div id='fb-root'/>
  • CAKNUN.
  • Bersama Zastrow el-ngatawi
  • Jombang 1-5 Agustus 2015.

Jumat, 06 Januari 2012

Santri Pinggiran Menolak Pop Culture

Santri selalu di identikan dengan kopyah hitam dan memakai sarung. Berpenampilan apa adanya dan terkadang nyleneh. Kaum sarungan ini, acap kali disetreotipkan sebagai kaum konservatif, berwawasan sempit “kuno/salaf”, dan tidak peka terhadap zaman. Belum lagi, santri putri yang selalu mengenakan jilbab sederhana, dianggap “jadul dan norak” tidak berpenampilan menarik dan jauh dibawah standarisasi kecantikan pada umumnya. Justru jilbab yang melekat pada santri putri selain sebagai hijab, Jilbab adalah bentuk kritik terhadap komodifikasi perempuan yang marak di media elektronik, televisi semisal. Taruhlah contoh, iklan sabun mandi dan beberapa iklan lainnya yang secara terang-terangan mengeksploitasi perempuan. Inilah bentuk sensifitas gender dikalangan santri putri yang patut diapresiasi. Kultur tradisional dilingkungan pesantren mendidik para santri untuk selalu hidup sederhana, berani prihatin dan tidak neko-neko. Akan tetapi, bukan berarti mainstream berpikir mereka serta merta sederhana, seperti apa yang diasumsikan oleh kebanyakan orang dalam menilai kultur santri. Justru kemandirian, menjadi diri sendiri dan menolak arus di zamannya adalah nilai penting dalam pola hidup mereka (santri-red).

Pesantren menggembleng para santrinya untuk dapat hidup mandiri dan mampu menguasai khazanah pemikiran Islam klasik melalui kajian kitab kuningnya. Disaat semua orang membicarakan modernisme islam dan liberalisme islam, justru dari kalangan santri melalui kultur tradisionalnya mampu merespon pemikiran mereka (tokoh/pemikir modernisme islam-liberalisme islam) dengan corak berpikir post-tradisionalisme dan post-liberalisme. Toh, selama dua dasawarsa terakhir ini, sudah banyak pesantren yang mulai menkontekstualisasikan kurikulum pesantren dengan zaman yang sedang berlangsung. Sehingga tidak dapat dipungkiri, santri juga lebih kreatif dalam gerakan literasi, sastra dan aktif dalam organisasi mahasiswa serta organisasi masyarakat. Bahkan bebarapa tulisan mereka sudah marak menghiasi koran-koran baik lokal maupun nasional.

Dewasa ini, masyarakat Indonesia telah dihadapkan pada Globalisasi. Arus informasi secara brutal meng-injeksi masyarakat, bahkan identitas kultural bangsa Indonesia semakin tergilas oleh Globalisasi. Masyarakat Indonesia baik secara sadar maupun tidak, justru malah mengamini Universalisme Peradaban Barat. Generasi muda Indonesia merasa bangga saat memakai fashion ala barat (Eropa,dkk), merasa gagah ketika mendengarkan musik ala barat, merasa gaul ketika ngumpul di mall dan mengomsumsi segala hal yang berbau kebarat-baratan (semisal, kultur Mcdonalisasi). Kita sebut saja, mereka cenderung nge-pop, dan memang benar pop culture menjangkiti para penerus bangsa.

Budaya latah dan mem-bebek menjadi karakteristik generasi muda yang kebingungan. Mereka sudah malu menonton ketoprak/ kesenian tradisional, mereka lebih suka pergi ke twenty-one dan menonton film produk luar negeri. Telinga mereka sudah risih mendengarkan musik tradisional (gendingan, rebana, kesenian pesantren dll), mereka merasa lebih cool ketika mendengarkan musik produk luar negeri pop, rock, punk, emo punk, metal dan sejenisnya. Padahal musik tradisional indonesia banyak digemari di Eropa, tapi mengapa justru generasi muda indonesia cenderung apatis terhadap budayanya sendiri. Tidak jarang kita menjumpai turis-turis asing berduyun ikut belajar alat musik gamelan. Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah terdapat arus kultur global yang bergerak begitu cepat dikendalikan oleh iklim Kapitalisme-Neoliberalisme; sebuah kultur dengan kekuatan dasar daya ekonomi. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto dalam bukunya “Hermeneutika Paskakolonial; Menyoal Identitas” terbitan Kanisius 2008.

Disinilah pentingnya peran santri,  menjaga relevansi tradisi lama dan mengambil apa-apa yang baru dari kemajuan zaman. Percobaan masyarakat industri-informasi yang sedang berlangsung di Indonesia, tidak serta merta ditelan mentah-mentah. Perlu adanya penyaringan terhadap kultur barat (Eropa,dkk), agar tidak terjadi benturan antar budaya “cultural shock”, jangan sampai identitas kultural Indonesia tercerabut dalam diri generasi muda. Santri memiliki peluang besar untuk menjadi juru selamat  bagi kontradiksi budaya, watak kesederhanaan serta nalar kritisisme dan kreativitasnya dalam merespon zaman, menjadi bekal guna menempa hidup di pusaran Globalisasi. Hanya ada dua pilihan, zaman akan menggilas kita, atau kita yang akan mengendalikan zaman. Perlu digaris bawahi, bahwa tugas mulia ini bukan menjadi monopoli peran santri semata. Akan tetapi, santri harus bahu-membahu dengan aktor sosial  lainnya guna menjaga identitas kultural bangsa Indonesia. Wallahu a’lam bisshowab.
Bangkit Bamboe Moeda.

Tidak ada komentar: