setelah melalui pertempuran yang sengit. Bahkan sebelumnya secara khusus KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa mempertahankan kemerdekaan republik dari Inggris adalah kewajiban agama bagi semua orang Islam (fardl ‘ayn). Deklarasi yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihâd ini juga meminta kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk mendeklarasikan perang suci, mengingat di Jakarta Pemerintah Republik masih menahan diri untuk melakukan perlawanan. Pemerintah waktu itu masih menginginkan penyelesaian diplomatik dan bersikap diam saja ketika bendera Belanda dikibarkan kembali di Jakarta. Resolusi Jihâd ini memperlihatkan performa NU yang tidak kompromistis secara tidak disangka-sangka.
Dari apa yang dikemukakan di atas, jelas bahwa NU secara politis bisa kompromistis dan bisa juga keras ketika melawan ketidakadilan. Seruan jihad tadi, seperti terlihat dalam pertempuran 10 Nopember 1945 bukan hanya efektif dalam menggerakkan massa untuk mempertahankan kemerdekaan, tetapi juga di luar prediksi Belanda dan Inggris yang memang dari awal mengenal NU sebagai organisasi yang cukup kompromistis dan moderat. Sikap tidak mau kompromi seperti itu, seperti diungkapkan oleh Dr. ‘Ali Sami’ Nasyar, sejarawan Mesir, juga pernah diperlihatkan dalam sikap ‘pengharaman’ memakai celana panjang yang dianggap sebagai simbol peradaban penjajah, dan sebagai gantinya masyarakat Islam diharuskan menggunakan ‘sarung’.
NU semakin menancapkan kukunya di bidang politik praktis ketika menyatakan bahwa ia secara organisatoris memisahkan diri dari Partai Masyumi pada 8 April 1952 dan beberapa bulan kemudian secara independen menyatakan diri sebagai organisasi sosial politik. Saat itu NU berpendapat bahwa ada kepentingan umat Islam tradisional yang sangat besar yang tidak terakomodir oleh parpol yang ada, dan Pemilu 1955 adalah momentum tepat dan pintu masuk untuk merealisasikan kepentingan tersebut. Dengan menjadi partai politik, NU pun menjadi peserta pemilu dan berhasil menduduki posisi ketiga setelah PNI dan Masyumi dari empat (4) besar partai yang ada (dalam posisi keempat adalah Partai Komunis Indonesia).
A. Khittah Nahdlatul Ulama
Upaya Nahdlatul Ulama berjuang lewat politik memang tidak sia-sia, karena ia berhasil menduduki peringkat ketiga dalam perolehannya pada Pemilu 1955. Tapi, keberhasilan ini berkonsekuensi pada tersedotnya seluruh tenaga dan pikiran dicurahkan ke bidang yang satu ini. Timbul penilaian dari beberapa aktivis dan para ulama NU bahwa NU semakin jauh meninggalkan bidang-bidang garapan hakikinya yang tidak kalah potensial. Pendidikan yang menjadi garapan utama NU, misalnya, seolah ditinggalkan. Kekecewaan yang muncul di kalangan para ulama NU makin membesar, karena di samping banyak garapan yang terbengkalai, juga karena para aktivis politik NU seolah kurang menjiwai kultur NU. Dalam ungkapan seorang ulama NU: “NU secara tiba-tiba dipenuhi oleh orang-orang yang tidak mengerti hakikat dan jati diri NU”. Saat itu para ulama NU kecewa melihat begitu banyaknya orang mengaku NU tetapi perilakunya tidak mencerminkan budaya NU.
Para ulama melihat bahwa di saat NU menjadi partai politik, kondisi sosial keagamaan masyarakat Islam Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat dan menggembirakan. Pemerintah mendirikan ratusan mesjid, menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Muhammad saw., dan lainnya. Tetapi, realitas tersebut tidak diimbangi dengan membaiknya kualitas keagamaan masyarakat Islam Indonesia. Banyak anggota masyarakat Islam yang tidak mempunyai komitmen keagamaan yang tinggi. Korupsi uang negara merajalela, kejahatan terjadi di mana-mana, penebangan hutan liar tanpa tindakan hukum dan moralitas masyarakat makin menurun.
Di masa Orde Baru berkuasa, hal itu telah diperparah oleh tidak sehatnya kondisi politik yang ada, karena pemerintah telah melakukan political engineering sebagai mekanisme menjaga kekuasaannya. Pada pemilu 1971, pemerintah berusaha untuk memenangkan Golkar, orpol yang dibentuknya, untuk melegitimasi kekuasaannya. Dengan dibantu kalangan birokrasi dan tentara, organisasi politik baru ini berhasil mengalahkan partai-partai lainnya. Upaya itu ditindaklanjuti dengan mengeluarkan policy “masa mengambang” (floating mass) yang berusaha membatasi dan menjauhkan masyarakat dari politik. Ini artinya, dukungan terhadap partai politik oleh masyarakat dipotong, karena masyarakat dibolehkan terlibat dalam politik hanya 5 tahun sekali, yakni waktu pemilu.
Apa yang tak kalah penting dari politik otoriter pemerintah adalah memaksa 4 partai Islam menjadi satu, yaitu menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan partai-partai yang berideologi nasionalis dan non Islam menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI), sehingga selama Orde Baru berkuasa, hanya ada 3 organisasi politik, yakni dua partai tadi plus Golkar sebagai partai pemerintah. Situasi ini tidak sehat, bukan saja karena partisipasi politik masyarakat dibatasi, tetapi juga pemerintah ikut campur dalam mengatur masalah-masalah internal partai, terutama siapa yang boleh memimpin partai. Situasi ini digambarkan oleh KH. Muchit Muzadi:
“Sistem kepartaian dan politik saat itu sudah tidak demokratis. Pemerintah hanya membatasi dua partai dan satu organisasi politik—Golkar—yang tidak mau disebut partai. Ini sistem kepartaian yang tidak sehat. Partai-partai yang berpaham nasionalis dan non muslim diringkas dan diringkus menjadi PDI. Partai-partai yang berpaham Islam diringkas dan diringkus menjadi PPP. Sedangkan UU kepartaian dan lainnya memberikan keleluasaan kepada pemerintah untuk mengatur, hingga mengatur pengurus partai sekalipun!”
Situasi ini dirasakan oleh NU sebagai tidak kondusif bagi pembangunan politik bangsa, terlebih NU sendiri telah dijadikan sasaran penggembosan oleh Orde Baru, karena NU mempunyai kekuatan massa yang sangat besar di antara kelompok dan ormas yang ada, dan cukup solid. Dengan situasi seperti ini memang berat untuk berjuang lewat kancah politik, karena dua partai yang ada, yakni PPP dan PDI menjadi tidak berdaya, mengingat Orde Baru terlalu kuat, bahkan juga ia bisa mengintervensi partai-partai tadi.
Dihadapkan pada situasi ini, di kalangan ulama dan aktivis NU muncul pikiran-pikiran untuk kembali ke khittah NU, yakni NU sebagai organisasi sosial keagamaan. Gagasan ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Sebab, sejak NU menjadi partai politik pada 1952, berbagai koreksi, kritik serta usulan telah muncul dalam upaya meluruskan NU agar sesuai dengan khittahnya. Pada Muktamar NU Ke-22 di Jakarta pada bulan Desember 1959, PC NU Mojokerto yang diwakili oleh KH. Ahmad Achyat Khalimi menggulirkan gagasan perlunya NU kembali menekuni bidang sosial keagamaan seperti terumuskan ketika NU didirikan pada 1926. Usulan itu muncul begitu saja tanpa ada penjelasan yang memadai, sehingga gagasan bagus ini diterjemahkan PBNU sebagai “warning”, sebatas mengembalikan NU kepada semangat ‘ubûdiyah pada 1926.
Gagasan yang kemudian menjadi desakan agar NU kembali menjadi organisasi sosial keagamaan ini muncul kembali pada saat berlangsung Muktamar NU ke-26 di Semarang bulan Juni 1979. Tapi, desakan yang sempat membesar dan menguat ini ternyata tidak sampai menjadi agenda pembahasan, meskipun KH. Ahmad Shiddiq berhasil menuangkan gagasannya: Risâlah khiththâh Nahdliyyah dan dibagikan kepada peserta Muktamar. Meskipun demikian, gagasan itu tetap hidup, terlebih setelah di awal 1980-an Nahdlatul Ulama mengalami goncangan hebat. Dengan alasan makin tidak signifikannya peran politik NU di PPP dan banyaknya bidang garapan sosial keagamaan yang terbengkalai akibat terlalu konsentrasi di bidang politik praktis, beberapa kalangan NU yang lebih muda melakukan gerakan-gerakan agar NU kembali ke khittahnya.
Pelopor gerakan ini adalah Majelis 24 yang terdiri dari: Abdurrahman Wahid, Musthofa Bisri, Fahmi D. Saifuddin, Muhammad Thohir, Kiai Sahal Mahfudz, Kiai Muchit Muzadi, Slamet Effendi Yusuf, Said Budairi, M. Zamroni, Mahbub Junaidi, Abdullah Syarwani, Masdar F. Mas’udi, Asip Hadi Pranata, M. Tholhah Hasan, HM. Munasir, Saiful Mudjab, Umar Basalim, Cholil Musaddad, Gaffar Rahman, Ichwan Sjam, Musa Abdillah, Musthofa Zuhad, Danial Tanjung, dan Ahmad Bagdja. Mereka mengadakan pertemuan di hotel Hasta dan membentuk Tim 7 untuk pemurnian Khittah yang diketuai oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dengan anggota Zamroni, Fahmi D. Saifuddin, Said Budairi, Ahmad Baghja, Mahbub Junaidi dan Danial Tandjung. Kemudian proses perumusan Khittah diteruskan dan mengalami penyempurnaan pada saat Munas Alim Ulama di Situbondo pada 1983.
Apa yang dilakukan Tim 7 berhasil meyakinkan banyak orang, dan menggiring bagi disepakatinya apa yang disebut ‘kembali ke khittah’. Pada Munas Alim Ulama di Situbondo bulan Desember 1983, para ulama berhasil menyepakati untuk mempertegas pokok-pokok pikiran ‘Khittah NU’. Dalam pokok-pokok pikiran tersebut dinyatakan bahwa NU adalah organisasi sosial keagamaan yang tidak berafiliasi terhadap partai politik manapun. Ini adalah penegasan sikap mengundurkan diri (dissociation) dari PPP, mengingat saat itu NU adalah salah satu unsur penting dalam partai Islam itu. Meskipun demikian, NU memperbolehkan warganya untuk berpolitik dan berafiliasi dengan partai manapun selain PPP. Meskipun pada awalnya, hasil Munas Alim Ulama ini menimbulkan kontroversi di lingkungan internal NU, tetapi rumusan tersebut berhasil di bawa ke Muktamar NU ke-27 pada 1984 di tempat yang sama (baca: Situbondo) yang melahirkan rumusan naskah Khittah Nahdlatul Ulama.
B. Gerakan Menuju Perumusan Khittah NU
Seperti sudah disebutkan di atas, keterlibatan NU dalam politik praktis telah menyebabkan terbengkalainya bidang-bidang lain yang harus digarapnya. Hampir semua tokoh NU, terutama generasi mudanya lebih memperhatikan apa yang terjadi dalam dunia politik, sehingga political mindedness mewarnai watak dan tingkah laku mereka. Semua orang bicara dan mempersiapkan diri untuk berjuang lewat politik NU. Situasi ini, secara tepat digambarkan oleh seorang tokoh NU sebagai berikut:
“Ada sebuah keluarga yang mempunyai toko di sebelah rumahnya. Keluarga itu juga punya kebun, ternak, dan lainnya. Alhasil, ia mempunyai banyak usaha. Ketika lagi trend usaha transportasi, keluarga tersebut juga membuka usaha transportasi. Maka ia membuat garasi besar tempat menyimpan mobil-mobil yang dijadikan usaha transportasinya. Dalam perkembangannya, usaha baru ini mengalami kesuksesan luar biasa, mengalahkan usaha-usaha lain yang dimilikinya. Perkembangan yang pesat itu, mengakibatkan semua anggota keluarga tersebut jatuh hati terhadap bisnis transportasi ini dan kerasan berada di garasi. Waktu pun terfokus ke usaha transportasi. Anggota keluarga yang biasanya mengurus sawah ikut berada di garasi. Anggota keluarga yang lain pun meninggalkan kebunnya, warungnya dan semuanya tertarik berada di garasi. Bahkan rumahnya pun kosong, kumuh, hingga kursi-kursi diambil orang. Semuanya tidak terurus karena sibuk berada di garasi.
Padahal tidak semua anggota keluarga yang berada di garasi itu berfungsi. Setiap hari ada anggota yang kerjaannya hanya memegang klakson, memegang setir mobil, dan lainnya. Maka pada 1959, salah satu anggota keluarga, Kiai Ahmad Achyat Khalimi Mojokerto mengusulkan agar garasinya ditutup saja, karena sawah keluarga tidak ada yang menggarap, kursi hilang semua. Anggota keluarga yang lain, KH. Idham Khalid mengatakan, “Tidak perlu ditutup, pokoknya yang biasa buka toko, ya dibuka lagi tokonya, yang lain juga begitu. Yang penting tidak semuanya berada di garasi, tapi juga harus ada yang nungguin garasi.”
Tarik menarik antar keinginan tetap terlibat dalam politik dan dorongan sebagian warga NU utnuk meninggalkan politik berakhir setelah Muktamar Situbondo mendudukkan NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang secara organisatoris tidak terlibat dalam politik. Tapi, apa yang cukup penting dari hasil Muktamar Situbondo adalah dirumuskannya Khittah NU yang bisa dijadikan landasan berkiprah warga NU.
Khittah yang berarti landasan atau garis-garis yang harus diikuti warga NU sebenarnya sudah ada sejak pertama kali NU didirikan. Ini, setidaknya bisa dilihat dari bagaimana pola pikir yang harus dipunyai warga NU sebagai penganut Ahlussunnah wal Jama’ah. Juga, NU telah merumuskan prinsip-prinsip pembentukan umat yang unggul (khayr ummah). Tetapi, rumusan ini belum secara komprehensif eksplisit, sehingga tidak mudah terbaca oleh semua warganya. Karena itu, rumusan khittah NU yang dihasilkan oleh Muktamar Situbondo adalah hasil reaktualisasi dan revitalisasi khittah NU yang biasanya baru bersarang dalam pikiran para ulama NU dan terekspresikan dalam tingkah laku mereka. Reaktualisasi artinya rumusan khittah yang ada telah disesuaikan dengan peran kelembagaan sosial yang ada, sehingga dalam khittah ini terangkum nilai-nilai yang tidak terpikirkan sebelumnya.
Rumusan Khittah NU itu sebagai berikut:
KHITTAH NU
Motto: QS. al-Mâidah: 48—49
MUQADDIMAH
a. Kesadaran atas keharusan hidup bermasyarakat dengan persyaratannya.
b. NU: Jamiyah Diniyah berfaham ahlussunnah wal jamaah, berhaluan salah satu dari madzhab empat
c. NU: gerakan keagamaan meningkatkan kualitas insan bertakwa.
d. Dalam berupaya mencapai cita-cita NU, terbentuklah kepribadian khas NU yang kemudian disebut sebagai Khittah NU.
PENGERTIAN
a. Khittah NU: Landasan berpikir, bersikap dan bertindak warga NU.
b. Landasan ini ialah faham ahlussunnah wal jamaah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia.
c. Khittah NU juga digali dari intisari sejarah NU
DASAR-DASAR FAHAM KEAGAMAAN NU
a. NU mendasarkan paham keagamaannya kepada sumber-sumber al-Quran, al-Sunnah. Al-Ijma’ dan al-Qiyas.
b. NU menggunakan “jalan pendekatan’ (al-madzhab):
1. Di bidang akidah mengikuti faham ashlussunnah wal jamaah yang dipelopori oleh Imam al-Asy’ari dan al-Maturidi.
2. Di bidang fiqih mengikuti salah satu dari madzhab empat.
3. Di bidang tasawuf mengikuti antara lain Imam Baghdadi, Imam Ghazali dan imam-imam lain.
c. NU mengikuti pendirian bahwa Islam adalah agama fitri, menyempurnakan nilai-nilai yang baik yang ada pada manusia, ciri-ciri yang baik milik sesuatu kelompok manusia dan tidak menghapusnya.
SIKAP KEMASYARAKATAN NU
a. Sikap tawasstuh dan i’tidal:
1. Sikap tengah berintikan keadilan di tengah kehidupan bersama.
2. menjadi kelompok panutan, bertindak lurus, bersifat membangun, tidak ekstrem.
b. Sikap tasamuh:
1. Toleran di dalam perbedaan pendapat keagamaan.
2. Toleran di dalam urusan kemasyarakatan dan kebudayaan.
c. Sikap tawazun:
1. Keseimbangan dalam berkhidmat kepada Allah SWT., berkhidmat kepada sesama manusia dan kepada lingkungan hidup.
2. Keselarasan antara masa lalu, masa kini dan masa depan.
d. Amar ma’ruf nahi munkar:
1. Kepekaan untuk mendorong perbuatan baik.
2. Mencegah hal yang dapat merendahkan nilai-nilai kehidupan.
PERILAKU YANG DIBENTUK OLEH DASAR KEAGAMAAN
DAN SIKAP KEMASYARAKATAN
a. Menjunjung tinggi norma-norma agama Islam.
b. Mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi
c. Menjunjung tinggi sifat keikhlasan, berkhidmah dan berjuang.
d. Menjunjung tinggi ukhuwah, ittihad dan saling mengasihi.
e. Meluhurkan akhlak karimah, menjunjung tinggi kejujuran (al-shidq) dalam berpikir, bersikap dan bertindak.
f. Menjunjung tinggi kesetiaan kepada agama bangsa dan negara.
g. Menjunjung tinggi amal (kerja dan prestasi) sebagai bagian dari ibadah.
h. Menjunjung tinggi ilmu dan ahli ilmu
i. Siap menyesuaikan diri dengan perubahan yang membawa manfaat bagi kemaslahatan manusia.
j. Menjunjung tinggi kepeloporan, mempercepat perkembangan masyarakat.
k. Menjunjung tinggi kebersamaan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.
IKHTIAR-IKHTIAR YANG DILAKUKAN OLEH NU
a. Peningkatan silaturrahmi antar ulama
b. Peningkatan kegiatan di bidang keilmuan
c. Peningkatan kegiatan penyiaran Islam, pembangunan sarana-sarana peribadatan dan pelayanan sosial.
d. Peningkatan taraf hidup dan kualitas hidup masyarakat.
FUNGSI ORGANISASI
DAN KEPEMIMPINAN ULAMA DI DALAMNYA
a. Menggunakan organisasi dengan struktur tertentu untuk mencapai tujuannya.
b. Menempatkan ulama sebagai matarantai pembawa faham aswaja pada kedudukan kepemimpinan yang sangat dominan.
NAHDLATUL ULAMA DAN KEHIDUPAN BERBANGSA
a. Dengan sadar mengambil posisi aktif, menyatukan diri di dalam perjuangan nasional bangsa Indonesia.
b. Menjadi warga negara RI yang menjunjung tinggi Pancasila/UUD 1945.
c. Memegang teguh ukhuwah dan tasamuh.
d. Mendidik untuk menjadi warga negara yang sadar akan hak/kewajibannya.
e. Tidak terikat secara organisatoris dengan organisasi politik atau organisasi kemasyarakatan manapun.
f. Warga NU adalah warga negara yang mempunyai hak-hak politik.
g. Warga NU menggunakan hak politiknya secara bertanggung jawab, menumbuhkan sikap demokratis, konstitusional, taat hukum dan mengembangkan mekanisme musyawarah.
KHATIMAH
a. Khittah NU merupakan landasan dan patokan-patokan dasar.
b. Dengan seizin Allah keberhasilan perwujudan Khittah ini tergantung kepada kegiatan para pemimpin dan warga NU.
c. Jamiyah NU akan mencapai cita-citanya dengan melaksanakan Khittah ini.
Dari apa yang dirumuskan, bisa dikatakan bahwa Khittah Nahdlatul Ulama itu secara garis besar mengandung beberapa hal penting;
1. Pembangunan masyarakat dalam bingkai Islam dan memposisikan Islam sebagai rahmah li al-‘âlamîn, yaitu agama yang dapat menjanjikan sebuah tatanan hidup damai dan sejahtera.
2. Penempatan masyarakat NU sebagai bagian dari masyarakat yang pluralistik. Dalam hal ini, NU mengutamakan penanaman nilai-nilai Islam sebagai bagian dari upaya pembangunan bangsa yang demokratis dengan mengikuti prinsip-prinsipnya yang berlaku.
3. Perujukan kepada mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) dalam pengamalan syariat Islam, dan mengacu kepada pemikiran Abu Hasan al-Asyari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam pemahaman teologi, serta mengacu pada al-Ghazali dan al-Junaidi dalam praktek tashawwuf.
4. Dominasi ulama NU, baik dalam kebijakan maupun keputusan organisasi. Dalam struktur NU pola ini diimplementasikan dalam dominasi pengurus Syuriah atas Tanfidziyah.
5. Pelaksanaan program NU sebagai organisasi dîniyyah ijtimâ’iyyah (sosial dan keagamaan), yang meliputi dakwah, pendidikan dan perekonomian.
6. Penyesuaian diri dengan perubahan dalam masyarakat dan mendorong perubahan itu sendiri.
7. Tidak terikat dengan satu partai politik manapun.
8. Ikut melakukan pendidikan politik dalam masyarakat dan mendorong demokratisasi (musyawarah).
C. Khittah NU dan Upaya Membentuk Khaira Ummah
Semenjak NU menjadi partai politik dan memfokuskan segala aktivitasnya di bidang politik praktis, banyak kalangan nahdliyyîn yang menilai bahwa di lingkungan internal NU telah terjadi kemandekan fungsionalisasi. Perasaan kolektif ini akhirnya memunculkan penilaian bahwa NU memerlukan upaya modernisasi berwatak diri sendiri. Watak otentik NU yang mempunyai irama dan tempo perubahan yang tidak pernah dapat diprediksi pada akhirnya terulang kembali. Di tengah kejumudan kehidupan perpolitikan nasional di pertengahan tahun 1980-an, NU tiba-tiba tampil membawakan harapan sebagai pangkal tumbuhnya civil society. Muktamar NU pada 1984 di Situbondo merupakan pintu masuk bagi NU untuk kembali menjadi sebuah organisasi sosial keagamaan an sich. Implementasi Khittah NU secara ideal adalah dapat dilihat dari seberapa jauh NU mampu menempatkan dirinya secara organisatoris tidak terikat dengan partai politik dan organisasi sosial masyarakat manapun. Dengan demikian NU dapat maksimal berperan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sikap tegas ini mengharuskan institusi NU meninggalkan gelanggang politik praktis dengan keluar dari PPP. Khittah NU telah melempangkan jalan kepada warga nahdliyyin untuk melakukan kerja-kerja non politik secara profesional.
Sayangnya aktivis NU yang mengerti secara utuh Khittah NU masih terbilang sedikit. Kendala terbesar untuk memahami secara benar Khittah NU adalah minimnya referensi tentang Khittah NU sendiri. Di samping itu NU juga kurang aktif dalam menyosialisasikan Khittah NU. Akibatnya masalah-masalah dasar dalam Khittah NU gagal dipahami dengan baik dan benar.
Khittah NU menyimpan obsesi terbentuknya warga nahdliyyîn sebagai umat terbaik (khayr ummah) yang dapat berperan positif di tengah-tengah masyarakatnya, sehingga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, warga nahdliyyin dapat mewarnai proses terbentuknya tatanan khaira ummah, atau dalam konteks kekinian dikenal dengan istilah masyarakat madani.
Kembali ke Khittah telah memungkinkan NU untuk menggarap lahan-lahan yang ditinggalkannya. Apa yang diidealkannya, yakni membentuk masyarakat khaira ummah (umat yang unggul) ditengok kembali. Hal terpenting yang harus dilakukan untuk menuju ke arah ideal tersebut adalah perubahan mental warga nahdliyyin agar tidak memanfaatkan Khittah NU untuk kepentingan sesaat. Apa yang dimaksud dengan perubahan mental adalah penguatan internal kaum nahdliyyin dengan mempraktekkan prinsip-prinsip dasar yang terumuskan dalam Mabâdi’ Khaira Ummah (mabâdî’ khayr ummah) yang berarti “Dasar-dasar Membentuk Masyarakat Terbaik”.
Mabadi’ Khaira Ummah adalah upaya Nahdlatul Ulama untuk lebih meningkatkan kualitas kehidupan manusia melalui pemberian perhatian yang serius pada peneguhan nilai-nilai intelektualitas dan moralitas agama serta nilai-nilai luhur budaya bangsa yang mengacu kepada kehalusan budi dan rasa, integritas pribadi, berwatak, menghargai berbagai kelebihan orang lain serta peka terhadap tanda-tanda Allah.
Gerakan Nahdlatul Ulama yang kembali berorientasi kultural secara implisit menegaskan pola pembinaan umat yang berjangka panjang. Nahdlatul Ulama meyakini untuk membentuk khaira ummah tidak mungkin dapat dilakukan dengan waktu yang singkat. Karena itu implementasi Mabadi Khaira Ummah dalam kehidupan sehari-hari akan diperjuangkan dengan pendekatan persuasif dalam konsep al-amr bi al-ma’rûf wa an-nahy ‘an al-munkar.
D. Mabadi Khaira Ummah
Kongres NU XIII tahun 1935 telah membuat kesimpulan bahwa kendala utama yang menghambat kemampuan umat untuk melaksanakan amar makruf nahi munkar dan menegakkan ajaran agama adalah kemiskinan dan lemahnya posisi ekonomi mereka. Kendala ini membuat mereka tidak mampu berdiri tegak memikul tugas ‘khaira ummah’ (umat unggul). Kongres itu kemudian memberi mandat kepada Pimpinan NU untuk mengadakan gerakan pembangunan ekonomi (economische mobilisatie) di kalangan warga NU.
Para pemimpin NU yang diberi mandat itu melihat bahwa akar kegagalan umat dalam mengembangkan kekuatan sosial-ekonomi mereka terletak pada faktor, terutama sikap mental yang mendasari cara bergaul dan berkiprah di tengah masyarakat dan dunia usaha. Ajaran-ajaran agama dari teladan Rasulullah SAW banyak dilupakan, sehingga umat kehilangan ketangguhannya.
Berdasarkan telaah atas berbagai kelemahan (penyakit) umat Islam itu, pemimpin-pemimpin NU telah menunjuk tiga prinsip dasar dari ajaran agama sebagai kunci atau obat bagi pemecahannya. Ketiga prinsip dasar itu adalah:
1. Al-Shidqu: selalu benar, tidak berdusta kecuali yang diizinkan oleh agama karena mengandung maslahat lebih besar.
2. Al-Amânah wa al-wafâ bi al-’ahd: menepati janji.
3. Al-Ta’âwun: tolong menolong di antara anggota-anggota (leden) NU khususnya dan sesama umat muslim pada umumnya.
Pimpinan NU kemudian melaksanakan gerakan penghayatan dan penerapan ketiga prinsip dasar ini, dan menyebutnya sebagai langkah awal menuju pembangunan ’khaira ummah’, atau yang kemudian terkenal dengan ’Mabadi Khaira Ummah’. Berbagai jalur komunikasi NU --di antara yang sangat efektif adalah forum Lailatul Ijtima’ di ranting-ranting-- dimanfaatkan bagi penyebarluasannya. Cabang-cabang diperintahkan untuk membuat perjanjian (bai’ah) dengan warga masing-masing untuk dengan sungguh-sungguh melaksanakan ketiga prinsip dasar tersebut. Di samping itu, dibentuk pula berbagai kegiatan usaha bersama (koperasi) sebagai media aktualisasi yang kongkrit.
Hasil gerakan ini nyata menggembirakan. Semangat berorganisasi semakin tumbuh dan berkembang, kegiatan organisasi dalam berbagai bidang semakin tampak, kesenian warga semakin kuat, dan para pemimpinnya semakin kompak. Semua ini membawa dampak positif, baik dalam pembinaan internal maupun dalam upaya pengembangan NU keluar.
Tetapi sungguh sayang bahwa gerakan yang demikian baik itu, kemudian mandeg (mengalami stagnasi) karena terjadinya Perang Dunia II. Ketika keadaan kembali normal seusai Perang Dunia II, gerakan ini belum dapat dibangkitkan kembali hingga kini. Berbareng dengan munculnya suara ajakan kembali ke Khittah, sekitar tahun 1973, keinginan untuk menghidupkan kembali gerakan ini pun terdengar. Namun, lagi-lagi tenggelam di tengah-tengah hiruk pikuk politik yang menyibukkan. Baru, setelah dirumuskannya Khittah NU, keinginan tersebut menguat lagi, terlebih setelah Muktamar NU ke-28 mengamanatkan kepada PBNU agar menangani masalah ekonomi secara lebih serius.
1. Pengertian Mabadi Khaira Ummah
Mabadi Khaira Ummah adalah gerakan pembentukan identitas dan karakter warga NU, melalui upaya penanaman nilai-nilai luhur yang digali dari paham keagamaan NU. Namun, karena nilai-nilai yang terkandung dalam paham keagamaan Nahdlatul Ulama itu demikian banyak, maka dipilihlah nilai-nilai yang dapat dijadikan prinsip-prinsip dasar (mabâdî) sebagai langkah awal bagi pembentukan identitas dan karakter warga NU. Gerakan Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah awal dari pembentukan “ummat terbaik” yaitu suatu umat yang mampu melaksanakan tugas-tugas amar ma’ruf nahy munkar yang merupakan bagian terpenting dari kiprah NU, karena kedua sendi tersebut mutlak diperlukan untuk menopang terwujudnya tata kehidupan yang diridai Allah sesuai dengan cita-cita NU. Amar ma’ruf adalah mengajak dan mendorong perbuatan baik yang bermanfaat bagi kehidupan duniawi dan ukhrawi, sedangkan nahi munkar adalah menolak dan mencegah segala hal yang dapat merugikan, merusak dan merendahkan nilai-nilai kehidupan, dan hanya dengan kedua sendi tersebut kebahagiaan lahiriah dan batiniah dapat tercapai. Identitas dan karakter yang dimaksudkan dalam gerakan ini adalah bagian terpenting dari sikap kemasyarakatan yang termuat dalam Khittah Nahdlatul Ulama, yang harus dimiliki oleh setiap warga Nahdlatul Ulama dan dijadikan landasan berpikir, bersikap dan bertindak. Dengan demikian, Mabadi Khaira Ummah merupakan implementasi dari Khittah NU.
Penanaman Mabadi Khaira Ummah kepada warga NU harus dilakukan secara intensif, terencana dan berkelanjutan melalu berbagai jalur yang dimiliki oleh Nahdlatul Ulama, seperti forum Lailatul Ijtima’. Upaya penanaman melalui kegiatan usaha bersama seperti yang pernah dirintis oleh NU pada masa yang lalu, akan lebih mempercepat tercapainya pembentukan identitas warga. Gerakan Mabadi Khaira Ummah yang dilakukan oleh generasi pertama NU ternyata telah berhasil menjadikan NU sebagai salah satu organisasi besar yang kokoh dan proses pertumbuhannya begitu cepat, tidak ubahnya seperti pertumbuhan umat Islam pada generasi pertama sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an.
Hubungan antara Mabadi Khaira Ummah dan Khittah NU terletak pada keterikatannya satu sama lain yang saling melengkapi. Khittah merupakan landasan, sedang Mabadi sebagai pelaksanaannya. Khittah adalah kepribadian yang dibentuk oleh ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai paham keagamaan NU. Kepribadian tersebut kemudian menjadi landasan berpikir, bersikap dan bertindak warga NU yang harus tercermin dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi. Dengan demikian, Khittah adalah merupakan sumber inspirasi bagi semua kegiatan NU dan warganya.
Dengan demikian tuntutan untuk membangkitkan gerakan Mabadi Khaira Ummah setelah dicanangkannya Khittah NU, memang hampir merupakan konsekuensi logis. Pertama, karena Mabadi Khaira Ummah adalah butir-butir ajaran yang dipetik dari ’moral’ Khittah NU yang harus ditanamkan kepada warga. Kedua, tekad melaksanakan Khittah NU itu sendiri menuntut pembenahan dan pengembangan NU demi meningkatkan ketangguhan organisasi dan aktualisasi potensi-potensi yang dimilikinya, sesuatu yang mutlak perlu dalam upaya berkarya nyata bagi pembangunan umat, bangsa dan negara. Ketiga, sejarah Mabadi ’Khaira Ummah’ tak dapat dipisahkan dari ’jiwa asli’ NU yang kini disebut Khittah NU itu. Mabadi Khaira Ummah adalah ’sunnah’ atau jejak para pemula (al-sabiqûn al-awwalûn) NU. Jika kembali ke khittah 26 (Khittah NU) dapat dimaknai sebagai pengikatan kembali (reengagment) dengan semangat dan sunnah para pemula ini, maka gerakan Mabadi Khaira Ummah adalah revitalisasi sunnah tadi mengingat relevansinya dengan kebutuhan masa kini, bahkan dengan kebutuhan segala zaman cukup nyata.
Lebih jauh, pembangkitan kembali dan pengembangan gerakan Mabadi Khaira Ummah ini pun relevan dengan kebutuhan pembangunan bangsa dan negara yang sasaran utamanya adalah pembangunan sumber daya manusia (SDM). Keberhasilan pembangunan bangsa ini akan tergantung pada upaya pembentukan manusia Indonesia yang tidak hanya memiliki keterampilan saja, tetapi juga watak dan karakter terpuji serta bertanggung jawab: sesuatu yang menjadi sasaran langsung gerakan Mabadi Khaira Ummah. Dengan demikian, pengembangan gerakan Mabadi Khaira Ummah ini berarti juga salah satu bentuk pemenuhan tanggung jawab NU terhadap bangsa dan negara.
2. Butir-Butir Mabadi Khaira Ummah
Terdapat perbedaan konteks zaman antara masa gerakan Mabadi Khaira Ummah pertama kali dicetuskan dan masa kini, di mana dalam rentang waktu itu telah terjadi perubahan besar, baik di lingkungan NU sendiri maupun dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Oleh karenanya, telah dilakukan beberapa penyesuaian dan pengembangan dari gerakan Mabadi Khaira Ummah yang pertama agar lebih sesuai dengan konteks kekinian.
Penyesuaian itu tidak hanya berkaitan dengan persoalan arah dan titik tolak gerakan serta pelaksanaannya, tetapi juga butir-butir yang dimasukkan dalam Mabadi Khaira Ummah dan spesifikasi pengertiannya. Jika semula Mabadi Khaira Ummah hanya membuat tiga butir nilai seperti telah disebut di atas, dua butir lagi perlu ditambahkan untuk mengantisipasi persoalan dan kebutuhan kontemporer. Kedua butir itu adalah al-’adâlah dan al-istiqâmah. Dengan demikian, gerakan Mabadi Khaira Ummah kini akan membawa lima butir nilai yang dapat pula disebut sebagai al-Mabâdî’ al-Khamsah. Berikut ini adalah uraian pengertian yang telah dikembangkan dari kelima butir al-Mabâdî’ al-Khamsah tersebut disertai kaitan dengan orientasi-orientasi spesifikasinya sesuai dengan kerangka tujuan yang telah dijelaskan di atas.
a. Al-Shidqu
Al-shidqu mengandung arti kejujuran/kebenaran, kesungguhan dan keterbukaan. Kejujuran/kebenaran adalah satunya kata dengan perbuatan, ucapan dengan pikiran. Apa yang dilahirkan sama dengan yang di dalam batinnya. Jujur, dalam hal ini tidak plin-plan, dan tidak dengan sengaja memutarbalikkan fakta atau memberi informasi yang menyesatkan, dan tentu saja jujur pada diri sendiri.
Termasuk dalam pengertian jujur, adalah jujur dalam bertransaksi dan jujur dalam bertukar pikiran (diskusi). Jujur dalam bertransaksi artinya menjauhi segala bentuk penipuan demi mengejar keuntungan. Jujur dalam bertukar pikiran artinya ikhlas mencari maslahat dan kebenaran, serta bersedia mengakui dan menerima pendapat yang lebih baik.
b. Al-amânah wa al-wafâ bi al-’ahd
Butir ini memuat dua istilah yang saling terkait, yaitu al-amânah dan al-wafa bi al-’ahd. Yang pertama, secara lebih umum meliputi semua beban yang harus dilaksanakan, baik ada perjanjian maupun tidak, sedangkan yang kedua hanya berkaitan dengan sesuatu yang terdapat perjanjian di dalamnya. Namun kemudian, kedua istilah itu digabungkan menjadi satu kesatuan, dan pengertiannya meliputi dapat dipercaya, setia dan tepat janji.
Dapat dipercaya adalah sifat yang dilekatkan pada seseorang yang dapat melaksanakan semua tugas yang dipikulnya, baik yang bersifat dîniyyah maupun ijtimâ’iyyah. Dengan sifat ini, orang menghindar dari segala bentuk pembengkalaian dan manipulasi tugas atau jabatan. Setia mengandung pengertian kepatuhan dan ketaatan kepada Allah dan pimpinan/penguasa sepanjang tidak memerintah untuk berbuat maksiat.
Tepat janji mengandung arti melaksanakan semua perjanjian, baik perjanjian yang dibuatnya sendiri maupun perjanjian yang melekat karena kedudukannya sebagai orang mukallaf dan meliputi janji pemimpin terhadap yang dipimpinnya, janji antar sesama anggota masyarakat, antar sesama anggota keluarga dan setiap individu, dan menyalahi janji termasuk salah satu sifat nifâq.
Ketiga sifat di atas (dapat dipercaya, setia dan tepat janji) menjamin integritas pribadi dalam menjalankan wewenang dan dedikasi terhadap tugas. Sedangkan al-amânah wa al-wafâ’ bi al-’ahd itu sendiri, bersama-sama al-shidqu, secara umum menjadi ukuran kredibilitas yang tinggi di hadapan pihak lain, satu syarat penting dalam membangun berbagai kerja sama.
c. Al-’Adâlah
Besikap adil (al-’adâlah) mengandung pengertian objketif, proporsional dan taat asas. Butir ini mengharuskan orang berpegang kepada kebenaran obyektif dan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Distorsi penilaian sangat mungkin terjadi akibat pengaruh emosi, sentimen pribadi ataupun kepentingan egoistik. Distorsi semacam ini dapat menjerumuskan orang ke dalam kesalahan fatal dalam mengambil sikap terhadap suatu persoalan. Buntutnya sudah tentu adalah kekeliruan bertindak yang bukan saja tidak menyelesaikan masalah, tetapi bahkan menambah keruwetan, lebih-lebih jika persoalannya menyangkut perselisihan atau pertentangan di antara berbagai pihak. Dengan sikap obyektif dan proporsional, distorsi semacam ini dapat dihindarkan.
Implikasi lain dari al-’adâlah adalah kesetiaan kepada aturan main (correct) dan rasionalitas dalam pembuatan keputusan, termasuk dalam alokasi sumber daya dan tugas (the right man on the right place). Kebijakan memang seringkali diperlukan dalam menangani masalah-masalah tertentu. Tetapi, semuanya harus tetap di atas landasan (asas) bertindak yang disepakati bersama.
d. Al-Ta’âwun
Al-ta’âwun merupakan sendi utama dalam tata kehidupan masyarakat, karena manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan pihak lain. Pengertian al-ta’âwun meliputi tolong menolong, setia kawan dan gotong royong dalam kebaikan dan takwa. Imam al-Mawardi mengkaitkan pengertian takwa dengan rida Allah dan al-birr (kebaikan) dengan kerelaan manusia. Memperoleh keduanya berarti memperoleh kebahagiaan yang sempurna. Ta’awun juga mengandung pengertian timbal balik dari masing-masing pihak untuk memberi dan menerima. Oleh karena itu, sikap al-ta’âwun mendorong setiap orang untuk berusaha dan bersikap kreatif agar dapat memiliki sesuatu yang dapat disumbangkan kepada orang lain dan kepada kepentingan bersama. Mengembangkan sikap ta’awun berarti juga mengupayakan konsolidasi.
e. Al-Istiqâmah
al-istiqâmah mengandung pengertian ajeg jejeg, berkesinambungan dan berkelanjutan. Ajeg jejeg artinya tetap dan tidak bergeser dari jalur (tharîqah) sesuai dengan yang ditentukan oleh Allah Swt. dan rasul-Nya, serta tuntutan yang diberikan oleh al-salaf al-shâlih dan aturan main serta rencana-rencana yang disepakati bersama. Kesinambungan artinya keterkaitan antara satu kegiatan dengan kegiatan yang lain dan antara periode yang satu dengan periode yang lain, sehingga semuanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dan saling menopang seperti sebuah bangunan. Adapun makna berkelanjutan adalah bahwa pelaksanaan kegiatan tersebut merupakan proses yang berlangsung terus menerus dan tidak mengalami kemandegan, mengalami proses kemajuan (progressing) dan tidak berjalan di tempat (stagnant).
3. Pemantapan Program Mabadi Khaira Ummah
Keinginan untuk membangkitkan kembali gerakan Mabadi Khaira Ummah bukan sekedar romantisme sejarah atau demam khittah. Pembangkitan kembali gerakan ini didorong oleh berbagai kebutuhan dan tantangan-tantangan nyata yang dihadapi oleh Nahdlatul Ulama khususnya, serta bangsa dan negara pada umumnya. Kemiskinan, kelangkaan sumber daya manusia yang handal, kemerosotan budaya dan mencairnya solidaritas sosial, adalah keprihatinan umum yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Dalam konteks yang lebih sempit, konteks jam’iyyah NU sendiri, lemahnya posisi ekonomi sebagian warga, merosotnya solidaritas internal dan kurang berfungsinya tertib organisasi, telah lama menjadi problem serius yang hampir kronis.
Sebagai nilai-nilai universal, butir-butir Mabadi Khaira Ummah memang dapat menjadi jawaban langsung bagi problem sosial yang dihadapi oleh masyarakat umum seperti yang disinggung di atas. Tetapi, sosialisasi nilai-nilai tersebut harus dimulai dari diri sendiri. Dalam hal ini, dimulai dari warga NU sendiri.
Lebih jauh, Mabadi Khaira Ummah sebagai seruan moral, tidak akan mencapai sasarannya tanpa didukung oleh proses politik yang efektif. NU bukan partai politik, tapi tetap mengemban fungsi sebagai kelompok penekan (moral force). Dalam fungsi ini, NU bertanggung jawab untuk mengemban nilai-nilai Mabadi Khaira Ummah itu sebagai aspirasi moralnya. Tetapi membawa aspirasi kelompok ke dalam proses politik pun menuntut dukungan kekuatan tawar (power bargain) yang memadai. Untuk ini, diperlukan kualitas organisasi yang memadai, karena besarnya kekuatan massa secara kuantitaif saja belum cukup.
Oleh karenanya, gerakan Mabadi Khaira Ummah ini pertama-tama harus diarahkan kepada konsolidasi internal NU sendiri, dengan mengutamakan dua aspek, yaitu: pembinaan tata organisasi dan pengembangan kekuatan. Pembinaan tata organisasi akan mendorong warga untuk tidak sekedar berjamaah, tapi benar-benar berjam’iyyah. Artinya, warga harus menjaga kesatuan gerak dengan nizhâm yang benar-benar diperhatikan. Adapun pembinaan kekuatan sosial-ekonomi, di samping bertujuan langsung meningkatkan kesejahteraan warga, berarti pula peningkatan kualitas peran sosial politik NU di tengah masyarakat.
Agar tercapai hasil yang diharapkan, gerakan Mabadi Khaira Ummah ini harus diwujudkan ke dalam pola sosialisasi yang sistemis, disertai media-media aktualisasi yang kongkrit. Dengan kata lain, hal itu harus dilakukan melalui rekayasa sosial yang terencana dengan baik dan utuh. Bentuk-bentuk perwujudannya bisa berupa sistem pengkaderan formal, termasuk mekanisme rekruitmen kadernya, proyek-proyek pilot sebagai batu ujian, pelatihan-pelatihan, pengembangan jaringan bisnis dan usaha bersama di kalangan warga, dan sebagainya.
Dengan organisasi yang lebih terkonsolidasi, potensi-potensi yang lebih teraktualisasi dan kemampuan sosial yang prima, akan lebih mudah bagi NU dan warganya untuk mendekati citra Mabadi Khaira Ummah dengan melaksanakan tugas-tugas dan tanggung jawabnya secara lebih konsisten dan efektif, da’wah dan amar ma’ruf nahi munkar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar