div id='fb-root'/>
  • CAKNUN.
  • Bersama Zastrow el-ngatawi
  • Jombang 1-5 Agustus 2015.

Minggu, 21 Agustus 2011

kugapai citaku

Mentari pagi membangunkanku yang tertidur pulas di balik selimut tebal. Kelembutan sinarnya memancar hingga sudut kamar tidurku. Hawa dingin mulai merasuk ke dalam tulang-tulang rusukku. Tubuhku terasa kaku semua. Entah apa yang terjadi dengan tidurku semalam.



Mungkin aku kemarin tidur dengan posisi yang salah. Kedua bola mata ini juga terasa berat ‘tuk dibuka. Jarum jam menunjukkan pukul 06.00 pagi. Oh, betapa kagetnya aku. Tiba-tiba saja aku jatuh dari kasur dan bruk…bruk… Terdengar suara jerit tangisku. ”Aduh… aduh…. sakit,” rintihku kesakitan karena jatuh dari tempat tidur.


Ibu langsung datang dan membawaku ke atas tempat tidur. ”Emangnya ada apa, Putri Kecilku, kok pagi-pagi sudah nangis,” tanya ibuku dengan penuh kasih sayang sambil membelai rambutku yang panjang dan lembut itu. ”Aku baik – baik saja kok, Bu. Ibu jangan khawatir ya,” kataku meyakinkan hati ibuku agar tidak sedih.
Dan aku tersadar kalau hari ini bukan hari yang biasa bagiku. Hari ini aku harus berangkat ke kota pahlawan untuk menunaikan tugas baruku yaitu kuliah. Berjuta perasaan mendera jiwaku. Senang karena telah masuk ke jenjang yang lebih tinggi setelah lulus dari SMA dan sedih karena harus kuliah di tempat yang lumayan jauh dan harus berpisah dengan Ibu untuk beberapa waktu meskipun tak lama.
Kebetulan baru kali ini aku terpisah jauh dari orang tuaku. Aku terharu karena memang aku dapat masuk kuliah melalui  beasiswa. Ibuku sangat bangga padaku. Aku segera lari ke kamar mandi dan bersiap-siap untuk barangkat ke Surabaya.
Senyum kesedihan terpancar di raut wajah cantik ibuku saat kuucapkan kata – kata perpisahan.
”Bu, Putri berangkat dulu ya,” kataku sambil mencium tangan lembut ibuku dengan penuh kasih sayang. Lalu keningku pun dapat ciuman manis ibuku. ”Hati-hati ya Putri Kecilku. Ibu doakan semoga kamu mendapat kemudahan dalam menuntut ilmu. Ibu tidak bisa memberikan apa-apa. Ibu cuma bisa mendoakan kamu.
Jangan lupa makan dan jaga diri baik-baik di sana.” Dengan pelukan yang hangat kurasakan kesedihan yang teramat dalam pada diri ibuku. Namun apa boleh buat. Aku harus tetap berangkat demi cita-cita yang selama ini aku impikan. Berat hati aku melangkahkan kakiku keluar rumah sambil berpamitan pada ibuku. Jerit tangis hatiku merintih-rintih.
Tapi aku berusaha sekuat hati menerima semua ini dengan penuh ketegaran. Tiba-tiba aku teringat puisi yang aku buat kemarin malam. Dengan penuh cucuran air mata, kumainkan tanganku. Kugoreskan sedikit demi sedikit tinta yang ada di penaku. Kuukir kata demi kata sampai menjadi untaian kata.
Perpisahan ini adalah luka Luka yang menusuk kalbu Kepahitan batin ….. Sesaknya napas ….. Menjadi manis dengan hadirnya kenangan Perpisahan ini adalah luka Biarlah semua mengalir Hanya air mata manis Yang mampu menenangkan Jiwa yang terguncang” Aku adalah Nicita Putri Ramadhani, seorang gadis desa yang merantau ke kota besar demi cita – cita yang luhur. Akhirnya namaku tercatat sebagai mahasiswa perguruan tinggi negeri di kota pahlawan. Selama ini aku hanya bisa berangan-angan untuk bisa kuliah di kota metropolitan itu. Aku sempat kaget mengetahui kenyataan bahwa aku bisa meneruskan sekolah. Karena aku tahu siapa aku ini. Keluargaku pasti tidak akan mampu membiayai kuliah yang mahalnya selangit itu. Tapi aku bersyukur berkat dorongan teman dan guruku aku dapat mewujudkan mimpiku. Aku tidak percaya kalau kerja kerasku selama ini untuk mendapatkan beasiswa tidak sia-sia. Berhari-hari ku memohon petunjuk Yang Maha Kuasa agar dimudahkan jalanku untuk mewujudkan mimpi itu. Di lain hati aku sedih karena ayahku tidak berada disampingku untuk memberikan motivasi. Tapi aku berjanji pada diriku untuk berusaha sebaik mungkin agar tidak mengecewakan Ayah dan Ibu. Aku ingin menjadi kebanggaan bagi keluargaku dan bisa membahagiakan ibuku.
***
Lima jam sudah kutempuh jarak rumahku menuju kota pahlawan ini. Sepanjang perjalanan kulihat suasana luar. Banyak pohon-pohon menari-nari tertiup angin yang sepoi – sepoi. Mereka bergoyang-goyang penuh dengan kegembiraan.
Dalam bus aku hanya duduk terpaku sambil melihat sekeliling. ”Mau ke mana, Mbak?” sapa salah satu penumpang padaku. Setelah beberapa menit aku tersadar dari lamunan. ”Saya mau ke Surabaya?” kataku dengan nada ketakutan. Aku belum pernah naik bus sejauh itu sendirian.
Makanya aku takut saat orang yang duduk di sebelahku menyapaku. Lalu perbincangan itu pun berlangsung sampai bus yang aku tumpangi tiba di terminal akhir. Akhirnya jam satu siang saat terik matahari tepat berada di atas kepala bus sampai di terminal Bungurasih.
”Panas sekali sih,” keluhku dalam hati.”Ternyata benar kata orang kalau Surabaya itu panas.” Aku berjalan mencari bus kota yang nantinya akan membawaku ke kos. Sebelum ke sini temanku menawari aku kos-kosan. Jadi, aku tidak perlu bolak-balik kesana kemari mencari kos-kosan sendiri sehingga aku bisa menghemat biaya transport.
”Wow, besar sekali kota ini,” kataku dalam hati ketika pertama kali melihatnya. Aku seakan tidak percaya dengan semua ini. Surabaya memang kota metropolitan. Aku melihat sekeliling jalan yang penuh dengan pabrik dan hilir mudik kendaraan yang memadati kota. Selama ini aku belum pernah melihat suasana seperti ini.
Dari dulu aku hidup di desa terpencil yang jauh dari keramaian kota. Aku seakan-akan menjadi orang terasing di sini. Aku tidak punya sanak saudara disini. Tapi aku tetap bertekad untuk menaklukkan kota ini demi meraih cita – cita yang selama ini aku impikan. Hati kecilku berkata, ”Apakah aku bisa betah ya disini?” Aku takut dengan suasana kota yang padat dengan keramaian.
Aku berusaha bertahan di sini sampai aku menyelesaikan sekolahku nanti. Tapi ada kesan yang tidak mengenakkan membekas di benakku. Ketika kulihat polusi udara yang membuat napasku sesak. Aku langsung batuk. Aku memang agak alergi dengan yang namanya polusi.
*** Keesokan harinya, suara ayam membangunkan tidur pulasku. Aku melihat keluar kamar. Kulihat langit yang cerah nan biru menyapaku dengan penuh kehangatan. Aku segera mandi dan berangkat ke kampus. “Masuk jam berapa, Put?” tanya Lia, teman sekamarku.
”Aku masuk pagi. Soalnya nanti mau ada acara penyambutan Maba (Mahasiswa Baru) di jurusan,” kataku dengan penuh semangat. Dalam batin aku berkata, ”Aku ingin memulai lembaran hidup baru. Semoga aku tidak salah melangkah menjalani hari – hariku disini. Amin.”
Aku jalani masa – masa awal kuliahku dengan penuh semangat menggelora yang bisa merubah hidupku menjadi orang yang lebih berarti bagi orang lain. ”He, anak baru ya?” tanya orang yang ada di belakangku. Aku langsung menoleh dan astaga aku langsung terdiam terpaku membisu tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutku.
Aku melihat ada makhluk yang tampan berdiri di depanku. ”Ini cumi (cuma mimpi) bukan ya?” kataku dalam hati. ”Eh….Iy….Iya….Aku memang anak baru,” kataku dengan terbata – bata dan jantungku pun berdebar – debar seperti digoncang gempa bumi saja. Dan aku pun langsung tersadar bahwa aku tak boleh larut dalam kesenangan semata selama berada di sini. Aku harus bisa mewujudkan impian orang tuaku.
Aku bertekad untuk membahagiakan mereka dengan sepenuh hati yang tulus. Tanpa ridho dan kerja keras mereka dari mereka aku yakin aku tidak akan bisa seperti sekarang ini. ”Kamu siapa ya? Aku kok jarang sekali melihatmu di kampus ini.” ”Kenalkan aku Rama. Aku adalah seniormu.” “Ma…Maaf….Maaf, Kak. Aku tidak tahu.”
“Sudahlah. Gak pa pa kok. Kamu dari mana?” tanyanya dengan senyum manis mengembang di pipinya dan wajah imutnya semakin menambah rasa kagumku padanya. Ditambah lagi rambut keritingnya yang terlihat bergelombang bak ombak di lautan lepas yang tertiup angin. ”Oh, kenalkan Kak, aku Putri.”
Dengan ragu – ragu aku berjabat tangan dengan Rama tapi tangan kami tidak bersentuhan karena aku tahu kalau itu tidak diperbolehkan dalam Islam karena kami bukan mahram. Aku meneruskan perkenalanku dengannya. ”Aku mahasiswa baru disini. Aku datang dari desa.
Aku ingin melanjutkan studiku di sini karena aku senang sekali dengan dunia teknik terutama komputer,” kataku dengan nada yang masih canggung karena aku belum mengenalnya dengan baik. Perbincangan pun terus bergulir hingga menghabiskan makanan dan minuman yang tadi pagi aku bawa dari kos dengan tujuan untuk menghemat uang jajan. Dan suara adzan ashar pun berkumandang dengan merdunya di telinga hingga membuat hati yang mendengarnya terasa sejuk dengan alunan suara muadzin itu.
Perbincangan pun akhirnya kuakhiri karena hari sudah sore. Aku mesti pulang ke kos dan belajar untuk menyiapkan hari esok yang lebih bersemangat dan lebih menyenangkan daripada hari ini. ”Kak, aku pulang dulu ya. Lain kali kita lanjutkan perbincangannya. Makasih ya, sudah mau menemani aku ngobrol di sini sehingga aku banyak tahu tentang kampus ini, ” kataku untuk mengakhiri perbincangan yang telah lama bergulir ini dengan senyum manis yang terpancar.
”Lain kali kita ngobrol lagi ya, Put. Aku senang bisa ngobrol denganmu sehingga aku tahu tentang makna hidup ini, ” kata Rama dengan nada yang tegas dan senyuman manis yang selalu mengembang di pipi imutnya dan matanya yang terlihat sipit seperti orang Cina.
***
Aku merasa bahagia berada di sini. Aku menemukan sebuah cita – cita dan cinta yang selama ini sulit sekali hinggap dalam benak hidupku. Hari – hari indah aku isi dengan semangat yang penuh dengan cinta. Aku dikelilingi oleh orang – orang yang senantiasa menyayangiku dan mau menjagaku dengan sepenuh hati mampu mengorbankan jiwa dan raganya.
Aku berusaha sekuat tenaga untuk menjadi yang terbaik demi cita – cita dan tekadku yang membara bagai nyala api yang takkan pernah padam. Aku ingin menuntut ilmu setinggi – tingginya. Seperti kata pepatah, Tuntutlah ilmu setinggi langit dan carilah ilmu itu sampai ke negeri Cina. Aku akan berusaha untuk menggapai mimpi – mimpi yang selama hanya menjadi angan – angan semata. Aku terus berusaha untuk menjadi sebuah lilin kecil yang senantiasa menerangi gelapnya malam walaupun lilin itu tak akan bertahan lama.
Tetapi lilin itu terus memberikan cahayanya yang indah bagi semua orang sampai dia padam. Aku ingin menjadi orang yang berguna bagi kehidupan ini. Aku harus bisa menorehkan sejarah yang tak kan terlupakan. Pengalaman akan tetap menjadi guru yang terbaik. Itulah yang memberi aku semangat untuk terus maju pantang mundur. Aku berdiri di depan jendela menikmati indahnya langit yang bertaburan dengan bintang – bintang malam.
Langit yang gelap akhirnya terlihat bercahaya disana dengan senyum cerianya. Untuk sementara sinar matahari yang panas menghilang sekejap digantikan indahnya rembulan yang bersinar terang. Semua ketakutan yang menyelinap dalam relung hatiku tiba – tiba pudar digantikan oleh senyum kebahagiaan yang terpancar.
Aku pun tersenyum seraya berkata, ”Hari esok kan penuh dengan suka cita. Fajar kan menjemputku dengan senyuman manisnya. Raihlah cita dan gapai cinta di depan mata. Semangat !!!” kataku sambil menggenggam tanganku yang kecil mungil itu. Setelah itu aku pun mengambil penaku dan kutulis seuntaian kata di atas buku yang sudah terlihat lusuh itu.
Aku mainkan penaku. Terdengar ketukan – ketukan pena yang menambah ramainya malam yang sepi dan udara yang tak begitu hangat menyelinap masuk membuat tubuhku menggigil kedinginan. Hari ini adalah kehidupan Dalam sekejap melahirkan suka cita Kemarin adalah sebuah mimpi dan hari esok adalah sebuah bayangan Jalani hari ini dengan senyum dan semangat untuk hidup lebih baik Biarlah mimpi itu menjadi kenangan Dan bayangan hari esok menjadi harapan dan kenyataan.

Tidak ada komentar: