div id='fb-root'/>
  • CAKNUN.
  • Bersama Zastrow el-ngatawi
  • Jombang 1-5 Agustus 2015.

Rabu, 09 Januari 2013

TEMBAKAU OH.. TEMBAKAU.

Telah disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) No 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan oleh Presiden SBY pada 24 Desember 2012 silam.
Pengetatan antara lain tercermin pada pasal 1 ayat (4) PP tersebut yang menetapkan bahwa nikotin adalah zat atau bahan senyawa pyrrolidine yang terdapat dalam nicotiana tabacum, nicotiana rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang bersifat adiktif dan dapat mengakibatkan ketergantungan.
PP ini juga lebih ketat dalam mengatur produksi dan perdagangan rokok, dimana pasal 17 PP ini menetapkan, setiap industri rokok harus mencantumkan peringatan tentang bahaya merokok yang tidak hanya dalam bentuk kalimat, namun juga gambar.
Selengkapnya, inilah bunyi pasal 17 tersebut sebagaimana dikutip dari situs resmi Kementerian Sekertariat Negara, www.setneg.go.id; ”Dicantumkan pada bagian atas kemasan sisi lebar bagian depan dan belakang masing-masing seluas 40 persen (empat puluh persen), diawali dengan kata “Peringatan” dengan menggunakan huruf berwarna putih dengan dasar hitam, harus dicetak dengan jelas dan mencolok, baik sebagian atau seluruhnya”. 
Gambar dan tulisan peringatan kesehatan tidak boleh tertutup apapun, sementara pada sisi lain kemasan dapat dicantumkan peringatan “tidak ada batas aman” dan “mengandung lebih dari 4000 zat kimia berbahaya serta lebih dari 43 zat penyebab kanker”.
Selain itu, industri rokok juga tidak boleh lagi menggunakan kata “Light”, “Ultra Light”, “Mild”, “Extra Mild”, “Low Tar”, “Slim”, “Special”, “Full Flavour”, “Premium” atau kata lain pada produknya, yang mengindikasikan kualitas, superioritas, rasa aman, pencitraan, kepribadian, ataupun kata-kata dengan arti yang sama.
PP ini pun juga mengatur tentang pengendalian iklan rokok baik melalui media cetak, elektronik maupun media luar ruang seperti spanduk, baliho dan sebagainya. Misalnya, industri rokok tidak boleh menjadikan sosok anak-anak, remaja atau wanita hamil sebagai model, dan tulisan juga tidak boleh menggunakan kata atau kalimat yang menyesatkan.
Lebih tegas, pasal 27 e PP No 109 menyebut, kalimat iklan tidak boleh merangsang atau menyarankan orang untuk merokok.
PP ini seharusnya sudah disahkan pada 2010, bertepatan dengan satu tahun setelah disahkannya Undang-undang Kesehatan pada 2009. Namun maraknya protes dan tarik ulur kepentingan pihak-pihak yang terkait dengan isi PP ini, membuat pengesahannya molor hingga 24 Desember 2012.
Hal yang paling dikhawatirkan para produsen rokok dan petani tembakau atas aturan dalam PP ini adalah, hilangnya pendapatan secara signifikan. Bahkan para produsen rokok tradisional khawtir peraturan ini akan membuat usaha mereka gulung tikar. Namun, para aktivis antirokok dan pemerintah meyakinkan bahwa PP ini dibuat demi kesehatan msyarakat juga.
Terkait dengan kekhawtiran para produsen rokok tradisonal yang rata-rata merupakan kalangan pengusaha kecil dan menengah, pemerintah memberikan solusi dengan hanya mewajibkan pencantuman peringatan kesehatan bagi produsen dengan kemampuan produksi di atas 24 juta batang rokok per tahun.

PP No 109 ini bahkan mengatur adanya  kewajiban bagi pemerintah pusat maupun daerah untuk melakukan diversifikasi tanaman tembakau dengan melibatkan masyarakat sebagai upaya melindungi kelestarian tanaman jenis ini.

Pemerintah memberi waktu kepada setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor rokok paling lambat 18 bulan, terhitung sejak PP ini diundangkan, untuk mengikuti ketentuan yang ditetapkan dalam PP No 109.