4. Neo-Modernisme
Dalam tipologi ini akan diuraikan secara singkat pemikiran-pemikiran neo-Modernis dari Indonesia, seperti: Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Abdurrahman Wahid, Ahmad Syafii Maarif, Alwi Shihab, Quraish Shihab, Zuhairi Misrawi, Abdul Moqsith Ghazali, Budhi Munawar Rahman, dan lain-lain.
a. Nurcholish Madjid
Pluralisme agama bagi Nurcholish Madjid adalah suatu landasan sikap positif untuk menerima kemajemukan semua hal dalam kehidupan sosial dan budaya, termasuk agama. Yang dimaksud dengan sikap positif adalah sikap aktif dan bijaksana. Pluralisme menurut rumusan Nurcholish Madjid (panggilan akrab Nurcholis Madjid) merupakan bagian dari sikap dasar dalam berislam.
“Yaitu sikap terbuka untuk berdialog dan menerima perbedaan secara adil. Dengan keterbukaan dan sikap dialogis itu dimaksudkan agar kita memiliki etos membaca, membina, belajar, dan selalu arif.”
Nurcholish Madjid menegaskan betapa pentingnya kehidupan beragama. Ia tidak menjelaskan secara tegas apakah yang dimaksud agama di sini adalah agama Islam saja. Artinya, agama yang dimaksud adalah agama secara umum. Namun, dengan bahasa yang dialektis, ia melakukan otokritik terhadap pemeluk agama. Ia mengakui bahwa dalam agama-agama, lebih tepatnya, dalam lingkungan para penganut agama-agama, selalu ada potensi kenegatifan dan perusakan yang amat berbahaya.
Menurutnya, kesamaan-kesamaan yang ada dalam agama-agama bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Ia berargumentasi, semua yang benar berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah, Yang Maha Benar (al-Haqq). Semua Nabi dan Rasul membawa ajaran kebenaran yang sama. Sementara itu, adanya perbedaan itu hanyalah dalam bentuk-bentuk responsi khusus tugas seorang Rasul kepada tuntutan zaman dan tempatnya. Ditegaskan bahwa perbedaan itu tidaklah prinsipil, sedangkan ajaran pokok atau syariat para Nabi dan Rasul adalah sama.
Dalam rangka menjelaskan hal ini, ia mengutip al-Qur′an, yakni dalam Surat Al-Syûrâ [42]:[13],
شرع لكم من الدين ما وصى به نوحا والذي أوحينا إليك وما وصينا به إبراهيم وموسى وعيسى أن أقيموا الدين ولا تتفرقوا فيه كبر على المشركين ما تدعوهم إليه الله يجتبي إليه من يشاء ويهدي إليه من ينيب
Surat al-Nisâ’ [4]:[163-165],
إنا أوحينا إليك كما أوحينا إلى نوح والنبيين من بعده وأوحينا إلى إبراهيم وإسماعيل وإسحق ويعقوب والأسباط وعيسى وأيوب ويونس وهارون وسليمان وآتينا داوود زبورا ورسلا قد قصصناهم عليك من قبل ورسلا لم نقصصهم عليك وكلم الله موسى تكليما رسلا مبشرين ومنذرين لئلا يكون للناس على الله حجة بعد الرسل وكان الله عزيزا حكيما
al-Baqarah [2]:[136],
قولوا آمنا بالله ومآ أنزل إلينا وما أنزل إلى إبراهيم وإسماعيل وإسحق ويعقوب والأسباط وما أوتي موسى وعيسى وما أوتي النبيون من ربهم لا نفرق بين أحد منهم ونحن له مسلمون
al-Ankabût [29]:[46],
ولا تجادلوا أهل الكتاب إلا بالتي هي أحسن إلا الذين ظلموا منهم وقولوا آمنا بالذي أنزل إلينا وأنزل إليكم وإلهنا وإلهكم واحد ونحن له مسلمون
al-Syûrâ [42]:[15],
فلذلك فادع واستقم كما أمرت ولا تتبع أهواءهم وقل آمنت بما أنزل الله من كتاب وأمرت لأعدل بينكم الله ربنا وربكم لنا أعمالنا ولكم أعمالكم لا حجة بيننا وبينكم الله يجمع بيننا وإليه المصير
dan al-Mâidah [5]:[8],
يا أيها الذين آمنوا كونوا قوامين لله شهداء بالقسط ولا يجرمنكم شنآن قوم على ألا تعدلوا اعدلوا هو أقرب للتقوى واتقوا الله إن الله خبير بما تعملون
Ayat-ayat yang dikutip itu berkenaan dengan kesamaan antara syariat Muhammad Saw dengan syariat nabi Nuh As, Ibrahim as, Ismail as, Ishaq as, Ya’qub as, Ayyub as, Yunus as, Harun as, Musa as, Sulaiman as, Dawud as, Isa as dan kepada rasul-rasul yang tidak dikisahkan kepada Muhammad Saw.
Ia menjelaskan tentang titik temu agama-agama. Titik temu tersebut antara lain: pertama, Islam mengajarkan bahwa agama Tuhan adalah universal, karena Tuhan telah mengutus Rasul-Nya kepada setiap umat manusia. Kedua, Islam mengajarkan pandangan tentang kesatuan nubuwwah (kenabian) dan umat yang percaya kepada Tuhan. Ketiga, agama yang dibawa Nabi Muhammad adalah kelanjutan langsung agama-agama sebelumnya, khususnya yang secara “genealogis” paling dekat ialah agama-agama Semitik-Abrahamik. Keempat, umat Islam diperintahkan untuk menjaga hubungan yang baik dengan orang-orang beragama lain, khususnya para penganut kitab suci (Ahl al-Kitab). Semua prinsip itu mengarah pada ajaran “tidak boleh ada paksaan dalam agama”
Pendefinisian ulang makna Islam dalam bukunya Islam Doktrin dan Peradaban, karena prinsip-prinsip itu maka semua agama yang benar pada hakekatnya adalah "al-islam", yakni, semuanya mengajarkan sikap pasrah kepada Sang Maha Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Kitab Suci Al-Qur′an, berulang kali kita dapati penegasan bahwa agama para nabi terdahulu sebelum Nabi Nabi Muhammad Saw adalah semuannya al-Islam karena inti semuannya adalah ajaran tentang sikap pasrah kepada Tuhan. Atas dasar inilah maka agama yang dibawa oleh nabi Muhammad disebut agama Islam, karena ia secara sadar dan dengan penuh deliberasi mengajarkan sikap pasrah kepada Tuhan, sehingga agama Nabi Muhammad merupakan al-Islam par excellence, namun bukan satu-satunya, dan tidak unik dalam arti berdiri sendiri, melainkan tampil dalam rangkaian dengan agama-agama al-Islam yang lain, yang telah tampil terdahulu.
b. Djohan Effendi
Baginya, makna pluralisme agama bukan hanya sekedar pengakuan secara sosiologis bahwa umat beragama berbeda, tetapi juga pengakuan tentang titik temu secara teologis di antara umat beragama. Djohan tidak setuju dengan absolutisme agama. Ia membedakan antara agama itu sendiri dengan keberagamaan manusia. Pengertian antara agama dan keberagamaan harus dipahami secara proporsional. Menurutnya, agama - terutama yang bersumber pada wahyu, diyakini sebagai bersifat ilahiyah. Agama memiliki nilai mutlak.
Namun, ketika agama itu dipahami oleh manusia, maka kebenaran agama itu tidak bisa sepenuhnya ditangkap dan dijangkau oleh manusia, karena manusia sendiri bersifat nisbi. Oleh karena itu, kebenaran apapun yang dikemukakan oleh manusia - termasuk kebenaran agama yang dikatakan oleh manusia - bersifat nisbi, tidak absolut. “Yang absolut” adalah kebenaran agama itu sendiri, sementara kebenaran agama yang dikatakan oleh manusia itu nisbi. Kebenaran absolut itu hanya bisa diketahui oleh ilmu Tuhan. Djohan Effendi mengemukakan bahwa:
“Sebagai makhluk yang bersifat nisbi, pengertian dan pengetahuan manusia tidak mungkin mampu menjangkau dan menangkap agama sebagai doktrin kebenaran secara tepat dan menyeluruh. Hal itu hanya ada dalam ilmu Tuhan. Dengan demikian apabila seorang penganut mengatakan perkataan agama, yang ada dalam pikirannya bukan hanya agama sendiri, akan tetapi juga aliran yang dianutnya, bahkan pengertian dan pemahamannya sendiri. Oleh karena itu, pengertian dan pemahamannya tentang agama jelas bukan agama itu sendiri dan karena itu tidak ada alasan untuk secara mutlak dan a priori menyalahkan pengertian dan pemahaman orang lain.”
Dengan pendekatan dan pemahaman yang menyadari sepenuhnya akan keterbatasan dan ketidakmutlakan manusia, boleh jadi bisa dikembangkan semacam Teologi Kerukunan, yaitu suatu pandangan keagamaan yang tidak bersifat memonopoli kebenaran dan keselamatan, suatu pandangan keagamaan yang didasarkan atas kesadaran bahwa agama sebagai ajaran kebenaran tidak pernah tertangkap dan terungkap oleh manusia secara penuh dan utuh, dan bahwa keagamaan seseorang pada umumnya, lebih merupakan produk, atau setidak-tidaknya pengaruh lingkungan.”
c. Alwi Shihab
Dengan mengutip pendapatnya Fazlur Rahman dalam Interpretation in the Al-Qur′an, ia menyatakan bahwa terdapat beberapa ayat Al-Qur′an yang menunjukkan kepada nilai pluralisme Islam, yang apabila kita hayati maka diharapkan hubungan antar sesama kita, manusia dengan segala macam keanekaragaman ideologi, background sosial, etnik, dan sebagainya dapat terjembatani melalui nilai-nilai pluralisme Islam ini.
Ayat-ayat tersebut antara lain, QS. al-Hujurat [49]:[13];
يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير
QS. al-Hud [11]:[118];
ولو شاء ربك لجعل الناس أمة واحدة ولا يزالون مختلفين
QS. al-Ankabut [29]:[46];
ولا تجادلوا أهل الكتاب إلا بالتي هي أحسن إلا الذين ظلموا منهم وقولوا آمنا بالذي أنزل إلينا وأنزل إليكم وإلهنا وإلهكم واحد ونحن له مسلمون
QS. al-Maidah [5]:[48];
وأنزلنا إليك الكتاب بالحق مصدقا لما بين يديه من الكتاب ومهيمنا عليه فاحكم بينهم بما أنزل الله ولا تتبع أهواءهم عما جاءك من الحق لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا ولو شاء الله لجعلكم أمة واحدة ولكن ليبلوكم في مآ آتاكم فاستبقوا الخيرات إلى الله مرجعكم جميعا فينبئكم بما كنتم فيه تختلفون
QS. at-Tahrim [66]:[6];
يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا وقودها الناس والحجارة عليها ملائكة غلاظ شداد لا يعصون الله ما أمرهم ويفعلون ما يؤم يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا وقودها الناس والحجارة عليها ملائكة غلاظ شداد لا يعصون الله ما أمرهم ويفعلون ما يؤمرون
QS. Maryam [19]:[61-62];
جنات عدن التي وعد الرحمن عباده بالغيب إنه كان وعده مأتيا لا يسمعون فيها لغوا إلا سلاما ولهم رزقهم فيها بكرة وعشيا جنات عدن التي وعد الرحمن عباده بالغيب إنه كان وعده مأتيا لا يسمعون فيها لغوا إلا سلاما ولهم رزقهم فيها بكرة وعشيا
Lebih lanjut ia menyatakan bahwa, prinsip lain yang digariskan oleh Al-Qur′an, adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan, dengan begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi, prinsip ini memperkokoh ide mengenai pluralisme keagamaan dan menolak eksklusivisme. Dalam pengertian lain, eksklusivisme keagamaan tidak sesuai dengan semangat Al-Qur′an. Sebab Al-Qur′an tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya.
