Pengetatan antara lain tercermin pada pasal 1 ayat (4)
PP tersebut yang menetapkan bahwa nikotin adalah zat atau bahan senyawa
pyrrolidine yang terdapat dalam nicotiana tabacum, nicotiana rustica dan
spesies lainnya atau sintetisnya yang bersifat adiktif dan dapat mengakibatkan
ketergantungan.
PP ini juga lebih ketat dalam mengatur produksi dan
perdagangan rokok, dimana pasal 17 PP ini menetapkan, setiap industri rokok
harus mencantumkan peringatan tentang bahaya merokok yang tidak hanya dalam
bentuk kalimat, namun juga gambar.
Selengkapnya, inilah bunyi pasal 17 tersebut sebagaimana
dikutip dari situs resmi Kementerian Sekertariat Negara, www.setneg.go.id;
”Dicantumkan pada bagian atas kemasan sisi lebar bagian depan dan belakang
masing-masing seluas 40 persen (empat puluh persen), diawali dengan kata
“Peringatan” dengan menggunakan huruf berwarna putih dengan dasar hitam, harus
dicetak dengan jelas dan mencolok, baik sebagian atau seluruhnya”.
Gambar dan tulisan peringatan kesehatan tidak boleh
tertutup apapun, sementara pada sisi lain kemasan dapat dicantumkan peringatan
“tidak ada batas aman” dan “mengandung lebih dari 4000 zat kimia berbahaya
serta lebih dari 43 zat penyebab kanker”.
Selain itu, industri rokok juga tidak boleh lagi
menggunakan kata “Light”, “Ultra Light”, “Mild”, “Extra Mild”, “Low Tar”,
“Slim”, “Special”, “Full Flavour”, “Premium” atau kata lain pada produknya,
yang mengindikasikan kualitas, superioritas, rasa aman, pencitraan,
kepribadian, ataupun kata-kata dengan arti yang sama.
PP ini pun juga mengatur tentang pengendalian iklan
rokok baik melalui media cetak, elektronik maupun media luar ruang seperti
spanduk, baliho dan sebagainya. Misalnya, industri rokok tidak boleh menjadikan
sosok anak-anak, remaja atau wanita hamil sebagai model, dan tulisan juga tidak
boleh menggunakan kata atau kalimat yang menyesatkan.
Lebih tegas, pasal 27 e PP No 109 menyebut, kalimat
iklan tidak boleh merangsang atau menyarankan orang untuk merokok.
PP ini seharusnya sudah disahkan pada 2010, bertepatan
dengan satu tahun setelah disahkannya Undang-undang Kesehatan pada 2009. Namun
maraknya protes dan tarik ulur kepentingan pihak-pihak yang terkait dengan isi
PP ini, membuat pengesahannya molor hingga 24 Desember 2012.
Hal yang paling dikhawatirkan para produsen rokok dan
petani tembakau atas aturan dalam PP ini adalah, hilangnya pendapatan secara
signifikan. Bahkan para produsen rokok tradisional khawtir peraturan ini akan
membuat usaha mereka gulung tikar. Namun, para aktivis antirokok dan pemerintah
meyakinkan bahwa PP ini dibuat demi kesehatan msyarakat juga.
Terkait dengan kekhawtiran para produsen rokok
tradisonal yang rata-rata merupakan kalangan pengusaha kecil dan menengah,
pemerintah memberikan solusi dengan hanya mewajibkan pencantuman peringatan
kesehatan bagi produsen dengan kemampuan produksi di atas 24 juta batang rokok
per tahun.
PP No 109 ini bahkan mengatur adanya kewajiban
bagi pemerintah pusat maupun daerah untuk melakukan diversifikasi tanaman
tembakau dengan melibatkan masyarakat sebagai upaya melindungi kelestarian
tanaman jenis ini.
Pemerintah memberi waktu kepada setiap orang yang
memproduksi dan/atau mengimpor rokok paling lambat 18 bulan, terhitung sejak PP
ini diundangkan, untuk mengikuti ketentuan yang ditetapkan dalam PP No 109.