Pakaian sarung sering diidentikkan dengan kaum santri, karena itu kaum sarungan sama dengan kaum santri, padahal dalam perkembangan sejaraahnya tidak demikian, sebab sarung merupakan pakaian tradisonal baik di kalangan masyarakat jawa dan Nusantara pada umumnya bahkan Asia Tenggara. Justeru karena kelokalannya itu sarung dijadikan bahan olok-olok dan untuk membuat stigma antara kelompok modern yang kebelanda-belandaan dengan kelompok tradisional. Dan diantara kelompok nasional yang paling konsisten dengan tradisi sarung adalah orang pesantren, maka sarung menjadi semacam indentitas pesantren, sebab orang nasionalis abangan telah hampir meninggalkan pakaian nenek moyang itu.
Dapat disaksikan hampir semua aktivis kemerdekaan awal seperti Tirtoadisuryo, Citomangunkusumo, Ki Hajar Dewantoro dan sebagainya semuanya bersarung, bahkan para mahasiswa STOVIA juga masih bersarung. Ada kisah menarik perihal sarung itu, terutama yang berkaitana dengan sikap non coorpeative total, terhadap budaya Belanda, sebagaimana yang dilakukan oleh Ki Sarmidi Mangunsarkoro, salah seorang pemuka pendidikan nasional Taman Siswa dan pimpinan pusat PNI. Ia tetap konsisten memakai sarung, walaupun memasuki gedung Parlemen dan Istana Negara. Kemudian namanya diplesetkan menjadi Ki Mangun Sarungan oleh para wartawan.
Sikap konsisten semacam itu juga dijalankan oleh KH Wahab Chasbullah, Rois Aam PBNU dengan penuh percaya diri, sehingga tidak bersedia memenuhi permintaan pihak protokol kepresidenan untuk berpakaian lengkap (pantaloon, jas dan dasi), tetapi tetap memakai sarung pada saat upacara kenegaraan berlangsung. Demikian pula ketika KH Wahab di forum internasional, saat ia hadir sebagai anggota penasehat delegasi Indonesia mendampingi Bung Karno yang berpidato To Build the World Anew di hadapan Sidang Majelis Umum PBB. Sikap anti kolonialisme Barat secara total ini sering disalah pahami sebagai sikap anti modernisasi, konservatisme dan keterbelakangan.
Hanya orang yang punya integritas sebesar Mangun sarkoro atau Wahab Hasbullah yang berani melawan arus itu, sebab akan terus tegar walaupun mendapat cemooh nasional dan internasional, tetapi mereka terus berjuang membela kemndirian dan keanekaragaman budaya. Semua bangsa dan komunitas bebas mengekspresikan kebudayaan termasuk dalam berpakaian tidak hanya satu ekspresi, yaitu ekpresi seragam Barat, tetapi ekspresi Islam kejawen juga perlu mendapat tempat, sebagaimana Kiai Wahab dan Ki Mangunsarkoro.Karena itu dalam pertemuan politik dan keagamaan kaum pesantren masih terlihat keanekaragaman pakaian ada yang bersarung dan ada yang bercelana. Itulah inti kebebasan dan toleransi.
di ambil dari www.nu.or.id
di ambil dari www.nu.or.id