div id='fb-root'/>
  • CAKNUN.
  • Bersama Zastrow el-ngatawi
  • Jombang 1-5 Agustus 2015.

Rabu, 28 Januari 2015

GURU MAJID MACAN BETAWI


GURU MAJID MACAN BETAWI

KH Abdul Majid atau lebih dikenal sebagai Guru Majid, lahir pada tahun 1887 di Pekojan, Jakarta Barat. Ayahnya bernama KH. Abdurrahman bin Sulaiman bin Muhammad Nur bin Rahmatullah. Buyutnya yang bernama Rahmatulllah ini, konon masih keturunan Pangeran Diponegoro.

Guru Majid belajar agama kepada ayahmya sendiri sebelum bermukim di Makkah dan belajar antara lain kepada Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Umar Bajunaid al-Hadrami, Syaikh Ali Al-Maliki dan Syaikh Sa'id al Yamani, seperti lazimmya ulama saat itu, ilmu yang dipelajari sangat standar mulai dari ilmu Fiqih, Usul Fiqih, Tafsir Hadist dan beberapa cabang ilmu bahasa Arab. Namun demikian, Guru Majid terkenal sebagai ahli ilmu Tasawuf, ahli tafsir dan terutama sekali ahli bidang ilmu falaq. Ia pergi ke Makkah pada tahun 1897 atau di usianya yang ke 10 tahun. Ia belajar di sana selama 20 tahun kemudian kembali ke Indonesia pada tahun 1917 lain mengajar di Jakarta selama 30 tahun.

Guru Majid tidak hanya mengajar tetapi juga berdagang. Pada tahun 1914 hingga 1944 selain mengajar ia juga menjadi Pengurus Masyumi-NU dan menjadi anggota Cosangiin (semacam anggota DPRD Jepang).

Jadwal mengajar Guru Majid sangat padat. Ia mengajar di Gang Abu dan Gang Sase Kemakmuran, Sawah Besar, Petojo, Batu Tulis, Tanjung Priok, Kramat Senen, Rawa Bangke, Jatinegara, Klender dan Bekasi. Di rumahnya, Gang Koja, Pekojan, Jakarta Barat, ia mengajar setiap hari mulai pukul 08.00-11.00 WIB. Dengan aktivitas mengajamya di beberapa tempat maka tidak heran jika Guru Majid memiliki banyak murid yang kelak menjadi ulama Betawi terkemuka. Di antaranya adalah KH Thabrani Paseban, KH. Abdul Razaq Ma'rnun (Tegal Parang), KH. Abdul Rahman (Petunduan), KH. Abdul Ghani (Basmol), KH.Sholeh (Koja), KH. M. Nadjihun (Kosambi), KH. Nursan (Batu Ceper), KH. Abdullah Syafi'i (Bali Matraman), KH. Nahrowi (Kuningan), KH. Saidi (Ciputat), KH. Muhadjirin (pendiri dan pimpinan Pesantren An-Nida'ul Islamy Bekasi), KH. Rodjiun, KH Tohir Rohili (Pendiri Perguruan Islam Attahiriyyah Kampung Melayu), KH. Nadjib (Tanah Abang), KH. Bakir (Rawa Bangke), KH. Abdul Rahman (Bekasi), KH. Bakar (Tambun), KH. Abdullah (Kampung Baru Cakung), KH. Muh Ali (Duri Kosambi), KH. Mas'ud (Pesalo Basmol), H. Azhari (Kampung Ketapang), H. Sjarbini (Kedaung Kaliangke), H. Abdul Wahab (Rawa Buaya), H. Ma'mun (Rawabuaya), H. Sukri, H. Arsad dan H. Amin (Batu Ceper) dan KH. Syafi'i Hadzami (Kebayoran Lama).

