Seorang ibu nyai yang sedang sakit keras memberikan wasiat kepada suaminya,
“Bah, nanti kalau saya sudah meninggal, Abah boleh kawin lagi… tapi ada syaratnya…”
“Sudahlah, Bu, jangan dipikirkan… aku mencintaimu sepenuh hatiku…”, Pak Kiyai mencoba menghibur.
“Sungguh, Bah… Abah boleh kawin lagi… syaratnya cuma dua…”
Diam-diam tertarik, Pak Kiyai diam.
“Pertama, kalau Abah mau kawin lagi, tolong jangan tergesa-gesa… tolong hargai saya… jangan kawin dulu sebelum kuburanku kering…”
Pak Kiyai manggut-manggut tanpa kata. Tapi hatinya riang. “Ah, paling juga berapa hari…”, pikirnya.
“Yang kedua… Abah benar sayang sama saya ‘kan?” tatapan mata Bu Nyai merajuk, sekaligus memelas.
“Tentu Bu… tentu… Apa pun yang kau minta pasti kuturuti!” Pak Kiyai mengelus lembut dahi isterinya. Tapi hatinya tak sabar ingin mendengar syarat yang kedua.
“Saya ingin kuburanku nanti disirami setiap hari…”
* * *
Soal wayuh (matsna), biarpun nyai tetap saja gawat. Sudah meninggal saja nggak mau diwayuh, apalagi masih hidup. Seandainya Pak Kyai minta ijin wayuh ketika Bu Nyai masih hidup, mungkin Bu Nyai akan jawab,
“Nggak wayuh-wayuhan!”
Kyai: Mbok Jangan gitu to Bu. Wayuh itu kan halal.
Nyai: Nggak halal-halan!
Kyai: Lho. Ini sarengat lho Bu.
Nyai: Nggak sarengat-sarengatan!
Kyai: Gimana sih? Sarengat itu pegangannya orang Islam.
Nyai: Nggak Islam-Islaman!
????
“Bah, nanti kalau saya sudah meninggal, Abah boleh kawin lagi… tapi ada syaratnya…”
“Sudahlah, Bu, jangan dipikirkan… aku mencintaimu sepenuh hatiku…”, Pak Kiyai mencoba menghibur.
“Sungguh, Bah… Abah boleh kawin lagi… syaratnya cuma dua…”
Diam-diam tertarik, Pak Kiyai diam.
“Pertama, kalau Abah mau kawin lagi, tolong jangan tergesa-gesa… tolong hargai saya… jangan kawin dulu sebelum kuburanku kering…”
Pak Kiyai manggut-manggut tanpa kata. Tapi hatinya riang. “Ah, paling juga berapa hari…”, pikirnya.
“Yang kedua… Abah benar sayang sama saya ‘kan?” tatapan mata Bu Nyai merajuk, sekaligus memelas.
“Tentu Bu… tentu… Apa pun yang kau minta pasti kuturuti!” Pak Kiyai mengelus lembut dahi isterinya. Tapi hatinya tak sabar ingin mendengar syarat yang kedua.
“Saya ingin kuburanku nanti disirami setiap hari…”
* * *
Soal wayuh (matsna), biarpun nyai tetap saja gawat. Sudah meninggal saja nggak mau diwayuh, apalagi masih hidup. Seandainya Pak Kyai minta ijin wayuh ketika Bu Nyai masih hidup, mungkin Bu Nyai akan jawab,
“Nggak wayuh-wayuhan!”
Kyai: Mbok Jangan gitu to Bu. Wayuh itu kan halal.
Nyai: Nggak halal-halan!
Kyai: Lho. Ini sarengat lho Bu.
Nyai: Nggak sarengat-sarengatan!
Kyai: Gimana sih? Sarengat itu pegangannya orang Islam.
Nyai: Nggak Islam-Islaman!
????
Tidak ada komentar:
Posting Komentar