div id='fb-root'/>
  • CAKNUN.
  • Bersama Zastrow el-ngatawi
  • Jombang 1-5 Agustus 2015.

Selasa, 06 Maret 2012

JAWABAN CAKNUN

> Suatu malam, Cak Nun tanya pada di sebuah forun
>
> “Apakah anda semua punya tetangga?”
>
> Wah, saya sebenarnya belum punya. Tetapi saya anak kost, tentu saja
kamar sebelah saya bisa disamakan dengan tetangga. Tetangga kost.
Jadi saya ikut-ikutan saja menjawab : “Tentu saja punya”.
>
> Cak Nun melanjutkan bertanya : “Punya istri enggak tetangga Anda?”
>
> Sebagian hadirin menjawab : “Ya, punya dong”. Saya diam saja.
Rasanya tetangga kost saya bujangan semua. Kebanyakan jomblo. Maklum
anak desa. Nggak pede ngajak pacaran teman kampusnya.
>
> Yang menarik adalah pertanyaan berikutnya : “Apakah anda pernah
lihat kaki istri tetangga Anda itu? Jari-jari kakinya lima atau
tujuh? Mulus atau ada bekas korengnya ?”

>
> Saya mulai kebingungan. Nggak ngeh sama arah pembicaraan Cak Nun.
>
> Kebanyakan menjawab : “Tidak pernah memperhatikan Cak. Ono opo Cak?”
>
> Cak Nun ndak peduli. Dia tanya lagi : “Body-nya sexy enggak?”
>
> Kami tak lagi bisa menahan tertawa. Geli deh. Apalagi saya yang
benar-benar tidak faham arah pembicaraan sang Kiai mbeling itu.
>
> Cuma Cak Nun yang tersenyum tipis. Jawabannya bagus banget. Dan ini
senantiasa saya ingat sampai hari ini. Sebuah prinsip pergaulan untuk
sebuah negeri yang memilih Pancasila : “Jadi ya begitu. Jari kakinya
lima atau tujuh. Bodynya sexy atau tidak bukan urusan kita,kan? Tidak
usah kita perhatikan, tak usah kita amati, tak usah kita dialogkan,
diskusikan atau perdebatkan. Biarin saja”.
>
> “Kenapa cak?” salah satu teman bertanya, penasaran.
>
> “Ya apa urusan kita ? Nah, keyakinan keagamaan orang lain itu ya
ibarat istri orang lain. Ndak usah diomong-omongkan, ndak usah
dipersoalkan benar salahnya, mana yang lebih unggul atau apapun.
Tentu, masing-masing suami punya penilaian bahwa istrinya begini
begitu dibanding istri tetangganya, tapi cukuplah disimpan didalam
hati saja”.
>
> Saya pun menangkap apa yang dia maksudkan. Saya setuju dengan
pandangan Cak Nun.
>
> Dia melanjutkan serius : “Bagi orang non-Islam, agama Islam itu
salah. Dan itulah sebabnya ia menjadi orang non-Islam. Kalau dia
beranggapan atau meyakini bahwa Islam itu benar ngapain dia jadi non-
Islam? Demikian juga, bagi orang Islam, agama lain itu salah, justru
berdasar itulah maka ia menjadi orang Islam. Tapi, sebagaimana istri
tetangga, itu disimpan saja didalam hati, jangan diungkapkan,
diperbandingkan, atau dijadikan bahan seminar atau pertengkaran.
>
> Biarlah setiap orang memilih istri sendiri-sendiri, dan jagalah
kemerdekaan masing-masing orang untuk menghormati dan mencintai
istrinya masing-masing, tak usah rewel bahwa istri kita lebih mancung
hidungnya karena Bapaknya dulu sunatnya pakai calak dan tidak pakai
dokter, umpamanya. Dengan kata yang lebih jelas, teologi agama-agama
tak usah dipertengkarkan, biarkan masing-masing pada keyakinannya. “
>
> Mengasyikkan. Saya kagum dibuatnya.
>
> Cak Nun terus berkata : “Itu prinsip kita dalam memandang berbagai
agama. Sementara itu orang muslim yang mau melahirkan padahal
motornya gembos, silakan pinjam motor tetangganya yang beragama
Katolik untuk mengantar istrinya ke rumah sakit. Atau, Pak Pastor
yang sebelah sana karena baju misanya kehujanan, padahal waktunya
mendesak, dia boleh pinjam baju koko tetangganya yang NU maupun yang
Muhamadiyah. Atau ada orang Hindu kerjasama bikin warung soto dengan
tetangga Budha, kemudian bareng-bareng bawa colt bak ke pasar dengan
tetangga Protestan untuk kulakan bahan-bahan jualannya.Begitu. “
>
> Kami semua terus menyimak paparannya.
>
> “Jadi ndak usah meributkan teologi agama orang lain. Itu sama aja
anda ngajak gelut tetangga anda. Mana ada orang yang mau isterinya
dibahas dan diomongin tanpa ujung pangkal. Tetangga-tetangga berbagai
pemeluk agama, warga berbagai parpol, golongan, aliran, kelompok,
atau apapun, silakan bekerja sama di bidang usaha perekonomian,
sosial, kebudayaan, sambil saling melindungi koridor teologi masing-
masing. “
>
> “Kerjasama itu dilakukan bisa dengan memperbaiki pagar bersama-
sama, bisa gugur gunung membersihkan kampung, bisa pergi mancing
bareng bisa main gaple dan remi bersama. Tidak ada masalah lurahnya
Muslim, cariknya Katolik, kamituwonya Hindu, kebayannya Gatholoco,
atau apapun. Itulah lingkaran tulus hati dangan hati. Itulah maiyah,”
ujarnya.
>
> Ketika mengatakan itu nada Cak Nun datar, nyaris tanpa emosi. Tapi
serius dan dalam. Saya menyimaknya sungguh-sungguh. Dan saya catat
baik-baik dalam hati saya. Sayangnya dunia memang tidak ideal. Di
Ambon dan Palu, misalnya saya lihat terlalu banyak orang usil
mengurusi isteri tetangganya. Begitu juga di berbagai tempat di
dunia. Di Bosnia. Atau yang paling baru di Irak dan Afghanistan.
Akibatnya ya perang dan hancur-hancuran. Menyedihkan. Sangat
menyedihkan.

Tidak ada komentar: