div id='fb-root'/>
  • CAKNUN.
  • Bersama Zastrow el-ngatawi
  • Jombang 1-5 Agustus 2015.

Minggu, 04 November 2012

Soeharto Si Duda Kembang


Kita catat dulu sebagian bunyi teks Ikrar Husnul Khatimah yang disusun sendiri oleh Pak Harto. yang disodorkan draft-nya kepada saya, dan ia ikrarkan kepada Tuhan pada pagi hari 14 Pebruari 1999 di rumahnya: “….saya memohon maaf kepadaMu ya Allah, dan saya mempertanggung-jawabkan padamu di akhirat. Apabila ada kesalahan dan kekhilafan di dunia ini, saya akan mempertanggung-jawabkannya di hadapan hukum yang berlaku…”


Pak Harto itu ibarat duda kembang: diributkan oleh banyak orang, terutama oleh mantan ‘istri-istri’nya. Baik ‘istri’ politik, ‘istri’ ekonomi maupun ‘istri’ dalam berbagai bidang lainnya.

Pak Harto digugat cerai melalui proses yang penuh asap kabut gelap oleh para istri setelah berpuluh tahun enak hidup bersamanya. Ia dikutuk, dilaknat, dibenci, dirasani.

Para mantan istri itu menghadapi tiga pilihan sikap. Pertama, ingin memusnahkannya, tapi tak berani. Kedua, bernafsu mengadilinya tapi ndak bisa-bisa. Ketiga, melunakkan hatinya? Gengsi dong. Akhirnya yang dipilih adalah alternatif ke empat: membencinya, ngrasani dan memakinya dari jauh. Pilihan ini diambil oleh para mantan istri secara bertele-tele entah sampai kapan. Pak Harto harus dipertahankan sebagai satu-satunya simbol kejahatan Orde Baru, supaya mantan-mantan istrinya yang dulu terlibat dalam kejahatan kolektif bisa terbebas dari tudingan-tudingan.


Kebetulan saya tidak pernah menjadi ‘istri’ Pak Harto. Menjadi ‘selir’pun tak pernah. Seandainya pernah jadi Menteri Orba, saya akan malu tampil sebagai pahlawan reformasi dan bicara aspirasi rakyat sekarang ini.

Saya juga tidak pernah jadi Manggala BP-7 seperti Gus Dur, tidak pernah jadi anggota MPR seperti Cak Nur, tak pernah jadi PNS seperti Pak Amin. Pernahnya empat kali ketemu: pertama takbiran bareng ketika ia masih berkuasa sehingga alhamdulillah saya berhasil tidak bersalaman dengannya. Kedua ketemu dia bareng Gus Dur, Cak Nur dll. untuk mengalihkan kekuasaan dari dia ke Komite Reformasi, tapi orang memilih Habibie jadi presiden. Ketiga dan empat saya ketemu empat mata ketika ia sudah tidak berkuasa, sudah diinjak-injak dan diludahi banyak orang, sudah tidak bisa disandari lagi. Saya tidak mau ikut meludahi dia. Dia diproses hukum saja, diadili, tapi tak usah diludahi.

Saya membawakannya buku “Iblis Indonesia, Dajjal Dunia” kumpulan kritik saya kepada Presiden Soeharto 1990-1998. Alhamdulillah ketika ia masih jadi presidenpun saya tidak nempel, menjilat, bersandar atau menjadi benalunya. Tuhan sangat pemurah, hidup saya tak kurang suatu apa. Bahkan radius spiritual-ekonomi-budaya masyarakat yang bersama saya di skala sepak terjang Padhang mBulan, Hamas, Zaituna, Kiai Kanjeng dll. sangat dibarokahi Allah — sehingga tak perlu saya dan kami menjadi benalu siapapun, apalagi menjadi benalu di pohon yang sudah tumbang. Kalau mau jadi benalu sekarang, mestinya ke pohon Habibie, atau Gus Dur, Mega, Amin, dan bukan bodoh menjilat Soeharto yang sudah roboh.

Tapi kalau Anda ingin mencicipi bagaimana rasanya difitnah – seperti saya – sesekali bertemulah dengan si Duda. Saya bersyukur karena sehabis ketemu dia dan difitnah orang, saya lantas bawa Qur’an ke mana-mana. Kalau ada orang tanya kenapa ketemu Soeharto, saya jawab apa adanya. Kalau orang menuduh, saya langsung keluarkan Qur’an dan minta dia pegang bersama saya untuk bersumpah: yang berdusta menanggung adzab Tuhan.

Bahkan di depan sekitar 15 ribu jamaah di Masjid Agung Surabaya 21 Pebruari 1999, juga di depan masyarakat daerah lain sebelumnya — Tanjungpriok, Sorobayan, Ngantang, dll dalam acara Ikrar Husnul Khatimah Keluarga Besar Bangsa Indonesia — saya genggam Qur’an itu dan saya teriakkan: “Ya Allah, kalau sepeser sajapun saya pernah menerima suap atau sogokan haram jenis apapun dari Pak Harto atau keluarga Cendana, atau uang haram apapun lainnya, maka adzablah aku, patahkan kakiku, ledakkan kepalaku atau apapun saja bentuk laknatMu. Akan tetapi kalau Engkau tidak menjumpaiku demikian, aku mohon ampunilah dosa para pemfitnah, tenangkan jiwanya dari kecemasan, bersihkan hatinya dari dengki dan kebencian, teguhkan akalnya agar mampu berpikir sehat dan adil…”

Di Padhang mBulan 2 Maret 1999 25 ribu jamaah juga saya ajak berwirid dan bersumpah karena mereka dituduh dibiayai oleh Cendana.

Sebenarnya fitnah menyertakan tambahan ilmu dan rejeki, min haitsu la yahtasib, yang tak terduga-duga. Sehingga dari sudut saya pribadi, malah kapan-kapan ingin membayar siapa saja yang memfitnah saya.

Akan tetapi karena fitnah itu menyangkut jamaah Padhang mBulan dan masyarakat luas, apalagi jika dengan fitnah itu berbagai upaya kemashlahatan dan kemanfaatan sosial yang kami lakukan menjadi tidak efektif, maka tidak ada jalan lain kecuali mengajak para pemfitnah ber-mubahalah.

Sesungguhnya prinsip ikrar, sumpah, mubahalah atau Jawa-nya ‘sumpah pocong’ itulah yang saya tawarkan kepada si Duda dalam hubungannya dengan Indonesia. Saya katakan kepadanya: “Pak, kalau Sampeyan omong di konferensi pers, di teve atau di manapun, mana mungkin orang percaya. Sedangkan kepada penguasa orde reformasipun rakyat tidak percaya. Bangsa kita mengalami krisis legitimasi, krisis kepemimpinan, krisis kepercayaan, horisontal maupun vertikal. Pak Wiranto bilang ‘ABRI tetap konsisten…’, lantas Ambon hangus. Konsisten apanya. Sementara rakyat butuh tahu apakah Pak Wiranto jujur atau tidak, Pak Habibie bohong atau tidak, Pak Harto mau come back atau tidak. Maka kalau Pak Wiranto, Pak Habibie atau Sampeyan berani datang ke Masjid, berikrar kepada Allah didengar oleh banyak orang bahwa tidak begini dan ya begitu, ada kemungkinan rakyat mulai sedikit punya harapan….”

Dan si Duda bikin teks ikrar di atas. Ia mau menjalani proses hukum. Kalau ia dusta, Tuhan mengadzabnya.

Oleh: Emha Ainun Nadjib

Tidak ada komentar: