Di bawah kibaran sarung anak-anak berangkat tidur ke haribaan malam.
Di bawah kibaran sarung rumah adalah kampong
Ayo temui aku dibawah kibaran sarung di tempat yang jauh terlindung
(Joko Pinurbo – Di Bawah Kibaran Sarung – 1999)
Puisi Joko Pinurbo di atas sungguh menggugah kerinduan saya tentang kampung. Saya kangen masa kecil saya dimana kami mengantri berwudhu di subuh yang beku. Kami pun mengalungkan sarung untuk menahan dingin, meski air wudhu di langgar tetap saja terasa seperti es. Selepas subuh, kami mlaku-mlaku ke sekeliling kampung, sampai menunggu matahari terbit. Sarung menjadi kalung, ada juga yang menjadikannya serupa jubah para ninja. Bila bermalam di langgar, sarung pun menjadi selimut yang bisa menghadang nyamuk dan juga dinginnya malam.
Seiring berjalannya waktu, saya menemukan keunikan kain yang tak berujung ini. Bila dibandingkan dengan kain lain, sarung memang yang paling sederhana. Cukup mudah untuk membuat sarung, hanya dengan menjahit sepotong kain pada kedua ujungnya sehingga terbentuk seperti tabung yang bolong pada kedua ujungnya. Umumnya, sarung digunakan untuk menutupi bagian bawah tubuh dengan mengikatkannya pada pinggang. Sarung sepertinya memang hanya ada di Indonesia, namun kain sarung sudah umum di kawasan Asia Tenggara. Di Skotlandia, ada kain bermotif kotak-kotak semacam sarung yang dinamakan Kilt. Jika Anda pernah nonton film Brave Heart, Anda pasti tahu sarung Skotlandia yang digunakan Mel Gibson. Bedanya, sarung Skotlandia itu hanya menutupi sampai lutut (seperti rok) dan satu lagi dikalungkan menyilang dada.
Kembali ke fungsinya, sarung memang kain multifungsi yang bisa digunakan dalam acara formal dan non formal. Dalam acara-acara adat, kondangan, shalat ied, dan akad nikah, kain sarung menjadi pilihan terbaik. Di luar acara resmi, kain sarung menjadi kain yang sangat multifungsi. Para jawara di masa lalu, misalnya Si Pitung, menggunakan sarung sebagai asesoris sekaligus sebagai senjata. Di pedesaan, sarung adalah seragam wajib bagi para peronda untuk menghindari nyamuk dan dinginnya malam. Anehnya, para maling juga menggunakan sarung untuk topeng penutup mukanya. Bahkan maling konvensional ini kerap menjadikan kain sarung ini menjadi tas darurat untuk membawa hasil curiannya. Satu lagi, yang saya alami sendiri, kain sarung juga bisa dijadikan sebagai kakus darurat. Yang ini jangan ditiru ya..
Di lingkungan pesantren, ada istilah kaum sarungan. Para santri memang hampir selalu menggunakan sarung dalam setiap aktifitasnya. Namun ada anggapan bahwa mereka yang mengenakan sarung biasanya pemalas dan lamban. Sarung katanya akan membuat si pemakai menjadi sulit bergerak dengan cepat. Bila memakai sarung orang tentu tidak bisa lari dengan kencang, misalnya, ketika dikejar anjing gila. Pandangan seperti ini tidak semuanya benar. Di Bali, para pemakai sarung punya kiat agar sarungnya kuat terpasang. Kain sarung dipasangeperti popok bayi, di mana bagian bawah sisi belakang sarung diangkat ke depan lalu digulung seperti biasa. Dengan kiat ini, sarung tetap bisa dipakai untuk melakukan aktifitas sepanjang hari.
Jadi sarung bisa saja digunakan dalam aktifitas sehari-hari. Tidak akan menghambat aktifitas, namun sarung malah akan membuat kita lebih bebas. Kalau tidak percaya, silahkan tanya pada pengantin baru. #ngikik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar