Anda tidak mengenal Gramsci ?
sungguh
menyedihkan sekali anda ini...........
menyedihkan sekali anda ini...........
Mari Nikmati Perkenalan singkat ini
Kecemerlangan pemikiran Gramsci, untuk beberapa waktu belum begitu terkenal
di kalangan akademisi-akademisi sosial se-zaman. Dengan pertimbangan sebuah
bahasa yang terlanjur “menghegemoni” ketika itu, kedikenalannya baru mencuat
sesudah penerjemahan karya-karyanya ke dalam bahasa Inggris. Pemikir bernama
lengkap Antonio Gramsci, lahir di Italia, pada tanggal 22 Januari 1891. Meski
terlahir dari keluarga kelas bawah, ia sempat mengenyam pendidikan di
Universitas Turin setelah mendapatkan beasiswa.
Tidak hanya bertengger pada gelar seorang pemikir, ia juga dikenal sebagai
aktivis gerakan-gerakan sosial di Turin, Italia, sewaktu masih bertitel mahasiswa.
Dari sini, aktivitasnya sebagai seorang aktivis terus meroket. Tahun 1913, ia
bergabung dengan Partai Sosialis Italia, sembari bekerja di media massa kaum
sosialis di Turin. Aktivitasnya juga diimbangi dengan perkembangan dalam bidang
pemikiran. Ia fokus pada perlawanan terhadap ideologi dominan yang
disebar-luaskan oleh negara.
Menginjak tahun 1922, Gramsci pindah ke Rusia dan bekerja di Moskow Wina
hingga tahun 1924. Di sinilah ia mulai melancarkan pemikiran-pemikiran kritis
tentang sosialisme. Setelah itu ia kembali ke Italia dan tak lama kemudian
terpilih sebagai anggota parlemen pada tahun 1924, sebagai wakil dari golongan
sosialis. Yang penting pada fase ini, ia berupaya melakukan transformasi
terhadap Partai Komunis yang ketika itu tidak lagi partai terbuka, melainkan
sekterian. Ia berjasa mengembangkannya menjadi partai yang berakar pada gerakan
massa.
Tahun 1926 ia dijatuhi hukuman 20 tahun penjara oleh pemerintahan fasis
Mussolini. Namun layaknya pemikir-pemikir lain, suasana kesendirianlah yang
melecut daya intelektualnya untuk menuangkan pikiran-pikiran. Di sana ia
tuangkan konsepnya mengenai apa yang disebut organic intellectuals. Sejak
saat itu, buah-buah pemikirannya seperti sedang panen. Pemikiran tentang hegemony,
negara dan civil society, berbuah pada masa itu.
Ke semua pemikirannya tertumpah dalam 34 buku catatan harian Gramsci, yang
ditulisnya dalam masa pengawasan ketat dan pesakitan. Masing-masing buku harian
berisi beberapa konsep. Pilihan dari isi diary-nya ini yang nantinya
disulap menjadi buku berjudul The Prison Notebooks.
Singkat cerita, setelah menderita sakit berkepanjangan, 27 April 1937
Gramsci tewas meregang nyawa di kamar penjaranya sendiri. Adalah Tatiana,
seseorang yang mengurus pemakamannya, yang berhasil “mengamankan” catatan
harian ilmiah itu.
Politik
Bagi Gramsci politik bukanlah sekedar upaya untuk meraih kekuasaan. Namun
lebih luhur lagi, politik adalah seni bagaimana seseorang mampu mengakomodir
semua kepentingan masyarakat dengan baik.
Realitas yang terjadi di Italia semasa ia hidup tidak mencerminkan
pengertian yang didefenisikannya di atas. Oleh karenanya ia mengeluarkan pisau
analisa: hegemoni.
Hegemoni
Seperti telah disebutkan di awal, melalui konsep hegemoninya Gramsci
mencoba menganalisa eksploitasi wong cilik dengan kerangka yang lebih
santun. Baginya, masyarakat kelas atas, atau borjuis, atau pemerintah, atau
negara, atau apalah nama lainnya, kerap menggunakan konsep hegemoni dalam
rangka mengamankan kedudukan mereka sebagai penguasa.
Lalu apa itu hegemoni? Secara sederhana, hegemoni dapat dipahami sebagai
upaya pemerintah (status quo) dalam mendominasi publik atau masyarakat dengan
cara yang “jinak”. Dalam praktiknya, kelas dominan, tanpa disadari sebenarnya
“mengontrol kesadaran” kelas terdominasi. Oleh karenanya merupakan sebuah
kekeliruan ketika hegemoni dianggap bekerja hanya secara represif. Pada titik
inilah Gramsci menjawab kegelisahan Marx, ihwal mengapa revolusi tak kunjung
terjadi.
Bagaimana bisa hegemoni muncul? Mengapa kelas terdominasi tidak menyadari
skenario itu? Ia muncul dengan alasan yang cukup sederhana. Terpenuhinya akses
atas ruang material (economic space) dan saluran berpendapat (political space)
bagi kelas proletar adalah dalang dibalik itu semua. Sebangun dengan premis
itu, di satu sisi kelompok dominan berhasil memberikan akses ekonomi dengan
memberi keringanan dalam dunia kerja, melalui semacam bonus-bonus dan asuransi
semu. Sementara di sisi lain, kelompok dominan memberikan keleluasaan
masyarakat untuk berekspresi, berserikat, berkumpul, dan lain sebagainya.
Jika pun dalam “berkah” kebebasan berekspresi itu masih juga ada perlawanan
(pressure group), bagi Gramsci, kelompok dominan tidak hanya selalu bekerja
dengan cara mengekang kelompok oposisi tersebut, namun malah “bekerjasama”
secara halus dengannya. Caranya bagaimana? Ada dua cara, yaitu apa yang
disebut leading (memimpin) dan dominant(mendominasi). Dalam
hegemoni, leading ditujukan kepada kelompok yang bisa diajak
bernegosiasi untuk menciptakan aliansi-aliansi baru. Sementaradominant dilakukan
untuk menutup saluran perlawanan dari kelompok penekan (pressure group). Inilah
yang dalam leksikon ilmu politik dikenal dengan istilah stick and carrot
policy (politik belah bambu).
Pada tahap ini Gramsci mendapat ilham dari konsep “virtue-nya”
Macchiavelli. Kembali mengingat, virtue dalam kosa kata Macchiavelli
diartikan sebagai kemampuan seorang pemimpin untuk menaklukkan masyarakat, yang
diumpamakan seperti rayuan maut pria kepada wanita untuk merebut hatinya. Dalam
catatannya terhadap Macchiavelli, Gramsci menggunakan istilah centaur,
sebuah mitologi Yunani dengan wujud setengah hewan setengah manusia,
sebagai simbol dari “standar ganda” suatu tindakan politik.
Selain itu, hegemoni tidak hanya dapat dilakukan oleh kelas penguasa
(mendominasi). Ia bisa menjadi semacam “senjata makan tuan” oleh masyarakat
dalam meng-counter penguasa. Untuk mewujudkan revolusi, masyarakat
harus melakukannya dengan jasa sang “intelektual organik” yang akan balik
menghegemoni penguasa dalam memimpin revolusi.
Intelektual Organik
Tatkala praktik hegemoni oleh penguasa sudah demikian akut dan semakin
menjadi-jadi, kelas terdominasi mesti menghegemoni balik mereka. Untuk apa?
Tiada lain demi tujuan membebaskan masyarakat dari kesadaran semu itu. Caranya
bagaimana? Adalah dengan memberkan pendidikan politik yang akan mewujudkan
kesadaran kolektif masyarakat. Dalam kerangka inilah intelektual dianggap
penting guna memberikan pendidikan itu.
Gramsci membedakan kelompok intelektual ini menjadi dua. Pertama,
intelektual tradisional, adalah kelompok intelektual yang bekerja hanya
dikarenakan faktor ekonomi. Kedua, intelektual organik, yaitu kelompok
yang benar-benar memiliki kemampuan mengorganisir dan memimpin aktivitas
reformasi moral dan intelektual. Pembedaan ini lebih disebabkan karena telah
terjadi penurunan makna intelektual dalam kelompok intelektual tradisional.
Dari penjelasan singkat di atas, kita mengetahui bahwa hegemoni tidak
saja hanya dimonopoli oleh penguasa. Namun ia bisa menjadi umpan balik
oleh masyarakat terdominasi untuk menyerang penguasa. Bedanya, ada pada tujuan
hegemoni itu dilakukan. Artinya, cara yang digunakan masing-masing kubu boleh
jadi sama, namun tujuan hegemoni itu sendiri dilakukan memiliki dasar berbeda.
Penguasa bertujuan melanggengkan kekuasaan selama mungkin, sementara masyarakat
bertujuan mewujudkan masyarakat sosialis atau dalam istilahnya: civil
society.
Civil Society
Makna yang dimaksud dengan civil society tidak secara eksplisit dijabarkan
Gramsci. Namun ia mengidentifikasinya, bahwa masyarakat sipil adalah masyarakat
yang memiliki privasi, otonom, serta terlepas dari proses produksi (pemodal dan
buruh). Sejalan dengan cita-cita awal pemikirannya, dalam masyarakat sipil yang
dimaksud Gramsci, kepentingan dari semua kelompok terakomodir. Ini tidak hanya
perkara perjuangan kelas, namun lebih-lebih juga memperjuangkan demokrasi
berbasis kerakyatan.
Akan tetapi jangan dikira konsep civil society dalam pandangan Gramsci
seindah yang dibayangkan. Baginya, di dalam “wadah” itu tetap terjadi
pertarungan, yakni pertarungan hegemoni oleh setiap kelompok dalam bingkai
etika dan moral.
Uraian Gramsci mengenai hegemoni berhasil membawa kita untuk melihat
politik seadanya (realis). Seperti dikatakan Hans Morgenthau dalam Politics
Among Nations, sejarah pemikiran politik sejauh ini memang terbagi ke dalam dua
arus utama. Arus pertama memandang politik dengan kacamata “yang baik”, atau
dapat diartikan sebagai politik adiluhung, yaitu apa yang seharusnya dilakukan
(dimensi etis). Sementara arus besar kedua, mengurai politik dengan pendekatan
praktik-praktik nyata yang dilakukan oleh aktor politik, pendek kata: seadanya
(dimensi praksis).
Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999).