Iblis dan Kami
Seorang penonton mengajukan suatu pertanyaan kepada kami (panitia) “..dapat tafsir darimana Cak Nun yang menyatakan bahwa Iblis tidak lagi mengganggu manusia sejak ia bertemu Muhammad?”, kami menjawab “tafsir Nadjibiyah”. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu menggelitik benak penonton sesaat setelah mereka meninggalkan area pertunjukkan teater Dinasti malam Rabu lalu. Yang mengejutkan, beberapa hari setelah pertunjukkan penonton tersebut menghubungi kami lagi dengan mengatakan bahwa dia dan teman-temannya sudah mencari kesana kemari buku dan sumber mengenai tafsir Nadjibiyah namun tidak pernah ketemu, tentu kami akhirnya meminta maaf dan mengatakan bahwa tidak ada buku atau mazhab Nadjibiyah, itu hanya ‘istilah tidak resmi’ kami, setiap Cak Nun memberikan tafsir-tafsir yang baru dan segar dalam pemahaman dan hikmah, setidaknya menurut kami.
Pengunjung Pentas “Tikungan Iblis” teater Dinasti pada malam rabu lalu, benar diluar perhitungan kami, kapasitas Graha Bhakti Budaya TIM sebanyak 810 tempat duduk, terisi penuh, bahkan beberapa pengunjung mau membayar untuk masuk meskipun dengan tiket tanpa tempat duduk -yang memang kami alokasikan-. Dan yang menjadi keheranan kami adalah bahwa sebagian besar pengunjung bukan penggemar teater, bahkan banyak dari mereka yang untuk pertama kalinya menonton teater malam itu. Durasi pementasan teater selama hampir 3 jam, awalnya juga menjadi kekhawatiran kami, karena dengan latar belakang sebagian besar penonton yang bukan ‘penonton teater’. Namun diluar dugaan, ternyata penonton sangat menikmati Pentas Teater Dinasti dan hampir seluruhnya tidak beranjak dari tempat duduknya selama acara berlangsung selama 3 jam penuh. Ini membuktikan bahwa Teater Dinasti mampu menyuguhkan pentas teater dengan naskah yang ‘berat’ kepada penonton yang awam atas teater, dan sebaliknya, bahwa penonton yang ‘biasa biasa saja’ mempunyai kemampuan untuk mendalami teater, yang bagi anggapan sebagian kita bahwa teater adalah bentuk tontonan yang eksklusif.
Teater Dinasti memang memiliki beberapa karakter yang khas dan unik, pertama adalah kelompok teater ini lebih memilih panggung teater sebagai medium atau wahana daripada teater an sich. Yang dimaksud teater medium adalah teater sebagai media pengolahan kepribadian manusia bukan aktifitas teater yang berorientasi pada estetisme dan persoalan teknis. Sehingga penonton merasa menjadi bagian dari pentas tersebut.
Thesis-thesis Tikungan Iblis
Beberapa thesis -atau permahaman lebih tepatnya- yang ditawarkan dari naskah pertunjukan teater Dinasti sebenarnya tidaklah terlalu ‘menantang’ tafsir theologi yang berkembang pada masyarakat. Bahwa Iblis bukanlah kompetitor TUHAN jelaslah merupakan suatu dasar berpijak agama yang monotheis, lalu mengapa impact dari thesis yang dibangun dari Pentas Kebahagiaan Teater Dinasti memberikan suatu oase pemikiran yang baru bagi penonton, itulah yang harus kita cermati bersama sebagai sebuah bukti pendangkalan atas pemahaman ke-Tuhanan-an. Ada pemahaman yang kurang tepat mengenai Iblis dan Setan yang diartikan hampir sama seperti hantu dalam film-film Holywood dan bahkan film-film di dalam negeri kita sendiri. Ustadz, ulama dan tokoh agama juga kalah bersaing dengan budaya industri populer yang arusnya amat deras, bahkan banyak dari mereka yang akhirnya dipaksa oleh arus utama untuk memoderasi tafsir yang lebih populer juga tentunya, hal ini mengakibatkan agama dalam satu sisi menjadi komoditas industri yang akhirnya juga tidak berakibat apa-apa dalam membangun masyarakat yang kritis dan bertanggung jawab atas kehidupan mereka, dan di sisi lain, agama menjadi hal yang “antik”, mengapa antik? ya, seperti barang antik, anda boleh menikmati dan melihatnya, namun jangan coba menyentuhnya. Itulah gambaran kondisi masyarakat -generasi muda kebanyakan- yang tidak mempunyai akses yang cukup pada tafsir-tafsir agama mereka sendiri.
“mas, saya sendiri, sepanjang yang saya tahu, tidak pernah digoda oleh iblis, yang sering menggoda saya -dan hampir setiap waktu- adalah setan. Setan yang mneggoda saya untuk korupsi, menipu orang, menyakiti hati orang dan lebih mementingkan diri saya sendiri. Setan itu adalah hawa nafsu, keserakahan, kesenangan pribadi dan jalan pintas untuk mencapai tujuan dengan menginjak-injak hak orang lain. Iblis sampai saat ini belum pernah menampakkan dirinya ke saya. Jadi Iblis belum pernah berdosa ke saya, minimal sampai saat ini” Itu jawaban yang mungkin naif bagi mereka yang sebenarnya lebih tahu tentang segala macam mazhab tafsir agama, kerena mereka lulusan pesantren besar, bandingkan dengan saya yang universitas biasa-biasa saja tidak sudi meluluskan saya.
Iblis berbeda dengan setan. Setan adalah energi negatif yang ada dalam diri manusia sendiri, gelombang dan komposisi kekuatan yang berasal dari hembusan nafsu diri manusia sendiri. Energi potensial yang memang diberikan untuk dapat dikendalikan oleh manusia sebagai alat meng’khalifahi’ alam semesta, mengelola rasa kemanusiaannya sebagai panglima dalam kehidupannya. Iblis dalam tradisi kitab suci diceritakan ‘melawan’ perintah Tuhan dengan tidak mau menyembah manusia. Manusia dalam Pentas Kebahagiaan Teater Dinasti dipersonifikasikan seperti keris dan wadahnya (warangka), keris tidak penting wujudnya, yang menjadi hakekat dalam dirinya adalah nilai, kualitas, sepuhan, wibawa, martabat, derajat, kepribadian, karakter, sedangkan wadah/warangka adalah sesuatu yang membungkus diri dalam fungsi kehidupannya, seperti gelar, jabatan, profesi, negara, demokrasi dll. Keris dan wadah idealnya menyatu dan bekerjasama untuk kebaikan bersama. Iblis melihat manusia hanya akan merusak alam dan isinya, manusia lebih mementingkan wadahnnya, warangkanya daripada kerisnya. Dan Iblis akan membuktikan hal itu akan terjadi pada suatu masa. Hinga ia (Iblis) bertemu dengan sosok manusia sejati (insan kamil) yang menunjukkan kualitas, nilai dan karakter searang manusia. Sejak itulah Iblis mengerti hakikat manusia dan kenapa ia diperintahkan menyembah manusia pada masa sebelumnya. Repertoar yang digambarkan dalam Pentas Kebahagiaan Teater Dinasti adalah ketika Iblis meneriakkan “innniii akhooofullloooh! (sesungguhnya aku takut kepada Allah)” dan kemudian bersujud menyembah Allah dalam ketakutannya.
Thesis “tikungan iblis” tidak hanya berhenti disana, Idajil -nama lain Iblis- yang tentunya tidak secara kebetulan ditampilkan, berkonsonan sama dengan nama iblis dalam bahasa Ibrani yaitu Azaziel/Ajajil, telah diketemukan dalam naskah Jawa kuno jauh sebelum agama Islam masuk ke Nusantara – abad XII-. Hasarapala-Hajarala-Jabarala-Makahala adalah tokoh-tokoh yang di perankan oleh pemain Dinasti, tampaknya memang disengaja, juga berkonsonan sama dengan nama-nama malaikat dalam tradisi kitab-kitab suci, Isropil-Jibril-Mikail. Mengapa konsonan yang sama merupakan hal yang saya tekankan dalam hal ini? Dalam hampir seluruh tradisi literasi Timur, konsonan adalah wujud tulisan yang tampak, dimana cara membaca konsonan tersebut dipagari oleh vokal-vokal yang berbentuk simbol-simbol kecil di sekitar konsonan tersebut. Bahkan dalam banyak tradisi literasi timur, konsonan tampil tanpa huruf vokal namun disiplin membacanya tetap dapat dibedakan jenis vokalnya (contoh:arab gundul). Arab, India, Jepang, Cina, Jawa dan Nusantara umumnya menggunakan disiplin yang hampir sama, bedakan dengan tridisi literasi Barat, dimana konsonan dan vokal adalah dua simbol yang selalu dan harus tampil bersamaan. Yahweh misalnya, yang dipercaya merupakan nama Tuhan yang pertama disebut dalam kitab suci Ibrani, juga merupakan kumpulan konsonan. Sebenarnya, redaksi dari transkripsi yang sebenarnya bukan Yehuwa, Yahweh apalagi Jehovah, tapi YHWH yang disebut tetragrammaton oleh sejarahwan Kitab Suci Kristiani yang artinya empat konsonan (tetra=empat, gramaton=huruf). Menurut beberapa ahli, sama dengan Ya Huwa dalam bahasa arab yang artinya “oh Dia”, kalau merujuk dalam Al-Quran, Ya huwa juga merupakan sebutan Tuhan (qul Huwaallah hu Ahad). Bukan mencoba membuat suatu perdebatan panjang, tapi saya hanya memberikan suatu gambaran bahwa tradisi literasi (tulisan dan lisan) adalah salah satu metode historiograf yang dipakai arkeologi dalam melacak rangkaian peradaban-peradaban yang ribuan tahun hilang, khususnya peradaban-peradaban manusia yang tidak meninggalkan jejak fisik arkeologi karena bancana alam atau hal lainnya.
Lalu apa hubungannya dengan naskah “Tikungan Iblis”? Disinilah letak thesis itu, apa hubungan antara Jawa dengan Yahudi, bagaimana ada terminologi yang sama mengenai subyek-subyek yang sentral dalam perjalanan kehidupan manusia. Dalam beberapa diskusi di forum Kenduri Cinta, juga sering dikemukakan bahwa Jawa sendiri juga berkonsonan sama dengan Jews dan Jaffa (kota suci dalam tradisi Ibrani). Jawa dalam hal ini bukan upaya feodal dan “narsis” oleh penulis, tapi lebih merupakan simbol dari Nusantara secara umum. Jelas merupakan suatu bentuk bukti arkeologi kebudayaan yang harus terus kita gali bersama, dimana dan kapan ada interseksi kebudayaan dan peradaban antara Yahudi (Jews) dengan Jawa (Nusantara). Bukti arkeologis terbaru juga dikemukakan oleh salah seorang Professor Arkeolog dari Brazil yang mengemukakan thesis dalam bukunya (yang sangat tebal) bahwa Atlantis, kota yang hilang dalam sekejap namun diceritakan merupakan suatu peradaban yang sangat maju di jamannya, telah diketemukan, jika menurut buku tersebut, di sekitar selat malaka sampai pulau Jawa dan Kalimantan. Pertanyaan berikutnya yang lebih besar adalah, Siapa manusia Nusantara sesungguhnya ?
Itulah Garuda gagah perkasa yang terbang melintasi langit Nusantara, Garuda dalam naskah “TikunganIblis” Teater Dinasti adalah personifikasi atau simbol manusia Nusantara sesungguhnya. “…Itu karena Garuda begitu kuatnya, tak tersakiti oleh luka, tak bergeming oleh rasa sengsara, tak mati-mati dalam derita. Sekuat apapun sangkar yang mengurungnya, tak mampu menghalangi terbang jauh impian-impiannya, sedahsyat apapun penjara yang menghimpitnya, tak sanggup menahan cita-cita kemerdekaannya. Demikianlah Sang Garuda, gagah perkasa hingga akhir hayatnya, tinggal anaknya, menetas kesepian dari telornya, sangkar adalah angkasa kesempitan hidupnya, pemilik sangkar adalah Bapak dan Ibu tirinya. Anak Garuda sayapnya tak pernah berlatih terbang, Anak Garuda tidak mengerti kegagahan mengarungi angkasa, Anak Garuda tidak mengalami kemandirian mencari nafkah penghidupannya, Anak Garuda tidak mempunyai sejarah untuk punya cita-cita. Anak Garuda beranak pinak, sosok tubuhnya makin kecil makin kecil, pandangannya makin sempit makin sempit, jwanya makin dangkal makin dangkal. Anak Garuda turun temurun dari jaman ke jaman, kegagahan dan rasa percaya diri makin hilang, sibuk menghabiskan waktu untuk segala hal yang remeh temeh. Anak Garuda, cucu Garuda, Cicit Garuda, Cucunya cucu Garuda, Cicitnya cicit Garuda, melewati angkasa majapahit, demak mataram, mengabdi kepada Raja demi Raja yang juga semakin kehilangan Garuda. Akhirnya Kaum Walanda dari mancanegara, meresmikan pergantian namanya, dari Garuda menjadi Emprit ….. “
Tidak ada komentar:
Posting Komentar