Di mata para muridnya sendiri, Guru Majid semasa hidupnya banyak menunjukan keluarbiasaan, yang dalam bahasa Arab dikatakan Khariqul'adah. Di antara peristiwa keluarbiasaanyang diingat oleh muridnya adalah ketika Guru Majid dan para muridnya terhindar dari bahaya tertimbun reruntuhan masjid di jalan Pacenongan yang sedang digunakan mengaji. Konon ketika Guru Majid dan salah seorang ulama lain, KH Abdurrahman, sedang mengajar mengaji, tiba-tiba ia memperoleh firasat untuk memindahkan acara pengajian ke serambi masjid. Selang sekitar 15 menit kemudian, bangunan utama masjid itu roboh dan tinggal serambinya yang masih tegak.

Guru Majid berpulang ke rahmatullah pada hari Jumat, 27 Juni 1947 dalam usia 60 tahun dan di makamkan dekat Masjid AI-Musari'in Kampung Basmol, Kembangan Utara Jakarta Barat. Sebelum wafat, Guru Majid minta izin kepada salah seorang muridnya, KH. Abdul Ghani agar kelak ia dimakamkan di lingkungan masjid milik KH. Abdul Ghani di Kampung Pesalo, Basmol. Tentu saja sang murid sangat gembira dan menyetujuinya.

Ada latar belakang kenapa ulama pengarang kitab Arab Melayu Taqwimun Nayyirain di bidang ilmu falaq ini dimakamkan di daerah Pesalo Basmol, ditengah-tengah lingkungan para muridnya. Dalam surat wasiat yang ditulis dengan huruf Arab Melayu, ia menyebut keadaan perkuburan di Jakarta sebagai alasan permintaannya. Sangat mungkin Guru Majid mengantisipasi adanya kemungkinan pembongkaran pekuburan ketika kota Jakarta semakin berkembang. Di samping itu, masih ada alasan lain, seperti tanda-tanda setelah shalat istikharah dan bahan-bahan rujukan dari beberapa kitab mengenai hukum pemindahan mayat. Pada waktu itu ada pemakaman yang dinamakan Kampung Gusti. Guru Majid pernah berkata jika ada yang meninggal dunia jangan dimakamkan di sana karena akan digusur dan dijadikan sebuah kota. Ternyata perkataan tersebut terbukti benar saat ini, padahal saat itu masih keadaan perang. KH Abdul Majid atau lebih dikenal sebagai Guru Majid, lahir pada tahun 1887 di Pekojan, Jakarta Barat. Ayahnya bernama KH. Abdurrahman bin Sulaiman bin Muhammad Nur bin Rahmatullah. Buyutnya yang bernama Rahmatulllah ini, konon masih keturunan Pangeran Diponegoro.
Guru Majid belajar agama kepada ayahmya sendiri sebelum bermukim di Makkah dan belajar antara lain kepada Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Umar Bajunaid al-Hadrami, Syaikh Ali Al-Maliki dan Syaikh Sa'id al Yamani, seperti lazimmya ulama saat itu, ilmu yang dipelajari sangat standar mulai dari ilmu Fiqih, Usul Fiqih, Tafsir Hadist dan beberapa cabang ilmu bahasa Arab. Namun demikian, Guru Majid terkenal sebagai ahli ilmu Tasawuf, ahli tafsir dan terutama sekali ahli bidang ilmu falaq. Ia pergi ke Makkah pada tahun 1897 atau di usianya yang ke 10 tahun. Ia belajar di sana selama 20 tahun kemudian kembali ke Indonesia pada tahun 1917 lain mengajar di Jakarta selama 30 tahun.

Guru Majid tidak hanya mengajar tetapi juga berdagang. Pada tahun 1914 hingga 1944 selain mengajar ia juga menjadi Pengurus Masyumi-NU dan menjadi anggota Cosangiin (semacam anggota DPRD Jepang).
Jadwal mengajar Guru Majid sangat padat. Ia mengajar di Gang Abu dan Gang Sase Kemakmuran, Sawah Besar, Petojo, Batu Tulis, Tanjung Priok, Kramat Senen, Rawa Bangke, Jatinegara, Klender dan Bekasi. Di rumahnya, Gang Koja, Pekojan, Jakarta Barat, ia mengajar setiap hari mulai pukul 08.00-11.00 WIB. Dengan aktivitas mengajamya di beberapa tempat maka tidak heran jika Guru Majid memiliki banyak murid yang kelak menjadi ulama Betawi terkemuka. Di antaranya adalah KH Thabrani Paseban, KH. Abdul Razaq Ma'rnun (Tegal Parang), KH. Abdul Rahman (Petunduan), KH. Abdul Ghani (Basmol), KH.Sholeh (Koja), KH. M. Nadjihun (Kosambi), KH. Nursan (Batu Ceper), KH. Abdullah Syafi'i (Bali Matraman), KH. Nahrowi (Kuningan), KH. Saidi (Ciputat), KH. Muhadjirin (pendiri dan pimpinan Pesantren An-Nida'ul Islamy Bekasi), KH. Rodjiun, KH Tohir Rohili (Pendiri Perguruan Islam Attahiriyyah Kampung Melayu), KH. Nadjib (Tanah Abang), KH. Bakir (Rawa Bangke), KH. Abdul Rahman (Bekasi), KH. Bakar (Tambun), KH. Abdullah (Kampung Baru Cakung), KH. Muh Ali (Duri Kosambi), KH. Mas'ud (Pesalo Basmol), H. Azhari (Kampung Ketapang), H. Sjarbini (Kedaung Kaliangke), H. Abdul Wahab (Rawa Buaya), H. Ma'mun (Rawabuaya), H. Sukri, H. Arsad dan H. Amin (Batu Ceper) dan KH. Syafi'i Hadzami (Kebayoran Lama).
Di mata para muridnya sendiri, Guru Majid semasa hidupnya banyak menunjukan keluarbiasaan, yang dalam bahasa Arab dikatakan Khariqul'adah. Di antara peristiwa keluarbiasaanyang diingat oleh muridnya adalah ketika Guru Majid dan para muridnya terhindar dari bahaya tertimbun reruntuhan masjid di jalan Pacenongan yang sedang digunakan mengaji. Konon ketika Guru Majid dan salah seorang ulama lain, KH Abdurrahman, sedang mengajar mengaji, tiba-tiba ia memperoleh firasat untuk memindahkan acara pengajian ke serambi masjid. Selang sekitar 15 menit kemudian, bangunan utama masjid itu roboh dan tinggal serambinya yang masih tegak.
Guru Majid berpulang ke rahmatullah pada hari Jumat, 27 Juni 1947 dalam usia 60 tahun dan di makamkan dekat Masjid AI-Musari'in Kampung Basmol, Kembangan Utara Jakarta Barat. Sebelum wafat, Guru Majid minta izin kepada salah seorang muridnya, KH. Abdul Ghani agar kelak ia dimakamkan di lingkungan masjid milik KH. Abdul Ghani di Kampung Pesalo, Basmol. Tentu saja sang murid sangat gembira dan menyetujuinya.
Ada latar belakang kenapa ulama pengarang kitab Arab Melayu Taqwimun Nayyirain di bidang ilmu falaq ini dimakamkan di daerah Pesalo Basmol, ditengah-tengah lingkungan para muridnya. Dalam surat wasiat yang ditulis dengan huruf Arab Melayu, ia menyebut keadaan perkuburan di Jakarta sebagai alasan permintaannya. Sangat mungkin Guru Majid mengantisipasi adanya kemungkinan pembongkaran pekuburan ketika kota Jakarta semakin berkembang. Di samping itu, masih ada alasan lain, seperti tanda-tanda setelah shalat istikharah dan bahan-bahan rujukan dari beberapa kitab mengenai hukum pemindahan mayat. Pada waktu itu ada pemakaman yang dinamakan Kampung Gusti. Guru Majid pernah berkata jika ada yang meninggal dunia jangan dimakamkan di sana karena akan digusur dan dijadikan sebuah kota. Ternyata perkataan tersebut terbukti benar saat ini, padahal saat itu masih keadaan perang.
Sumber 

Tidak ada komentar: