div id='fb-root'/>
  • CAKNUN.
  • Bersama Zastrow el-ngatawi
  • Jombang 1-5 Agustus 2015.

Sabtu, 27 September 2014

Di Mana Tuhan?...............

antri-prasmanan
Alkisah ditengah padang yang sepi Nabi Musa ‘alaihis salam kebetulan melewati seorang gembala yang sedang bercakap seorang diri,
“…di manakah Engkau, supaya aku dapat menjahit bajuMu, menisik kasutMu dan menata peraduanMu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat menyisir rambutMu dan mencium kakiMu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat mengilapkan sepatuMu dan membawakan air susu untuk minumanMu?”
“Bicara dengan siapa kamu?” Nabi Musa penasaran.
“Dengan Penciptaku, yang menguasai segalanya…”
“Apa??!” Nabi Musa murka seketika, “Alangkah lancang mulutmu! Kau kotori kesucian Tuhan dengan ucapan-ucapanmu itu!”

Si gembala terpukul oleh teguran keras Sang Nabi. Ia pun menyingkir dengan berurai air mata,
“Mulai sekarang, aku akan menutup mulutku selamanya…”
Nabi Musa membiarkannya berlalu, diam-diam merasa lega telah menunaikan tanggung jawabnya menjaga kesucian Tuhan. Tapi tak bisa lama. Kalam Allah menghentaknya,
“Mengapa engkau menghalang antara Aku dengan kekasihKu? Mengapa engkau pisahkan pencinta dari Kekasihnya?”
Tuhan ganti menegur rasulNya dan mengutusnya menyampaikan pesan cintaNya kepada si gembala.
Ini bukan pembenaran atas gagasan kaum Wahabi yang –dengan dalih menolak takwil– beranggapan bahwa Tuhan itu wujud jisim (eksistensi fisik) yang berbentuk dan berbadan. Mahasuci Allah dari segala penyifatan yang tak layak bagiNya. Teguran Tuhan kepada Nabi Musa itu bukan pembenaran atas kata-kata yang terucap oleh si gembala. Dalam kisah ini, Tuhan menegaskan bahwa kata-kata tinggallah kata-kata ketika cinta membuncah menerjang segala muara. Kata-kata bukan lagi utusan makna, melainkan hanya percikan dari air bah yang derasnya tak terpermana. Maka, teologi bukanlah segalanya.
Hanya saja, maqam cinta memang bukan milik semua orang. Hanya orang-orang khusus pilihanNya Sendiri yang Dia tempatkan disana. Orang awam membutuhkan teologi untuk menuntun akalnya. Dan kita pun mengikuti panduan Imam Abul Hasan Al Asy’ari atau Imam Abu Manshur Al Maturidi. Bukan untuk menangkap Candra Tuhan, tapi sekedar menjaga agar tidak terjerumus kedalam waham yang mengoyak iman.
Diantara panduan pokok Imam Abul Hasan Al Asy’ari adalah penegasan bahwa Tuhan itu tak terbatas. Mendakwa Tuhan berada dalam kedudukan terbatas, diatas atau dibawah, di langit atau di suatu tempat tertentu, termasuk ‘Arasy, tidaklah pantas bagi akal yang menyucikan Tuhan. Kecuali akal kanak-kanak yang boleh dimaklumi kedangkalannya.
Anak-anak panti asuhan mengantri makan. Prasmanan, tapi jelas dibatasi karena makanan harus cukup untuk semua orang.
Pengasuh panti ingin menanamkan kejujuran, membiarkan anak-anak mengambil sendiri jatah masing-masing dari sajian yang terjajar rapi diatas meja panjang itu. Di dekat piring tempe goreng yang letaknya paling depan, diletakkan tulisan peringatan:
“AMBIL SATU-SATU SAJA! INGAT, TUHAN MENGAWASI!”
Anak-anak tampak patuh semua. Tapi, ketika sampai di keranjang buah jeruk yang letaknya paling ujung, Darmo main curang. Diam-diam mengambil tiga!
“Mo! Kok ngambil tiga?” Ronny –tandem mbelingnya– menegur setengah berbisik.
“Sssst… Tenang saja…”, Darmo mengedip, “Tuhan lagi ngawasin tempe…”

 Sumber : Teronggosong.com

Tidak ada komentar: