Pernah diceritakan, dahulu kala, KH.
Abdul Hamid Pasuruan mempunyai khadam (orang yg membantu kebutuhan
sehari-hari Kiai) yg berasal dari kota Malang, Ihsan, itulah sapaan
akrabnya. Mengikuti segala rutinitas pesantren, menjaga putra Kiai, dan
sekolah. Itulah kebiasaan sehari-harinya.
Tahun demi tahun, Ihsan
lewati masa-masa santrinya di pondok salafiyah dengan bahagia. Akan
tetapi semua itu menjadi sirna ketika ayahanda Ihsan, H. Nuruddin,
menjemputnya dengan maksud utk memberhentikan sementara Ikhsan dari pesantren.
“Ihsan… Bapak wes orah duwe duwit nak, nyambot gawene Bapak orah hasil.
Awakmu sak iki boyong ae sementara, engko lek abah wes duwe duwet
mondok maneh.” (Ihsan… Bapak sudah tidak punya uang lagi, pekerjaan
Bapak masih belum hasil. Sekarang kamu berhenti saja dulu dari
pesantren, nanti jika Bapak sudah punya uang Ikhsan mondok lagi). Ujar
Ayah Ihsan. Mendengar ucapan tersebut Ihsan pun tdk mampu berbuat
apa-apa lagi, Ia juga tak kuasa menggerakkan bibirnya utk menjawab
penjelasan dari ayahnya. Dengan pasrah Ihsan pun mengangguk. “Ayo nak
saiki tak pametno nang Romo Kiai.” (ayo nak, sekarang saya pamitkan ke
romo Kiai) ajak ayah Ihsan.
Ketika berjalan menuju Ndalem (kediaman) Mbah Hamid, beliau sudah berada di teras kediamannya. Ketika Ayah dan anak tersebut sudah mendekat Mbah Hamid langsung berkata. “Wes, saiki sampean mulio Ihsan lek nang kene anakku, sampean nggak usah repot ngirim. Jarno Ihsan nangkene ambek aku.” (Sudah, sekarang sampean pulang saja, kalau di sini Ihsan adalah anakku, sampean tidak usah repot untuk mengirim bekal. Biarkan Ikhsan disini bersama saya) ujar Mbah Hamid dengan nada yang agak tinggi. Subhanalloh… padahal ayah Ihsan masih belum mengucap sepetah kata pun. Akan tetapi Mbah Hamid sudah mengetahui maksud kedatangannya.
Mendengar ucapan Mbah Hamid yg seperti itu, Ayah Ihsan tidak bisa berbuat apa-apa. Beliau pun hanya bisa menganggukkan kepala. Setelah ayah Ihsan meminta undur diri. Mbah Hamid langsung mengajak Ihsan kedalam Ndalem “San, awakmu nang kene melok aku. Lek Aku mangan, awakmu yo mangan. Lek Aku nggak mangan, awakmu yo orah mangan. Awakmu kan bagian ndulang Naseh. Lah, lek adang lebihono awakmu oleh ngampung” (San, Kamu di sini saja ikut denganku. Kalau Aku makan, kamu juga makan. Kalau Aku tidak makan, kamu juga tidak makan. Kamukan biasanya menyuapi Nashih (putra kedua Mbah Hamid). Lah, kalau menanak nasi, sekarang kamu lebihkan, kamu boleh ikut makan juga) ujar Mbah Hamid dengan nada yg lembut. Mendengar ucapan Mbah Hamid yg seperti itu, Ihsan pun tak kuasa untuk menahan tangis harunya. Dan Ihsan yg kini yang memangku pesantren Nurul Hikmah as-Salafiyah di desa Ketintang, Pajaran Ponco Kusumo Malang tersebut, mengaku bahwa semenjak beliau tak lagi dikirim bekal oleh orang tuanya. Rezeki beliau di pesantren malah bertambah banyak, hingga dapat membeli 8 sarung sutra yang harganya kurang lebih Rp. 250.000 (uang sekarang).
sumber
Ketika berjalan menuju Ndalem (kediaman) Mbah Hamid, beliau sudah berada di teras kediamannya. Ketika Ayah dan anak tersebut sudah mendekat Mbah Hamid langsung berkata. “Wes, saiki sampean mulio Ihsan lek nang kene anakku, sampean nggak usah repot ngirim. Jarno Ihsan nangkene ambek aku.” (Sudah, sekarang sampean pulang saja, kalau di sini Ihsan adalah anakku, sampean tidak usah repot untuk mengirim bekal. Biarkan Ikhsan disini bersama saya) ujar Mbah Hamid dengan nada yang agak tinggi. Subhanalloh… padahal ayah Ihsan masih belum mengucap sepetah kata pun. Akan tetapi Mbah Hamid sudah mengetahui maksud kedatangannya.
Mendengar ucapan Mbah Hamid yg seperti itu, Ayah Ihsan tidak bisa berbuat apa-apa. Beliau pun hanya bisa menganggukkan kepala. Setelah ayah Ihsan meminta undur diri. Mbah Hamid langsung mengajak Ihsan kedalam Ndalem “San, awakmu nang kene melok aku. Lek Aku mangan, awakmu yo mangan. Lek Aku nggak mangan, awakmu yo orah mangan. Awakmu kan bagian ndulang Naseh. Lah, lek adang lebihono awakmu oleh ngampung” (San, Kamu di sini saja ikut denganku. Kalau Aku makan, kamu juga makan. Kalau Aku tidak makan, kamu juga tidak makan. Kamukan biasanya menyuapi Nashih (putra kedua Mbah Hamid). Lah, kalau menanak nasi, sekarang kamu lebihkan, kamu boleh ikut makan juga) ujar Mbah Hamid dengan nada yg lembut. Mendengar ucapan Mbah Hamid yg seperti itu, Ihsan pun tak kuasa untuk menahan tangis harunya. Dan Ihsan yg kini yang memangku pesantren Nurul Hikmah as-Salafiyah di desa Ketintang, Pajaran Ponco Kusumo Malang tersebut, mengaku bahwa semenjak beliau tak lagi dikirim bekal oleh orang tuanya. Rezeki beliau di pesantren malah bertambah banyak, hingga dapat membeli 8 sarung sutra yang harganya kurang lebih Rp. 250.000 (uang sekarang).
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar