Peran Kiai Sebagai Budayawan
(Belajar dari budayawan desa K.H Ahmad Muhamad Tegalrejo Magelang)
Kebudayaan tumbuh-berkembang ditentukan oleh gerak dua hal utama, yakni corak produksi ekonomi dan aktor yang bermain di wilayahnya. Pada masyarakat yang masih kuat corak komunalismenya, kumpulan individu (pelaku budaya) itu geraknya tidak lepas dari peran dominan pemimpin yang menggerakkan, memotivasi dan memiliki inisiatif bergerak kreatif. Tulisan ini akan mengajak Anda untuk menengok peranan seorang Budayawan yang memiliki kepemimpinan karismatik sekaligus organik pada bidang kebudayaan. Kiprahnya selama ini diabaikan oleh media massa sementara pengabdiannya untuk kebudayaan sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun dan pengaruhnya sangat kuat di kawasan Kabupaten Magelang, Temanggung, Purworejo, Boyolali, Kebumen, Salatiga dan kabupaten sekitarnya lainnya.
Budawayan tersebut bernama Ahmad Muhamad (alm) yang meninggal 6 Maret 2009 lalu. Gus Muh, demikian sosoknya akrab dikenal, adalah Adik Kandung K.H Abdurrahman Khudlori(alm) bin K.H Khudlori,Kiprah Gus Muh sebagai kiai,-mengajar kitab di pesantren adalah kerja lazim para kiai. Tetapi pada wilayah sosial, di mana Gus Muh menyampaikan budaya (etos dan etika) melalui medium kesenian agaknya penting dipelajari.
Pada setiap-kali diundang ceramah, Gus Muh mensyaratkan kepada panitia agar menyertakan atraksi kesenian kuda lumping atau kesenian lain. Gus Muh juga tidak suka berceramah di komunitas muslim santri, melainkan hanya menyanggupi hadir di pelosok desa tertinggal baik tertinggal dari sisi agama maupun ekonomi.
Wali asuh kebudayaan
Pesantren API Tegalrejo dengan kesenian memang bukan hal asing bagi masyarakat Magelang. Setiap akhir tahun pelajaran selesai,-biasanya 1 bulan menjelang Ramadan,- pesantren itu menghadirkan kegiatan pentas seni selama 10 hari penuh. Siang malam digelar berbagai pentas seni, Puluhan ribu masyarakat membaur dengan santri di lingkungan pesantren.
Apa arti dari praktik keagamaan seperti itu?
Di tangan Gus Muh, Islam ditempatkan berbareng tradisi (realitas objektif) masyarakat setempat. Hal ini membedakan dengan pemahaman tokoh Islam mainstream yang melihat tradisi Jawa sebagai sesuatu yang rendah di bawah Islam, dan pada akhirnya harus dipisahkan dari praktik ke-Islaman. Strategi di atas memiliki “nilai lebih” di masyarakat berupa kepemimpinan merakyat sekaligus merawat dan menguatkan aset dari kebudayaan lokal di Jawa Tengah. Banyak pelaku kesenian tradisional yang menjadikan Gus Muh sebagai pemimpin karena dirinya mampu menjembatani kemajemukan masyarakat lintas golongan bahkan lintas agama melalui kegiatan seni dan agama.
Mereka yang selama ini jauh dari acara keagamaan bisa mendekat tanpa canggung keluar masuk pesantren dan mengikuti acara keagamaan. Sedangkan para santri tidak kehilangan akar budaya aslinya sekalipun setiap hari digodok dengan pendidikan keagamaan (ajaran dari Arab). Itulah mengapa alumni santri dari Tegalrejo tidak banyak yang terjebak pada sikap ektrim, apalagi menjadi teroris. Dengan cara ini Gus Muh benar-benar jadi pemimpin organik, atau ‘wali’-nya para pelaku seni di desa-desa. Wali artinya orangtua asuh. Ya, kesenian kita yang selama ini dianaktirikan oleh negara sangat butuh seorang wali. Kegagalan pemerintah dalam mengurus seni dan budaya sampai akhirnya muncul “wali asuh” dari negeri Jiran adalah fakta yang menyedihkan.
Dengan segala resikonya, seperti dicap sebagai pelaku bid’ah dan resiko tidak dihargai negara, termasuk tidak mendapatkan penghargaan dari kalangan akademis, sesungguhnya Gus Muh menunjukkan jati dirinya sebagai budayawan sejati. Ini bisa didapat dari fakta peranan etik yang lebih menonjol ketimbang sekedar khotbah sloganistik penegakan syariat Islam. Sebagai budayawan dengan kreativitas akal-budinya, Gus Muh mengarahkan masyarakat ke derap pembagunan etos kerja, sikap etik dan perilaku gaya hidup yang wira’i (prawira). Karena etos kuatnya inilah Gus Muh sering blak-blakan mengkritik para politisi, pejabat, termasuk kiai yang kurang peka terhadap masalah keadaban. Apa yang dilakukan Gus Muh ini menunjukkan karakter seorang budayawan yang memiliki visi jauh ke depan. Kita tahu corak kehidupan petani di Jawa sarat mistik dan sangat kuat memegang tradisi. Kalau mereka diajak lari dari tradisi kemudian hanya berpegang pada hal baru, bisa jadi memunculkan ketegangan batin pemeluknya.
Inilah yang menegaskan Islam yang berhulu dari Pesantren Tegalrejo (Sebagaimana kalau kita baca dari Tesis Muhamad Bambang Pranowo: Memahami Islam Jawa: 2009) sebagai nilai positif karena peranan pesantren menarik perhatian kaum abangan, termasuk umat beragama non Islam. Harmoni antar golongan terus terjaga sehingga tidak muncul elitisme antar warga. Satu nilai lebih yang tidak bisa diabaikan ialah sikap keluarga pesantren Tegalrejo yang tidak memaksakan kehendak dalam hal dakwah keagamaan.
Local Genius
Islam adalah ajaran dengan tiga perangkat utama, yakni tauhid, syariat dan akhlak. Sedangkan kebudayaan (menyangkut seni) adalah wilayah di luar itu. Kata “di luar” semestinya tidak dipahami secara negatif (sebagai sesuatu yang bertentangan), melainkan dipandang positif (sebagai hal yang diperbolehkan namun disikapi secara kritis). Gus Muh selama ini berpikir positif. Sedangkan mereka yang negative-thinking justru terjebak menjadi konsumen kesenian impor dari Arab (yang tentu saja tidak otomatis bisa disebut kesenian Islam). Kalau hal ini diteropong lebih luas dari optik glokalisasi, maka apa yang dilakukan oleh Gus Muh (yang sampai sekarang menjadi tradisi di pesantren Tegalrejo) itu adalah kerjanya orang local-genius yang sangat dibutuhkan di era globalisasi sekarang ini. ***
Tulisan ini dulu dikirim oleh teman saya.
Hasil Copas katanya
dan belum menemukan siapa penulis aslinya.
Mohon kiranya apabila ada yang tau, untuk komen di bawah ini.
2 komentar:
gus ahmad muhamad punya ajian segoro genni gigi putih dodol odol kena ped dekat dengan ratu segoro kidul yang terkenal akan kekayaannya.juga para pendahulunya. dan semoga ketemu dengan kokoprabu kings
iya nopo..' wah malah ndak tau saya hehe..
Posting Komentar