d. Quraish Shihab
Berbicara tentang pluralisme, sangat erat sekali dengan diskursus kebebasan beragama dan toleransi beragama. Menurut Quraish Shihab, dengan mengajukan argumen dari QS. Al-Baqarah [2]:[256];
لا إكراه في الدين قد تبين الرشد من الغي فمن يكفر بالطاغوت ويؤمن بالله فقد استمسك بالعروة الوثقى لا انفصام لها والله سميع عليم
QS. Yunus [10]:[99];
ولو شاء ربك لآمن من في الأرض كلهم جميعا أفأنت تكره الناس حتى يكونوا مؤمنين
QS. al-Kafirun [109]:[6];
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
QS. al-Mumtahanah [60]:[8];
ينهاكم الله عن الذين لم يقاتلوكم في الدين ولم يخرجوكم من دياركم أن تبروهم وتقسطوا إليهم إن الله يحب المقسطين
dan QS. al-Kahfi [18]:[19]
وكذلك بعثناهم ليتساءلوا بينهم قال قائل منهم كم لبثتم قالوا لبثنا يوما أو بعض يوم قالوا ربكم أعلم بما لبثتم فابعثوا أحدكم بورقكم هذه إلى المدينة فلينظر أيها أزكى طعاما فليأتكم برزق منه وليتلطف ولا يشعرن بكم أحدا
Menyatakan bahwa Islam mengembangkan konsep tentang kebebasan beragama.
“Keanekaragaman dalam kehidupan merupakan keniscayaan yang dikehendaki Alah. Termasuk dalam hal ini perbedaan dan keanekaragaman pendapat dalam bidang ilmiah, bahkan keanekaragaman tanggapan manusia menyangkut kebenaran kitab-kitab suci, penafsiran kandungannya, serta bentuk pengamalannya”.
Islam memberikan kebebasan untuk memilih. Kebebasan berpindah agama sekalipun tidak perlu menjadi masalah yang diperdebatkan. Ini sangat logis, seperti misal, seorang Muslim keluar dari Islam. Begitu juga non-Muslim keluar dari agama sebelumnya dan akhirnya masuk Islam. Memang dalam literatur terdahulu pernah terdapat argumen yang menyatakan bahwa seorang Muslim yang keluar dari Islam boleh dibunuh karena telah murtad. Akan tetapi argumen tersebut berkaitan dengan latar kondisi sosial masyarakat tertentu. Kalau ditelusuri dasar-dasar fundamental dari Al-Qurʹan tidak ada anjuran darinya untuk membunuhnya. Kalaupun ada hadist-hadist yang yang berkaitan dengan masalah tersebut, maka lebih merupakan kebijaksanaan di dalam menata suatu masyarakat; bisa saja masalah pembunuhan terhadap si murtad tersebut berlaku pada masayarakat tertentu tetapi tidak pada masyarakat lainnya. Jadi, sifatnya kontekstual dan berkaitan dengan kepentingan untuk menata masyarakat tertentu. Di Indonesia ada lima (sekarang ada enam ditambah Konghucu) yang memiliki pengikut dalam jumlah besar.
Menurutnya, umat Islam harus berlapang dada dengan adanya berbagai pandangan atau pendapat yang tidak sejalan (akidah - pen) paham keagamaan kita. Semuanya itu sudah menjadi ketetapan Allah Swt yang seandainya pun tidak kita pahami tidak perlu menggelisahkan hati kita, apalagi sampai membunuh diri sendiri atau memaksa orang lain untuk menganut pandangan tertentu (Islam) sebagaimana dinyatakan oleh QS. al-Kahfi [18]:[6].
فلعلك باخع نفسك على آثارهم إن لم يؤمنوا بهذا الحديث أسفا
Al-Qurʹan menganjurkan agar mencari titik singgung dan titik temu antar pemeluk agama. Al-Qurʹan juga menganjurkan agar dalam interaksi sosial, apabila tidak ditemukan persamaan hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain, mengakui penganut agama lain, dan tidak perlu saling menyalahkan sebagaimana disinggung oleh QS. ali-Imran [3]:[64].
قل يا أهل الكتاب تعالوا إلى كلمة سواء بيننا وبينكم ألا نعبد إلا الله ولا نشرك به شيئا ولا يتخذ بعضنا بعضا أربابا من دون الله فإن تولوا فقولوا اشهدوا بأنا مسلمون
Apabila titik temu (kalimat sawa) tersebut tidak dapat dicapai, Al-Qur’an mengajarkan kepada Nabi Muhammad Saw dan umatnya untuk menyampaikan kepada penganut agama lain sebagaimana dinyatakan oleh QS. Saba [34]:[24-26].
قل من يرزقكم من السماوات والأرض قل الله وإنا أو إياكم لعلى هدى أو في ضلال مبين قل لا تسألون عما أجرمنا ولا نسأل عما تعملون قل يجمع بيننا ربنا ثم يفتح بيننا بالحق وهو الفتاح العليم
Jalinan antara Muslim dengan non-Muslim pun tidak dilarang oleh Islam, selama pihak lain menghormati hak-hak kaum Muslim sebagaimana dinyatakan QS. al-Mumtahanah [60]:[8].
ينهاكم الله عن الذين لم يقاتلوكم في الدين ولم يخرجوكم من دياركم أن تبروهم وتقسطوا إليهم إن الله يحب المقسطين
Oleh karena itu, ketika sebagian sahabat Nabi Saw memutuskan bantuan keuangan kepada sebagian penganut agama lain dengan alasan bahwa mereka bukan Muslim, Al-Qurʹan menegur mereka dengan turunnya QS. al-Baqarah [2]:[272].
الذين ينقضون عهد الله من بعد ميثاقه ويقطعون ما أمر الله به أن يوصل ويفسدون في الأرض أولئك هم الخاسرون
e. Zuhairi Misrawi
Pluralisme agama sangat berbeda dengan relativisme yang menafikan pentingnya upaya membangun komitmen bersama diantara pelbagai komunitas masyarakat. Sedangkan relativisme berada pada posisi menafikan komitmen, bahkan menafikan kebenaran itu sendiri. Pluralisme agama merupakan upaya mencari titik temu untuk membangun komitmen bersama di antara pelbagai perbedaan dan keragaman komitmen. Zuhairi Misrawi mendasarkan pada QS. Al-Baqarah [2]:[62].
إن الذين آمنوا والذين هادوا والنصارى والصابئين من آمن بالله واليوم الآخر وعمل صالحا فلهم أجرهم عند ربهم ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون
Pluralisme agama bukan menyamakan semua agama sama. Karena jika menyamakan semua agama berarti relatif-absolut. Pluralisme bertujuan untuk merajut kebersamaan (non-teologis) antara satu agama dengan agama yang lain dalam perbedaan. Tetapi diantara komitmen tersebut, setidaknya ada komitmen bersama untuk dapat dijadikan titik tolak untuk mewujudkan kebersamaan. Misalnya, tentang keadilan sosial di Indonesia agar diusung secara kolektif antar pelbagai budaya dan latar belakang agama yang berbeda-beda. Oleh karena itu sangat dibutuhkan inklusivisme sebagai tangga untuk menaiki level pluralisme.
Pluralisme menjadi alternatif untuk melahirkan sebuah paham sosial yang mampu memberikan inspirasi kepada agama untuk memaksimalkan peran-peran sosial, seperti toleransi, kesukarelaan dan perlindungan terhadap minoritas. Pluralisme agama tidak mempunyai potensi untuk menggoyah iman, melainkan justru menerjemahkan iman tersebut dalam ranah sosial untuk memaksimalkan eksistensi toleransi.
Terkait dengan fatwa MUI tentang haramnya pluralisme agama (di Indonesia), menurutnya fatwa itu merupakan cerminan dari ketidakmampuan kalangan agamawan untuk memahami pluralisme agama dengan baik dan tepat. Setidaknya ada semacam kecurigaan untuk menerima diskursus baru yang berkaitan dengan toleransi. Sesungguhnya para ulama klasik telah memberikan sinyalemen tentang pluralisme, diantaranya memberikan perlindungan terhadap minoritas, seperti ahl dzimmah (komunitas non-Muslim), diperbolehkannya kawin agama (dengan ahl kitab).
Selanjutnya Zuhairi Misrawi mengusulkan agar pertama, perlunya langkah-langkah kritis atas menguatnya gelombang fundamentalisme dan radikalisme. Kedua, perlunya tafsir baru atas pluralisme dalam konteks keindonesiaan. Ketiga, perlunya belajar dari pengalaman negara-negara lain yang relatif berhasil dalam menerjemahkan pluralisme.
Perihal dampak tidak langsung dari munculnya fatwa tersebut, yaitu penyerangan terhadap kantor Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Parung Bogor Jawa Barat, NTB, dan beberapa tempat lainnya. Disamping itu, intimidasi terhadap Jaringan Islam Liberal (JIL) di Utan Kayu, Jakarta Pusat. Kendatipun demikian, KH. Ma’ruf Amin membantah, bahwa aksi kekerasan tersebut tidak ada kaitannya dengan fatwa yang dikeluarkan MUI. Ia menyatakan, “Fatwa adalah suatu hal, sedangkan kekerasan adalah hal lain”.
f. Abdul Moqsith Ghozali dan Imam Ghazali Said
Menurut Abdul Moqsith Ghazali, sesungguhnya pluralisme telah menjadi kesadaran agama-agama sejak mula. Agama umumnya muncul dalam lingkungan pluralistik dan membentuk eksistensi diri dalam menanggapi pluralisme itu. Bahkan, dikatakan bahwa setiap agama justru lahir dari proses perjumpaan dengan kenyataan pluralitas. Pluralisme adalah fakta sosial yang selalu ada dan telah menghidupi tradisi agama-agama. Walau demikian, dalam menghadapi dan menanggapi kenyataan adanya berbagai agama yang demikian pluralistik itu, agaknya setiap umat beragama tidaklah monolitik.
Abdul Moqsith Ghazali membeberkan beberapa ayat yang bisa ditunjuk sebagai bukti pengakuan Al-Qur′an terhadap agama-agama lain. Pertama, pengakuan terhadap eksistensi dan kebenaran kitab-kitab sebelum Islam. Taurat dan Injil, misalnya, disebut Al-Qur′an sebagai petunjuk dan penerang. Melalui ayat-ayat dalam Al-Qur′an ini juga ditegaskan bahwa Islam memberikan pengakuan terhadap umat Yahudi dan Nashrani; mereka cukup menjadikan kitab suci masing-masing sebagai sandaran moral mereka. Ditegaskan pula, sekiranya mereka berpaling dari kitab sucinya, mereka adalah kafir dan fasik.
Kedua, pengakuan terhadap para pembawa agama sebelumnya seperti Musa dan Isa al-Masih. Sebagaimana perintah mengimani kitab-kitab wahyu, umat Islam diharuskan mengimani para nabi dan rasul, minimal 25 rasul, karena jumlah nabi dan rasul diperkirakan mencapai 124.000 orang nabi dan 315 orang rasul. Ketiga, secara eksplisit Al-Qur′an menegaskan bahwa siapa saja–Yahudi, Nashrani, Shabi’in, dan lain-lainnya yang menyatakan hanya beriman kepada Allah, percaya pada Hari Akhir, dan melakukan amal saleh, tak akan pernah disia-siakan oleh Allah. Mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal atas keimanan dan jerih payahnya. Keempat, Al-Qur′an membolehkan umat Islam berteman dengan umat agama lain, selama umat agama lain itu tak memusuhi dan tak mengusir dari tempat tinggalnya. Sekiranya mereka melakukan permusuhan, maka wajar kalau umat Islam diperintahkan melakukan pertahanan diri.
Dalam hal umat Islam meminta bantuan dan perlindungan, sejarah juga mengukir tentang hal ini.
Pertama, ketika umat Islam dikejar-kejar orang-orang kafir Quraisy Mekah, Nabi mencari petlindungan kepada Najasyi, Raja Abisinia yang Kristen. Ratusan sahabat Nabi termasuk Utsman dan istrinya Ruqayah (putri Nabi), hijrah ke Abisinia untuk menghindari ancaman pembunuhan kafir Quraisy. Dan pada saat kafir Quraisy memaksa sang raja mengembalikan umat Islam ke Mekah, ia tetap pada pendiriannya: pengikut Muhammad harus dilindungi dan diberikan haknya untuk memeluk agama Islam. Menariknya, ketika Sang Raja ini meninggal dunia, Muhammad pun melaksanakan salat jenazah dan memohonkan ampun atasnya. Kedua, Abu ‘Ubaidillah al-Mahdi, khalifah pertama dari Dinasti Fathimiyah pernah meminta nasihat kepada salah seorang Kristen tentang lokasi yang tepat bagi ibu kota Negara.
Berangkat dari fakta-fakta normatif tersebut, menurut Abdul Moqsith Ghazali, semakin jelaslah bahwa pengakuan Islam atas ajaran agama dan umat agama lain. Tidak sekadar itu, menurut al-Qur’an, umat non-Muslim pun akan diselamatkan Allah sejauh mereka menjalankan ajaran agamanya secara sungguh-sungguh dan melakukan amal saleh, sebagaimana ditetapkan kitab suci masing-masing.
Sejalan dengan penelitian Moqsith Ghazali diatas, menurut Imam Ghazali Said, maka variasi respon terhadap pluralisme terbagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok setuju (pluralisme) yang diberi label kelompok progresif atau liberal dan kelompok yang tidak setuju yang dicap sebagai kelompok konservatif. Karena faktor sosial itulah, menurut beberapa kalangan yang kemudian dijadikan perspektif dalam mengamati fenomena pluralis pandangan kaum muda NU dan Muhammadiyah.
Islam menempatkan manusia pada poros pelaku (subyek) sekaligus sasaran (obyek) interaksi. Level interaksi tersebut setidak-tidaknya dapat dibagi menjadi empat, yaitu;
Pertama, persaudaraan antar manusia (ukhuwah insaniyah) sebagaimana tertuang dalam QS. al-Anbiya [21]:[102];
لا يسمعون حسيسها وهم في ما اشتهت أنفسهم خالدون
Kedua, pengakuan terhadap eksistensi semua agama. Untuk memperkuat misi kemanusiaan diatas, Al-Qur′an secara implisit dan eksplisit mengakui dan melindungi keberadaan agama-agama diluar Islam sebagaimana tertuang dalam QS. al-Hajj [22]:[40];
الذين أخرجوا من ديارهم بغير حق إلا أن يقولوا ربنا الله ولولا دفع الله الناس بعضهم ببعض لهدمت صوامع وبيع وصلوات ومساجد يذكر فيها اسم الله كثيرا ولينصرن الله من ينصره إن الله لقوي عزيز
Ketiga, hubungan baik dengan ahlul kitab sebaimana dalam QS. al-Mukmin [40]:[77];
فاصبر إن وعد الله حق فإما نرينك بعض الذي نعدهم أو نتوفينك فإلينا يرجعون
dan Keempat, Islam dan paham kebangsaan sebagaimana dalam QS. al-Hujurat [49]:[13].
يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير
g. Budhi Munawar Rahman
Menurut Budhy Munawar Rahman, adalah pandangan bahwa agamanya adalah satu satunya jalan yang sah untuk keselamatan. Jika dalam Katholik terdapat ajaran extra ecclesiam nulla salus atau extra ecclesiam nullus propheta. Pandangan ini dikukuhkan pada Konsili 1442. diantara para tokoh Protestan yang berpandangan ini adalah Karl Barth dan Hendrick Kraemer jika dalam agama Islam Budhy Munawar-Rachman mengutip QS. al-Maidah [5]:[3];
حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل لغير الله به والمنخنقة والموقوذة والمتردية والنطيحة وما أكل السبع إلا ما ذكيتم وما ذبح على النصب وأن تستقسموا بالأزلام ذلكم فسق اليوم يئس الذين كفروا من دينكم فلا تخشوهم واخشون اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا فمن اضطر في مخمصة غير متجانف لإثم فإن الله غفور رحيم
QS. ali-Imran [3]:[85];
ومن يبتغ غير الإسلام دينا فلن يقبل منه وهو في الآخرة من الخاسرين
dan QS. ali-Imran [3]:[19];
إن الدين عند الله الإسلام وما اختلف الذين أوتوا الكتاب إلا من بعد ما جاءهم العلم بغيا بينهم ومن يكفر بآيات الله فإن الله سريع الحساب
Allah Swt mencipta manusia secara berbeda dengan berbagai macam ras, suku, laki-laki dan perempuan tidak dimaksudkan agar mereka berjuang untuk menentang kehendak Allah Swt dan melenyapkan semua perbedaannya sehingga menjadi identik, tetapi agar mereka menyadari akan kemahaagungan Allah Swt melalui perbedaan-perbedaan tersebut dan saling melengkapi antara yang satu dengan yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar