Pada suatu ketika Al 'Arifubillah
Almaghfurlah KH. Ahmad Chudlori, yg pernah menjadi santri Hadlrotusy
Syeikh Hasyim Asy'ari, menerima rombongan tamu dari sebuah desa.
Tamu-tamu itu memiliki persoalan dan memerlukan sebuah solusi dari Kyai
Chudlori.
Mereka menceritakan bahwa pada saat ini bondo desa
(kas desa) yg terkumpul sedang disengketakan oleh warga. Satu pihak
menginginkan kas desa digunakan utk merehabilitasi bangunan masjid.
Sedang sebagian warga desa yg lain menginginkan kas desa itu utk membeli gamelan.
Musyawarah demi musyawarah warga desa itu tdk kunjung menghasilkan
kesepakatan, dan satu-satunya kesepakatan yg mereka buat adalah meminta
fatwa dari Kyai Chudlori.
Betapa tercengang Gus Dur karena
diluar dugaannya, Kyai Chudlori memberikan fatwa bahwa sebaiknya kas
desa itu dibelikan gamelan. Hal yg sama juga terjadi di pihak warga yg
menginginkan rehabilitasi masjid, mereka mempertanyakan fatwa Kyai
Chudlori.
Dgn jawaban singkat Kyai Chudlori berkata, "Nanti kalau gamelannya sdh ada, kelak masjidnya akan jadi dgn sendirinya."
Mungkin peristiwa inilah awal perkenalan Gus Dur pada pemikiran
kontroversi. Dan memang seperti yg dikatakan Kyai Chudlori, dikemudian
hari masjid itu benar-benar dibangun dgn kerukunan warganya. Sebuah
produk pemikiran yg menggambarkan kecerdasan emosi dan spiritual luar
biasa yg tercermin dari fatwa Kyai Chudlori.
Kyai Chudlori, yg
merupakan menantu Al 'Arifubillah Almaghfurlah KH. Nahrowie Dalhar
pendiri Pesantren Daarussalaam Watucongol, sadar benar bahwa masjid
bukan sebuah tujuan melainkan sarana menuju Tuhan. Sedangkan utk
mewujudkan sarana itu mustahil terjadi tanpa dukungan dari
masyarakatnya. Sejurus dgn itu kekuatan masyarakat hanya akan terbentuk
dgn solidaritas.
Kyai Chudlori memiliki visi yg kuat bahwa dgn
alasan apapun masjid sebagai sebuah simbol agama tdk boleh menjadi
pemicu konflik umat. Tdk boleh menjadi sumber konflik umat.
Begitulah sosok dari KH. Ahmad Chudlori, pendi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar