3. Neo-Revivalisme
Menurut Anis Malik Thoha, wacana pluralisme agama telah ada dari sejak abad 18. Jika dirunut kesejarahannya wacana ini muncul dari para filosof Barat yang memandang tentang ajaran agama. kemudian wacana ini sampai ke Indonesia melalui para sarjanawan dan cendekiawan yang belajar di Barat atau yang setuju dengan ide-ide Barat.
Para sarjanawan Barat memandang agama sebagai objek kajian keilmuan, serta dalam penelitiannya pun harus seobjektif mungkin. Mereka mempelajari beberapa agama berdasarkan metode pendekatan sosiologis dan histories bukan secara normatif. Mereka balajar agama bukan untuk diamalkan tetapi, mereka belajar agama hanya sebagai kajian penelitian. Sehingga, agama Islam yang telah sempurna dianggap tidak/belum sempurna, seiring dengan perubahan zaman yang selalu berubah-ubah, sehingga Islam yang telah sempurna dan yang bersifat universal pun dianggap sebagai agama yang menyejarah dan harus bergabung dengan agama-agama lain untuk mencapai kesempurnaannya. Padahal didalam Islam terdapat yang pokok (usul) yang tak dapat dirubah sampai kapan pun, tetapi yang furu` bisa berubah-ubah sesuai dengan aturan-aturan yang mengaturnya.
Menurut Hamid Fahmy Zarkasy, sependapat dengan MUI, bahwa pluralisme agama yang diharamkan oleh MUI karena akan menimbulkan relativisme agama dan nihilisme kebenaran agama. Paham ini menjadi tema penting dalam disiplin ilmu sosiologi, teologi dan filsafat keagamaan yang berkembang di Barat serta agenda penting globalisasi.
Anis Malik Thoha menyatakan bahwa pemahaman tentang pluralisme agama di Indonesia, merujuk pada dua aliran yang berkembang, yaitu pertama teologi global (global theology) John Hick yang terpengaruhi oleh Wilfred Cantwell Smith dengan world theology. Sebagaimana dikutip olh Hamid Zarkasyi, kedua aliran kesatuan transenden agama-agama (Transendent Unity of Religions) yang digagas oleh Fritjhof Shuon yang terpengauh oleh Ananda Kentish Coomaraswamy dan Rene Guenon yang memiliki konsep serupa (philosophia perennis milik Coomaraswamy dan primodial tradition milik Guenon). Selain itu, agama dianggap semakin tidak bisa menjawab tantangan kehidupan yang semakin rumit. Sehingga agama dan kepercayaan perlu dimodernisasikan serta disesuaikan perkembangan zaman untuk menjawab perubahan-perubahan yang terjadi. Maka lahir pluralisme agama pada masa pencerahan (enlightenment) di Eropa. Tepatnya pada abad 18 Masehi yang terdapat bangkitnya gerakan pemikiran modern.
Pluralisme lahir juga dari problem teologi agama Kristen. Sebab agama di Barat (Kristen), masalah teologi didominasi oleh filosof. Sehingga teolog tidak memiliki otoritas. Dari masalah ini terlahir pemikiran yang hanya mengandalkan akal (filosof). Akal Barat modern tidak bisa menerima dengan teologi Kristen yang ada. Akhirnya para filosof berusaha mengakalkan teologi yang dimiliki Kristen. Dan dari sini masalah teologi di kuasai oleh para filosof. Kemudian lahir produk filsafat atheisme yang muncul pada masa pencerahan. Cara berfikir filosof Barat terhadap teologi ini akhirnya mulai memasuki pemikiran agama Islam setelah perang dunia ke dua, yaitu mulai terbukannya kesempatan generasi muda muslim untuk mengenyam pendidikan di Universitas-universitas Barat sehingga bersentuhan langsung dengan cara berfikir dan budaya Barat.
Menurut Anis, dalam wawancaranya dengan majalah Islamia mengatakan bahwa: kaum pluralis mengklaim bahwa pluralisme agama menjunjung tinggi dan mengajarkan toleransi, tapi justru mereka sendiri tidak toleran karena kebenaran eksklusif sebuah agama. Kemunculan pemikiran pluralisme di Barat tepatnya pada masa pencerahan (enlightenment) Eropa lebih tepatnya pada abad ke-18 masehi. Pemikiran ini terjadi pada saat Barat mengalami wacana pergolakan pemikiran superioritas akal dan pembebasan-pembebasan akal dari kungkungan doktrin agama (Kristen). dari pergolakan pemikiran inilah yang melahirkan liberalisme yang mengharapkan kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme. Oleh sebab itu, menurut Adian Husaini ini sungguh merupakan pemahaman yang berbahaya. Pemikiran yang simplistik seperti ini akan membawa kepada kekaburan makna dari paham itu sendiri. Pada akhirnya masyarakat bukan belajar untuk memahami, malah lebih senang untuk menghakimi. Paham pluralisme bahkan telah di artikan sebagai agama tersendiri yang memiliki tuhan dan ajaran yang khusus.
Doktrin agama tidak sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga ilmu pengetahuan harus tunduk terhadap doktrin agama. para ilmuwan mengalami penyiksaan (masuk ke institusi gereja yang sangat terkenal dengan kejahatannya dan kekejamannya dan biasa dikenal dengan insquisisi) dari gereja sebab apa yang mereka temukan bertentangan dengan dokrin kekristenan. Menurut Adian Husaini, manusia diperintahkan menyakini kebenaran yang mutlak, pada tataran manusia, bukan pada tataran Tuhan. Sebab itu tidak mungkin. Apakah kebenaran dengan K besar atau k kecil, yang terpenting adalah bahwa akal manusia bisa mencapai tahap kepastian dan keyakinan (`ilm).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar