div id='fb-root'/>
  • CAKNUN.
  • Bersama Zastrow el-ngatawi
  • Jombang 1-5 Agustus 2015.

Senin, 05 November 2012

Terorisme di Indonesia; dalam Tinjauan Psikologi

Terorisme di Indonesia; dalam Tinjauan Psikologi
Penulis: Sarlito Wirawan Sarwono
Penerbit: Pustaka Alvabet, Jakarta, Juli 2012, 168 halaman

Terorisme menjadi momok menakutkan bagi siapa saja. Dewasa ini, Indonesia bahkan kerap menjadi pemberitaan internasional seiring dengan maraknya aksi teror yang terjadi. Berbagai upaya pun dilakukan demi menumpas aksi tersebut. Hasilnya, puluhan orang yang diyakini sebagai pelaku teror ditangkapi, termasuk menembak mati gembongnya: Dr. Azahari.

Tapi regenerasi di kalangan teroris seakan tak tersentuh dalam operasi penumpasannya. Peristiwa Solo dan bom Depok baru-baru ini menunjukkan betapa upaya tersebut tidak cukup. Lalu, apa gerangan yang menjadi motivasi para pelaku teror dan bagaimana sejatinya psikologi mereka? Sarlito Wirawan Sarwono mencoba menjawabnya dari sudut pandang psikologi.



Kekerasan atas nama agama sepertinya tidak ada hentinya di Indonesia. Kuantitas dan kualitasnya kian hari kian bertambah serta semakin banyak menimbulkan korban. Tidak sedikit teori yang dikembangkan untuk menjelaskan mengapa konflik-konflik itu terus terulang.

Sebagian pakar mengatakan, sumbernya adalah ambisi kekuasaan pemimpin sebuah kelompok. Sebagian lagi mengacu pada perebutan lahan atau sumber ekonomi. Ada juga yang disebabkan perbedaan ideologi.

Munculnya kelompok garis keras berideologi agama diyakini ada sejak S.M. Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) alias Darul Islam (DI) pada 7 Agustus 1949, akibat kejengkelannya atas perlakuan tidak adil pemerintahan Soekarno. Gerakan ini bahkan mendapat dukungan cukup luas di berbagai daerah, seperti Sulawesi Selatan, Aceh, dan Jawa Tengah.

Gerakan itu akhirnya dapat ditumpas pemerintah. Tapi kelompok garis keras berideologi negara Islam tidaklah mati. Saat ini, Jamaah Islamiyah (JI) diyakini sebagai kelompok yang mewarisi ideologi Kartosuwiryo melalui sosok Abdullah Sungkar, sang pendiri JI, yang juga merupakan mantan anggota DI/TII.

Itu bila dilihat dari sisi riwayatnya. Dari sisi psikologis, terorisme adalah bentuk konflik yang sangat kompleks. Ada berbagai macam motivasi yang dapat membuat seseorang terlibat dalam terorisme. Dari sekadar ikut-ikutan (tanpa mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi) sampai jihad ekstrem yang rela mengorbankan jiwa bagi kemenangan agama.

Terlepas dari perbedaan motivasi itu, terdapat kesamaan di antara para pelakunya. Mereka ingin memperbaiki keadaan yang mereka anggap tidak adil dan tidak sejalan dengan ajaran Islam. Pemerintah pada umumnya dituduh tidak adil pada Islam. Dan cara mereka menjalankan negara dinilai tidak Islami.

Mereka melihat Islam secara hitam-putih antara baik dan buruk serta memaknai Al-Quran dan Hadis secara literer dan tekstual. Sedangkan konsep jihad hanya dipahami sebagai memerangi yang nonmuslim dan muslim yang tidak mempraktekkan Islam secara syariah. Artinya, perilaku ini bukan perilaku bawaan sejak lahir karena tidak ada orang yang sejak lahir radikal, atau disiplin, rajin belajar, atau benci pada suatu hal. Semuanya dibentuk oleh pengalaman, pengasuhan, pendidikan, dan pelatihan.

Dengan demikian, secara teoretis, sikap dan ideologi para pelaku teror itu bisa diubah, dikurangi, bahkan dihilangkan melalui pelatihan untuk mengembangkan proses berpikir alternatif, komparatif, dan kreatif. Terbukti, dalam sebuah kegiatan terapi yang mempertemukan mantan pelaku teror dengan keluarga korban, seorang peserta yang pernah terkait dengan terorisme menyampaikan permohonan maaf secara tulus kepada korban dan keluarganya.

Buku berukuran saku ini adalah buah kajian psikolog kondang Sarlito sejak 2004. Dengan demikian, buku ini merupakan karya yang bisa dipertanggungjawabkan, baik keabsahan data yang dipaparkan maupun kesimpulan dan solusi yang ditawarkan. Sebuah upaya penulisnya untuk menyebarkan pengetahuan yang dimiliki sebagai usaha meminimalisasi aksi terorisme yang seakan tak kunjung berhenti.

Hilyatul Auliya
Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Tidak ada komentar: