KIPRAH NAHDLATUL ULAMA
DALAM BIDANG PENDIDIKAN
Kebangkitan Islam telah menjadi wacana bersama sejak kita memasuki abad ke-15 H. Sebelumnya, umat Islam memang mengalami stagnasi yang cukup lama terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Belakangan ini, umat Islam di berbagai kawasan sudah mulai melakukan identifikasi terhadap potensi yang dimilikikinya. Berbagai inovasi, kreatifitas, spekulasi dan eksperimen ilmiah mulai dilakukan. Kendati mengalami banyak kendala, peradaban muslim sudah mulai diukir sebagai sumbangsihnya pada dunia.
Di Indonesia, dinamika umat Islam bergerak secara positif ke depan dalam membangun bangsa dan negara. Krisis multi-dimensi (tahun 1997-an) dapat dilewati dengan bijak, walaupun tetap harus menanggung resiko perubahan-perubahan akibat transisi politik. Demikian juga, dinamika yang terjadi karena pengaruh masyarakat internasional dapat pula disikapi oleh umat Islam Indonesia secara terbuka, rasional dan dewasa.
Di tengah-tengah dinamika dan perubahan tersebut masyarakat mulai merasakan perlunya nilai-nilai luhur, format etika serta sistem kehidupan kemasyarakatan yang dapat dijadikan pegangan –bukan saja untuk perikehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi untuk totalitas kehidupannya. Jadi, dibutuhkan semacam guideline yang bisa menuntun individu ke satu ruang kehidupan yang mensejahterakan. Dalam konteks demikianlah kita membutuhkan sebuah sistem pendidikan yang dapat dijadikan pilar utama untuk membangun peradaban bangsa sepanjang masa. Hal ini penting agar langkah kita tidak tertinggal jauh dari bangsa-bangsa lain di dunia.
Kita sepakat untuk memberdayakan kualitas sumber daya manusia Indonesia secara utuh dan keseluruhan. Kita sepakat pula cara itu dilakukan melalui pendidikan. Namun hingga saat ini pendidikan belum mampu menampakkan format kelembagaan dan pola penyelenggaraan yang berkualitas. Oleh karena itu, kita perlu memberikan perhatian khusus terhadap sektor pendidikan; bahkan kita membutuhkan keberanian untuk meninggalkan sistem yang tidak mampu memberikan pemecahan terhadap segala problem kependidikan selama ini.
Dalam rangka berikhtiar mencari sistem penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, kita perlu mempertimbangkan kecenderungan perubahan yang terjadi sekarang maupun masa mendatang. Menurut para ahli ilmu sosial, perubahan itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut. Pertama, terjadinya teknologisasi kehidupan sebagai akibat loncatan revolusi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Masyarakat teknologis ditandai dengan pembakuan kerja dan perubahan nilai, yaitu makin dominannya pertimbangan efisiensi dan produktivitas.
Kedua, perilaku yang fungsional menjadikan hubungan sosial hanya dipandang dari sudut kegunaan dan kepentingan semata. Keberadaan seseorang sangat ditentukan sejauh mana ia memberi manfaat bagi dirinya dan orang lain. Karena itu, dalam masyarakat yang fungsional terjadi pergeseran pola hubungan sosial dari emosional pada rasional.
Ketiga, penguasaan informasi sangat menentukan eksistensi seseorang dalam pergaulan sosialnya.
Keempat, kehidupan masyarakat yang makin sistematik dan terbuka di mana masyarakat berjalan teratur dalam sistem yang terbuka (open system).
Dengan adanya perubahan-perubahan tersebut Nahdlatul Ulama (NU) mencoba memberikan respons-antisipatif dengan cara melakukan telaah ulang terhadap pola penyelenggaraan pendidikan yang dipakai selama ini. Pendidikan yang dikembangkan oleh NU akan seoptimal mungkin menyesuaikan diri dengan perkembangan sosial sehingga masyarakat tetap menaruh minat, atensi dan antusiasmenya. Penyikapan ini terkait dengan pemahaman masyarakat bahwa pendidikan merupakan energi untuk memperbaiki diri di masa depan. Oleh karena itu, pendidikan NU diupayakan dapat mencakup kecenderungan teknologis, fungsional-individual, informatif dan terbuka.
A. Pendidikan sebagai Mainstream
Sejarah pergerakan NU sebetulnya adalah sejarah pendidikan nusantara. Pohon organisasi NU sangat rimbun oleh lembaga-lembaga pendidikan seperti pesantren, majelis ta’lim, diniyah dan madrasah/sekolah serta perguruan tinggi; serta disokong sangat kuat oleh banyaknya akar-akar nahdliyyin dalam masyarakat yang menjadi stakeholder-nya. Sebetulnya, dari pada jam’iyyah (organisasi)-nya, jama’ah NU telah lebih dulu lahir. Sementara itu, jama’ah nahdhiyah mempunyai tradisi khidmat al-ummat melalui berbagai jalur. Oleh karena itu, organisasi NU merupakan fase formalisasi atau institusionalisasi dari khazanah cultural muslim nusantara yang dibangun oleh para tokoh agama yang berbasis pemikiran ‘Ahlussunnah wa al-Jama’ah’.
Pada awalnya, masyarakat Ahlussunnah tersebut membuat komunitas-komunitas perjuangannya dengan beberapa topik atau spesifikasi gerakan. Nahdlatul Wathan (1916) merupakan refleksi dari kesadaran politik, Nahdlatul Tujjar (1918) sebagai awal dari kesadaran ekonomi dan Tashwirul Afkar (1924) sebagai refleksi kuatnya budaya pikir. Akumulasinya adalah berdirinya organisasi “Nahdlatul Ulama” pada tahun 1926. Kendati terdapat argumen historis yang mengatakan, bahwa lahirnya NU merupakan reaksi terhadap arus modernitas di dunia Islam (Timur Tengah) ketika itu.
Dalam rel pendidikan, NU merupakan salah satu lokomotif pembaharuan pendidikan. Setahun setelah berdirinya, persisnya pada Muktamar Nahdlatul Ulama II (1927), muktamirin mengagendakan penggalangan dana secara nasional untuk mendirikan dan membangun madrasah dan pesantren. Pada Muktamar Nahdlatul Ulama III (1928), elite NU memprakarsai gerakan peduli pendidikan dengan mengajak para muktamirin untuk mengunjungi pesantren-pesantren besar. Ketika itu, kunjungan dilakukan ke Tambak Beras yang dipimpin KH. A. Wahab Hasbullah, ke Denanyar dipimpin oleh KH. Bisri Syansuri dan ke Nganjuk dipimpin oleh K. Pathudin Seror Putih.
Pada Muktamar Nahdlatul Ulama IV (1929), panitia muktamar mengekspos kecendrungan naiknya kuantitas dan kualitas pendidikan (data angka/statistik tidak terlacak) yang mendorong para muktamirin untuk menyepakati dibentuknya wadah khusus untuk menangani bidang pendidikan yang bernama Hoof Bestur Nahdlatul Oelama (HBNO) Bidang Pendidikan yang ketuanya, yaitu Ustazd Abdullah Ubaid, disebut presiden. Perkembangan selanjutnya adalah terbentuknya Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-20 (1959) di Jakarta.
Dari arena muktamar ke muktamar, hingga Muktamar Nahdlatul Ulama XXX (1999) di Kediri-Lirboyo Jawa Timur, NU tetap menjadikan sektor pendidikan sebagai mainstream. Munas Alim Ulama dan Konbes Nahdlatul Ulama pada 25-28 Juli 2002 di Pondok Gede Jakarta menghasilkan “Taushiyah Pondok Gede tahun 2002” yang mencoba mempertegas kembali posisi bidang pendidikan untuk menjadi prioritas program NU. Untuk menafsirkan lebih rinci, tak lama setelah itu --tepatnya pada 22-25 Agustus 2002 di kawasan Puncak Batu, Malang, Jawa Timur-- diselenggarakan Rapat Kerja LP Ma’arif NU dan Musyawarah Kerja Pergururuan Tinggi NU. Di forum tersebut, NU kembali mematangkan format, strategi dan guidelines pengembangan pendidikan di lingkungan NU.
Dalam rumusan hasil Muktamar Nahdlatul Ulama XXX (1999) disebutkan bahwa pendidikan bagi NU adalah upaya mengembangkan individu manusia untuk menjadi manusia yang aktual yang mampu mengemban fungsi khalifah di bumi. Sistem pendidikan yang menekankan transfer pengetahuan maupun teknologi hanya merendahkan derajat manusia, karena anak didik dipandang sebagai tabungan pengetahuan dan teknologi, yang kelak nanti dapat digunakan untuk hidupnya, sedang fungsi guru hanya sebagai alat pemindah pengetahuan dengan target-target yang telah ditentukan pihak lain, bukan sebagai pendidik anak.
Dalam praktik pendidikan, NU menempatkan anak didik sebagai subjek pencari pengetahuan dan pembentuk dirinya, melalui pengembangan seluruh intelegensianya, sedang guru mempunyai tanggugjawab lebih bersifat sebagai pendidik bukan hanya sebagai pengajar mata pelajaran, yang bertanggung jawab berkembangnya kepribadian anak. Untuk itu campur tangan pemerintah yang terlalu dalam terhadap proses pelaksanaan belajar anak harus dikurangi atau dihilangkan, dan menempatkan guru sebagai pendidik yang punya otoritas profesi.
Pendidikan adalah upaya memfasilitasi anak untuk menjadi dirinya sendiri yang akan hidup dan membangun masyarakatnya kelak dalam kehidupan masyarakat sipil yang beragam. Oleh karena itu sistem pendidikan nasional harus memperkuat pendidikan demokrasi, memberi pengakuan pada multikulturalisme, menghargai pendidikan lokal, dan menghapus dikotomi antara pendidikan agama dan umum.
B. Mengaktualisasikan Potensi Pendidikan
Hingga kini, potensi pendidikan NU masih berupa “potensi aktif” yang perlu segera diaktualisasikan. Di berbagai forum, NU dicitrakan sebagai ormas yang titik tekannya lebih pada politik ketimbang pada citra “fitrahnya” sendiri sebagi ormas keagamaan (jam’iyyah dîniyyah) yang dilahirkan untuk memberdayakan masyarakat melalui gerakan dakwah dan pendidikan (al-da’wah wa al-tarbiyah). Berpolitik memang lebih menarik, akan tetapi kedewasaan berpolitik akan sulit tercapai jika kualitas pendidikan masyarakatnya rendah.
Oleh karena itu, NU membutuhkan disain pengembangan pendidikan yang dapat menjawab realitas dan tantangan kehidupan dalam multi aspeknya. Masa depan NU bisa tampak dari kualitas pendidikan hari ini. Kelemahan sektor pendidikan dapat menyebabkan erosi eksistensial NU –tidak hanya secara kultural, tetapi juga secara politik. Hal ini hanya bisa diatasi dengan mengaktifkan kembali proses penafsiran, transformasi dan pembudayaan nilai-nilai ke-NU-an melalui jalur pendidikan (formal, informal dan non-fromal).
Berkaitan dengan itu, perluasan network dengan sesama lembaga pendidikan --di lingkungan NU sendiri dan penyelenggara pendidikan lainnya-- juga dengan pemerintah, pihak swasta dan lembaga-lembaga kependidikan internasional merupakan kebutuhan pokok. Hal ini sebagai langkah untuk merespons kebutuhan masyarakat terhadap SDM yang berkualitas dalam era global.
Ketua PBNU KH. Hasyim Muzadi menyarankan agar mengkondusifkan lingkungan dan iklim organisasi, serta membuat sistem komunikasi yang baik di lingkungan NU saat ini juga. Pengembangan SDM tidak bisa berjalan efektif tanpa dibarengi oleh pengembangan sistem komunikasi. Oleh karena itu, saatnya sekarang dipikirkan bagaimana melakukan koordinasi terhadap seluruh satuan pendidikan di lingkungan NU dari Taman Kanak-Kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan perguruan tinggi. Melalui koordinasi tersebut, LP Ma’arif NU dan lembaga-lembaga lainnya akan mampu memetakan potensi yang ada pada masyarakat pelajar NU, dan mengembangkannya ke dalam bentuk yang lebih baik lagi.
Bagi jama’ah dan jam’iyyah NU, sektor pendidikan telah diyakini sebagai jalan utama ke arah terciptanya sumber daya manusia yang handal. Melalui pendidikan, NU dapat berpartisipasi dalam mengembangkan potensi manusia secara optimal agar memiliki kekuatan spiritual-keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan.
KH. Idham Chalid menyatakan bahwa pendidikan di lingkungan warga nahdhiyyin merupakan usaha untuk membentuk manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohani, memiliki pengetahuan dan keterampilan, dapat mengembangkan kreatifitas dan tanggung jawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan tenggang rasa, menerapkan budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan sesama umat manusia. Dengan kata lain, pendidikan NU difokuskan untuk menciptakan manusia Indonesia yang sanggup beramal sholih dan bertakwa, serta mau memberikan dharma bhaktinya kepada masyarakat. (KH. Idham Chalid, Muker PTNU di Malang, 1976)
C. Masalah Pendidikan NU
KH. Hasyim Latief mengatakan bahwa mengurus lembaga pendidikan (swasta) adalah pekerjaan yang amat sulit dan merupakan beban yang sangat berat. Para pengelola lembaga pendidikan hendaknya memberikan dedikasi yang tinggi sehingga sanggup bergulat dengan berbagai kesulitan dalam mempertahankan dan mengembangkannya. Semua itu merupakan pengabdian dalam ikut serta mengisi cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945 melalui pembangunan suatu bidang yang sangat penting, yakni mempersiapkan kader-kader bangsa yang ahli. (KH Hasyim Latief, Muker PTNU di Malang, 1976)
Pernyataan di atas menggambarkan bahwa kendala dalam pengelolaan pendidikan sangat berat. Tentu saja, karena hampir semua bangsa menghadapi masalah dalam penyiapan SDM, termasuk Indonesia. Pendidikan Indonesia memang tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Hal itu disebabkan karena bangsa kita belum memprioritaskan sektor pendidikan. Akibatnya, kita hanya punya sedikit anak bangsa yang berpendidikan tinggi dan bermoral luhur. Barangkali karena faktor inilah terjadinya krisis multidimensi itu.
Sebagai bagian dari sistem pendidikan di Indonesia, lembaga-lembaga pendidikan yang berada di bawah payung NU-pun menghadapi masalah. Mulai dari padatnya kurikulum, lambatnya pembaruan kurikulum tersebut, lemahnya input madrasah, lemahnya tenaga pengajar, kurangnya sarana-prasarana pendidikan, kecilnya dana pengelolaan, hingga tak terkontrolnya proses evaluasi peserta didik. Selain itu, kurangnya pembinaan (akreditasi dan supervisi) yang dilakukan pemerintah sehingga madrasah jauh tertinggal dari sekolah umum.
Menurut Zamakhsyari Dhofier (1994), ketertinggalan pendidikan NU bahkan diawali dari makin hilangnya peranan pesantren sekitar tahun 1950-an yang sebelumnya cukup strategis sebagai basis pengembangan pendidikan Islam yang permanen dan memiliki karakter. Faktor lainnya adalah terbukanya lapangan pekerjaan bagi mereka yang mendapat latihan di sekolah-sekolah umum, dan sebaliknya makin sempitnya lapangan kerja bagi lulusan pesantren/madrasah. Hal ini mengakibatkan penurunan minat kaum muda pada pendidikan pesantren dan madrasah yang ada di dalamnya.
Ditambah lagi, kebijakan pemerintah untuk membangun sekolah-sekolah umum dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi sebanyak mungkin. Karena itulah, antara tahun 1950-1960 banyak pesantren kecil yang menghilang. Adapun pesantren besar yang mampu bertahan adalah karena menyajikan mata pelajaran umum atau mengembangkan sekolah-sekolah bercorak modern.
Dalam konteks pendidikan NU, sistem pendidikan pesantren yang telah lama melembaga bagi masyarakat Islam nusantara tidak bisa dilupakan. Keberadaan NU hingga saat ini selalu ditopang oleh pesantren. Dari pesantrenlah basis kekuatan NU dibangun dengan banyak melahirkan para ulama dan kyai, yang kemudian membentuk jami’yyah NU dan berjuang di dalamnya.
Secara kuantitatif, pondok pesantren di Indonesia tumbuh dan berkembang dengan sangat pesat. Berdasarkan laporan pemerintah kolonial Belanda pada 1831 di Jawa terdapat tidak kurang dari 1.853 buah dengan jumlah santri tidak kurang 16.500 orang. Kemudian suatu survey yang diselenggarakan kantor Shumubu (Kantor Urusan Agama) pada masa Jepang pada 1942 jumlah pesantren bertambah menjadi 1.871 buah, jumlah tersebut belum dijumlah dengan pesantren di luar jawa dan pesantren-pesantren kecil. Pada masa kemerdekaan jumlah pesantren terus bertambah, berdasarkan laporan Departemen Agama RI pada 2001 jumlah pesantren di Indonesia mencapai 12.817 buah.
Perkembangan pesantren terhambat ketika bangsa Eropa datang ke Indonesia untuk menjajah. Hal ini terjadi karena pesantren bersikap non-kooperatif bahkan mengadakan konfrontasi terhadap penjajah. Akibat dari sikap tersebut, maka pemerintah kolonial ketika itu mengadakan kontrol dan pengawasan yang ketat terhadap pesantren. Setelah Indonesia merdeka, pesantren tunbuh dan berkembang dengan pesat. Ekspansi pesantren juga bisa dilihat dari pertumbuhan pesantren yang semula hanya rural based institution kemudian berkembang menjadi pendidikan urban –karena pesantren tumbuh juga di kota-kota besar.
Banyak yang memahami bahwa dunia pesantren adalah dimensi yang sulit berubah, yang selama ini dianggap simbol kejumudan (kebekuan) dan kemandegan (stagnasi). Pada kenyataannya, pesantren memiliki dinamika perkembangan yang dinamis, bisa berubah, mempunyai dasar-dasar yang kuat untuk ikut mengarahkan dan menggerakkan perubahan yang diinginkan, mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Dalam rangka meminimalisasi problem kependidikan pesantren, dibutuhkan keberanian diri untuk melakukan rekonstruksi dalam arti positif yakni membangun pesantren berdasarkan potensi-potensi yang dimilikinya. Oleh karena itu, rekonstruksi sistem pendidikan pesantren bukan berarti merombak seluruh sistem yang ada yang berakibat hilangnya jati diri pesatren. Rekonstruksi tersebut tidak harus mengubah orientasi atau mereduksi orientasi dan idealisme pesantren sebagai lembaga “tafaqquh fi al-dîn” dalam pengertian luas; juga tidak perlu mengorbankan nilai-nilai seperti keikhlasan, kesedarhanaan, ukhuwah islamiyah, kemandirian dan optimisme.
Problem pendidikan NU ini sampai sekarang memang masih membelit, baik pada lembaga pendidikan madrasah maupun pesantren. Pasti saja meminta penyelesaian secepatnya, terutama setelah pemerintah melakukan reformasi kebijakan bidang pendidikan yang bermuara pada UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Oleh karena itu, NU perlu menjalin kerja sama dengan pemerintah --Departemen Pendidikan nasional dan Departemen agama RI, dan lembaga keswadayaan bidang pendidikan dalam dan luar negeri-- untuk bersama-sama mencari solusi terhadap masalah yang dihadapi.
Berkenaan dengan itu, NU mengambil langkah-langkah penting sebagai berikut:
1) Pemberdayaan Kepengurusan di Daerah
Pemberdayaan kepengurusan di daerah, dalam hal ini Pengurus Wilayah LP Ma’arif NU dan Pengurus Cabang LP Ma’arif NU, merupakan langkah utama yang harus ditempuh, karena melalui mereka inilah aspirasi warga nahdiyyin dalam bidang pendidikan bisa diperhatikan. Pemberdayaan tersebut dapat ditempuh melalui:
a. Penerapan pelatihan sambil bekerja (on-the-job training). On-the-job training, terutama yang di-support dengan pengetahuan, adalah pendekatan yang paling efektif bagi pembangunan kapasitas dan pengembangan sumberdaya manusia.
b. Peningkatan pemahaman tentang paradigma baru pendekatan baru kepemimpinan (manajemen yang efisien).
2) Perencanaan pendidikan secara bottom-up yang strategis dan antisipatoris.
Yang dimaksud dengan perencanaan pendidikan bottom-up yang strategis dan antisipatoris adalah perencanaan pendidikan yang disesuaikan dengan local needs (kebutuhan setempat) dan future needs (kebutuhan mendatang). Perencanaan ini didasarkan atas kondisi real yang terjadi. Perencanaan seperti ini tentunya tidak mudah dan tidak akan terjadi keseragaman dalam pembuatan dan penerapannya.
3) Pelibatan warga nahdliyyin dalam segala hal, terutama dalam pengambilan keputusan atau kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan.
D. Pendidikan NU dalam Konteks Pendidikan Nasional
Pengembangan pendidikan keagamaan semula dilakukan oleh masyarakat sendiri melalui berbagai perkumpulan atau organisasi. Organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah (1912), Nahdlatul Ulama (1926) dan Jam’iyatul Wasliyyah (1930), telah mencoba mengaplikasikan sistem pendidikan keagamaan dalam multibentuk: pesantren, diniyyah dan madrasah, baik pendekatan pembelajaran individual, klasikal maupun sistem terbuka; baik paruh hari maupun fullday.
Namun demikian, kelembagaan madrasah yang melayani pendidikan masyarakat secara massif yang pada umumnya diselenggarakan secara swakelola memiliki kelamahan yang cukup serius. Kelemahan-kelemahan itu hanya bisa diselesaikan secara bersama antara pemerintah, madrasah/sekolah, dan masyarakat sendiri.
Dalam khazanah nasional, madrasah merupakan fenomena budaya yang berusia lebih dari satu abad. Bahkan bukan suatu hal yang berlebihan, madrasah telah menjadi salah satu wujud entitas budaya Indonesia yang dengan sendirinya menjalani proses sosialisasi yang relatif intensif. Indikasinya adalah kenyataan bahwa wujud entitas budaya ini telah diakui dan diterima kehadirannya. Secara berangsur namun pasti, ia telah memasuki arus utama pembangunan bangsa menjelang akhir abad ke-20 ini.
Zaman Belanda, pendidikan Islam berada dalam fase awal, yaitu melakukan eksperimentasi materi dan metodologi pembelajarannya. Lembaga pesantren merupakan cikal-bakal format pendidikan Islam itu, yang kemudian melakukan improvisasi melalui adaptasi dengan sistem sekolah ala Belanda itu sendiri. Ada yang mengambil utuh kurikulum Belanda, lalu menambahkan jam pelajaran agama; tetapi ada yang hanya memakai sistem sekolah dan metodologi pembelajarannya saja, sementara materinya tetap pelajaran agama.
Pada zaman Jepang, urusan pendidikan agama Islam ditangani secara khusus. Pemerintahan Jepang membuat relasi-positif dengan kiai dan ustadz, yang kemudian membuat Kantor Urusan Agama (Shumubu). Setelah tahun 1945 –tepatnya tanggal 3 Januari 1946-- kantor ini menjadi kementrian agama. Dalam tahun-tahun pertama, kementerian agama membuat devisi khusus yang menangani pendidikan agama di sekolah umum dan pendidikan agama di sekolah agama (madrasah dan pesantren). Sejak pemerintahan Presiden Soekarno, indikasi ke arah integralisasi dari dualitas pendidikan sudah ketara. Proses itu makin mengental di zaman orde baru.
Terminologi “modernisasi madrasah“ tampaknya mulai menguat saat orde baru melancarkan manuver-manuver politik pendidikannya. Baik melalui jalan formalisasi –yaitu usaha penegerian madrasah, maupun jalan strukturisasi –yaitu penjenjangan madrasah dengan mengacu pada aturan Departemen Pendidikan. Keduanya memang kontroversial. Umat Islam melihatnya dengan kacamata prasangka, lalu tetap memperjuangkan madrasah dan pendidikan keagamaan menjadi bagian dari Departemen Agama.
Namun demikian, hingga reformasi politik meletus tahun 1998, dan terjadi transisi pemerintahan dengan berganti-gantinya Kepala Negara, dunia pendidikan bukan tidak terkena dampaknya. Spektrum reformasi politik memang memancar ke mana-mana, termasuk ke wilayah pendidikan keagamaan. Madrasah mulai memikirkan posisinya dalam masyarakat dan menyadari hak-haknya.
Oleh karena itu, madrasah sebagai pendidikan formal mempunyai tanggung jawab yang berat. Di satu sisi, bagaimana lulusan madrasah memiliki civic competence –yakni memiliki rasa kebangsaan (nasionalisme) yang kuat, juga memiliki cultural competence yang bisa menerima keanekaragaman (plurality) termasuk di dalamnya multiculturalism; di pihak lain harus mampu memenuhi kebutuhan industri yaitu diperlukannya tenaga kerja yang handal.
Dalam hal pengembangan madrasah, Nahdlatul Ulama pernah melewati jalan panjang dalam pencarian bentuk, pendirian dan pengembangannya. Madrasah tertua yang telah ada saat itu adalah ‘Madrasah Tashwirul Afkar’ dan ‘Madrasah Nahdlatul Wathon’ yang didirkan KH. A. Wahab Hasbullah dan KH. Mas Mansyur. Pada tahun 1931 pimpinan madrasah ini kemudian dipegang oleh KH. Alwi. Perkembangan Nahdlatul Wathan sangat pesat setelah masuknya seorang pemuda cerdas Abdullah Ubaid yang ikut bergabung dan mengajar di madrasah ini.
Saat itu, pendidikan di madrasah sudah memakai sistem klasikal dan sudah mengajarkan mata pelajaran umum meskipun terhitung langka. Karena kelangkaannya, hampir-hampir dikatakan tidak ada. Yang menggunakan sistem seperti itu hanyalah sekolah pemerintah kolonial Belanda seperti HIS, sekolah kelas I, sekolah kelas II dan lain-lainnya. NU pada waktu itu belum memiliki sekolah-sekolah model ini. Perhatian NU atau LP Ma’arif baru terpusat pada penyelenggaraan dan pembinaan madrasah dan pondok pesantren yang hanya “mengutamakan pendidikan dan pelajaran agama.
Barulah pada Muktamar NU II yang diselenggarakan di Surabaya pada 21 Oktober 1927 M. Bertepatan 12 Rabiul Tsani 1346 H, madrasah-madrasah mendapat perhatian besar. Pada muktamar kedua ini dibicarakan perihal madrasah sampai kepada biaya pembangunan dan dari mana biaya itu harus diperoleh dengan pengecualian menolak subsidi dari pemerintah kolonial. Biaya sepenuhnya ditanggung oleh jama’ah Ahlussunnah wal Jama’ah dan iuran yang ditarik dari para santri. Hal yang menjadi perhatian dalam muktamar kali itu, juga berkaitan dengan anggaran pendidikan dan metode pendidikan di kalangan NU atau Ma’arif. Dampak setelah muktamar kedua ini, perkembangan madrasah semakin pesat dan jumlahnya terus meningkat.
Animo dan perhatian besar pada pondok pesantren terus berlanjut pada muktamar NU ketiga yang dilaksanakan di Surabaya tanggal 28 September 1928. Pada akhir acara mukamar diadakan kunjungan ke berbagai pondok pesantren seperti ke Tambak Beras, Denanyar, Ngajuk dan lain-lain. Oleh karana perkembangan podok pesantren dan madrasah terus mengalami kemajuan, maka hal itu memerlukan pengelolaan yang intensif dan terorganisir. Oleh karena itu pada muktamar keempat di Semarang tanggal 29 September 1929, dibentuklah secara formal adanya HBNO (Hoofd Bestuur Nahdlatul Oelama) Bagian Perguruan Ma’arif.
Dengan menjadi bagian khusus dan berwenang sendiri Ma’arif menjadi sangat leluasa bergerak khususnya dalam memajukan pendidikan bagi NU. Pada akhir tahun1938 Komisi Perguruan NU ini telah mengeluarkan reglement tentang susunan madrasah-madrasah NU yang harus dijalankan mulai tanggal 2 Muharram 1357 H. Susunan madrasah-madrasah NU dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Madrasah Awaliah 2 tahun
2. Madrasah Ibtidaiyah 3 tahun
3. Madrasah Mu’allimin Wustha 2 tahun
4. Madrasah Mu’allimin Ulya 3 tahun
Dalam bidang perundang-undangan yang menyangkut kepentingan pendidikan, Ma’arif selalu mengikuti perkembangan yang seksama. Seperti yang diajukan pada muktamar keempat belas di Magelang tanggal 1 Juli 1939, suatu sikap yang tegas tentang tuntutan agar “pemerintahan Balanda mencabut Guru Ordonantie”. “Sebab guru ordonantie ini sangat merugikan perkembangan pendidikan Agama Islam”.
Hingga tanggal 8 Maret 1949 pemerintahan Balanda menyerah tanpa sarat kepada Jepang di Kali Jati. Sejak saat itu Jepang mulai berkuasa di Indonesia. Perkumpulan-perkumpulan dan organisasi-organisasi membekukan diri. NU dan Ma’arif juga praktis tidak melakukan kegiata-kegiatan berarti sebab batasan-batasan dalam peraturan yang diberlakukan oleh Jepang.
Pada masa pemerintahan kolonial Jepang, usaha-usaha pendidikan swasta boleh dibilang berhenti. Yang ada dan berjalan adalah sekolah-sekolah militer Jepang yang diarahkan kepada Nippon Seizis (semangat Jepang) melalui guru-guru yang telah dilatih demi kepentingan pemerintah. Pemerintah Jepang sangat tegas melarang penggunaan bahasa Belanda tetapi mengharuskan pemakaian bahasa Indonesia di sekolah-sekolah.
Tanggal 8 Desember 1941 Perang Pasifik mulai berkobar. Setahun sebelumnya, tanggal 9 Desember 1940 NU sempat melaksanakan muktamarnya yang kelima belas di Surabaya. Pada periode 1941-1945 Ma’arif yang dipegang oleh KH. Sa’diyah tetap membina pondok pesantren dan madrasah yang sempat beberapa waktu berhenti. Hal itu dimungkinkan sebab pemerintah Jepang tidak terlalu banyak memperhatikan kegiatan pondok pesantren dan madrasah. Keadaan ini sedikit memberi keleluasaan bagi Ma’arif. Madrasah-madrasah pada waktu itu terbagi atas dua bagain:
1. Madrasah Umum
a) Madrasah Awaliyah dengan lama belajar 2 tahun
b) Madrasah Ibtidaiyah dengan lama belajar 3 tahun
c) Madrasah Tsanawiyah, lama belajar 3 tahun dengan murid dari lulusan madrasah Ibtidaiyah.
d) Madrasah Mu’allimin Al-Ulya dengan lama belajar 3 tahun yang menampung Madrasah Mu’allimin Al-Wustha.
Pada waktu itu sekolah umum dalam arti seperti SMP, SMA, SGB dan sejenisnya belum dimiliki Ma’arif.
2. Madrasah Ikhtisosiyah
a) Madrasah Qudhat (Sekolah Hakim)
b) Madrasah Tijarah (Sekolah Ekonomi)
c) Madrasah Shina’ah (Sekolah Pertukangan)
d) Madrasah Zira’ah (Sekolah Pertanian)
Dari sudut historis pendidikan madrasah di lingkungan Nahdlatul Ulama ini tampak bahwa peran NU dalam pertumbuhan dan perkembangan madrasah tidaklah kecil. Bahkan langkah kategorisasi dan penjenjangan madrasah merupakan inspirasi bagi pembakuan penjenjangan pendidikan madrasah akhir-akhir ini sebagimana diadopsi oleh sistem pendidikan nasional.
E. Arah dan Identitas Pendidikan NU
Pasca Muktamar NU XX, sebagaimana telah dijelaskan di atas, PBNU Bagian Ma’arif (atau Bagian Pendidikan) sudah berganti nama menjadi Lembaga Pendidikan Ma’arif NU. Melalui lembaga ini, NU merekomendasikan kebijakan pendidikannya dan memberikan tugas serta tanggung jawab untuk mengatur lembaga-lembaga pNU seluruh Indonesia.
Hingga tahun 2003, kantor pusat Lembaga Pendidikan Ma’arif NU telah mendata sebagian sekolah dan madrasah yang berada dalam koordinasinya. Dari 11 wilayah propinsi yang telah diverifikasi, kelembagaan pendidikan NU untuk tingkat dasar dan tingkat menengah telah mencapai jumlah 12.000.000 lembaga. Selain itu, terdapat pula sebanyak 78 perguruan tinggi, ribuan pesantren yang pengorganisasiiannya dipegang oleh Rabithah Ma’had Islamiyah (RMI), dan sebanyak 6.000 TK/RA yang dikelola oleh PP Muslimat NU. Jumlah yang sangat besar tersebut, tentua saja meminta perhatian yang besar pula.
Dalam mengelola Pendidikan, ada beberapa prinsip yang menjadi arah, oriantasi dan identitas kependidikan NU, yaitu:
1. Memiliki komitmen terhadap paham keagamaan Ahlussunnah wal Jama’ah.
a. Bertekat kuat untuk menciptakan institusi Pendidikan secara mandiri, baik dari segi orientasi, swakarsa maupun bentuk pengelolaanya;
b. Mampu mengembagnkan lembaga pendidikannya dengan melibatkan seluruh potensi masyarakat.
c. Menjadikan mabadi’ khaira ummah (mabâdî’ khayra ummah) sebagai landasan manajemen Pendidikan yang merefleksikan nilai-nilai al-shidq (kebenaran dan keadilan), al-amânah (kepercayaan), al-‘adâlah (keadilan), al-ta’âwun (gotong-royong) dan al-istiqâmah (konsistensi terhadap kebenaran).
d. Mau bekerja keras menjunjung tinggi nilai amal kerja dan prestasi sebagai bagian dari ibadah.
2. Kebijakan Pendidikan NU berpijak pada pemikiran bahwa Pendidikan merupakan upaya pengembangan individu manusia untuk menjadi manusia yang aktual dalam pengertian memiliki sensitivitas sosial yang tinggi dan mampu mengembangkan fungsi kekhalifahan di muka bumi, bahkan menciptakan alat-alat produksi (intelektual mekanik).
3. Memelihara perpaduan antara semangat pergerakan (spirit being a movement) dan keharuasan mengatur diri. Dua hal ini membawa pendidikan NU pada ciri-ciri kependidikan (educational properties) yang semestinya, yaitu adanya keterikatan pada akar sejarah dan tradisi yang dalam; adanya kemampuan menumbuhkan rasa keterlibatan pada sistem pendidikan itu sendiri sebagai bentuk pengabbdian (khidmah) kepada masyarakat bangsa.
Bagi Ma’arif, pendidikan adalah upaya yang dilakukan secara sadar, terencana serta berkesinambungan guna mengembangkan seluruh potensi kecerdasan anak didik (intelektual, emosional, praktikal, sosial, moral dan spiritual) agar mampu mengemban amanat sebagai khalifah di bumi; pengawal dan pemelihara persatuan dan kesatuan bangsa; penerus, pengembang dan pelaksana ajaran dan nilai-nilai Islam Ahlussunah wal Jama’ah.
Ma’arif menyelenggarakan pendidikan formal dari tingkat SD/MI sampai dengan Perguruan Tinggi dan pendidikan non formal yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dengan ciri-ciri sebagai berikut :
a. Populis, yakni sekolah umum dan madrasah serta kursus yang selalu dicintai masyarakat, khususnya masyarakat nahdliyyin, karena sekolah atau madrasah atau kursus di lingkungan Ma’arif tambah dari masyarakat dan dikembangkan oleh masyarakat.
b. Islami, yaitu sekolah umum dan madrasah Ma’arif yang berciri khas agama Islam sesuai dengan ajaran Ahlussunah wal Jama’ah, baik materi ajar maupun perilaku semua orang yang terlibat di bidang pendidikan (kepala sekolah, guru, karyawan, siswa) di lingkungan sekolah maupun di luar.
c. Berkualitas, yaitu sekolah (madrasah yang mampu menumbuhkan semangat dalam diri anak didik untuk berprestasi m7aksimal, sehingga lulusnya memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup, sehinga mampu menjawab setiap tantangan dan persoalan yang berkembang.
Dalam kiprahnya di bidang pendidikan, Ma’arif telah memberikan saham yang cukup signifikan dalam mencerdaskan bangsa. Namun demikian, kita menyadari bahwa sebagai bagian dari konteks pendidikan nasional, Ma’arif juga tak lepas dari baik-buruknya sistem pendidikan nasional. Di samping banyak sekolah Ma’arif yang melakukan inovasi dan improvisasi sesuai dengan kebutuhan dan tantangan nyata masyarakat --baik ekonomis, sosial maupun kultural--, tidak sedikit pula sekolah/madrasah Ma’arif yang memprihatinkan karena proses pembelajarannya belum memungkinkan terjadinya proses sosialisasi dan pembudayaan kemampuan, nilai, sikap dan perilaku yang dituntut oleh masyarakat, sehingga masyarakat kurang mendukung keberadaan lembaga pendidikan tersebut.
Terkait dengan itu, Ketua PP LP Ma’arif NU Masa Khidmat 1999-2004, Drs. HM. Nadjid Muchtar, MA. mengatakan bahwa dalam banyak hal praktek pendidikan itu lebih pada pemberian pengetahuan yang pada umumnya kurang fungsional dan tidak relevan bagi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, Ma’arif menginginkan agar proses pembelajaran dapat dikembangkan dalam iklim yang demokratis, menyadari dan mengakui eksistensi pluralitas dan multi-budaya serta meniadakan dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Lalu, anak didik berada pada posisi sentral, dan menjadi subyek pencari pengetahuan dan pembentuk dirinya. Adapun guru berfungsi sebagai fasilitator dan pendidik yang memiliki otoritas profesional dan bertanggung jawab atas perkembangan kepribadian anak.
Agenda Prioritas Ma’arif
Berikut ini merupakan ringkasan program Pimpian Pusat Lembaga Pendidikan NU pada tahun 2003:
1. Melakukan Pendataan Pendidikan
Program pendataan telah berlangsung hampir tiga tahun, mulai tahun 2000 sampai akhir tahun 2003. Ada kendala teknis pendataan itu sendiri dan kendala komunikasi/hubungan pusat-wilayah yang menyebabkan hasilnya tertunda-tunda. Secara nasional, hingga kini baru 11 wilayah yang tergarap, dan ini pun dalam tahap finishing pengerjaannya. Sebagian besar wilayah lainnya masih dalam data mentah. Data yang lengkap diharapkan dapat membantu lembaga pendidikan Ma’arif untuk memperoleh dana dengan cara mensosialisasikanya. Dalam hal ini, Ma’arif melakukan asistensi dan fasilitasi terhadap langkah-langkah fund-rising –yang tidak terbatas pada “konsumen” madrasah (para orang tua siswa), tetapi terbuka ke luar dari itu seperti kepada para pengusaha, lembaga donor/funding asing dan pemerintah negara-negara sahabat.
2. Penguatan Bahasa Inggris dan Menjalin Kerjasama dengan Universitas di Luar Negeri
Penguatan bahasa asing untuk pertama kalinya memilih bahasa. Untuk gelombang I, program telah berakhir 2003, selama 6 bulan. Rancangan pelaksanaan program telah selesai, dan kini sedang mensosialisasi program ini ke wilayah seluruh Indonesia. Bertujuan untuk menunjang program pengiriman mahasiswa ke luar negeri. Direncanakan biaya ditanggung oleh Ma’arif/PBNU dan biaya konsumsi ditanggung oleh peserta. Pelaksanaan seleksi dan pembelajaran akan disentralkan di Unisma, Malang.
3. Penulisan Buku/Bahan Ajar Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) dan Ke-NU-an dan Revisi Kurikulum Ma’arif Tahun 1983
Materi pembelajaran Aswaja dan Ke-NU-an telah ditulis oleh beberapa wilayah, antara lain Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Lampung, berdasarkan kurikulum tahun 1983. Sudah saatnya substansi materi mengalami pembaruan, dan diharapkan ada buku/bahan ajar berstandar nasional. Kini sudah disusun tim kerja dan rancangan kerjanya yang akan bekerja mulai bulan Mei. Selain Aswaja dan Ke-NU-an, juga saatnya dilaksanakan revisi kurikulum (semua mata pelajaran) untuk sekolah/marasah di lingkungan Nahdlatul Ulama.
4. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Peningkatan Mutu Pendidikan
Salah satu pedoman organisasi yang dihasilkan oleh Rakernas di Malang tahun 2002 adalah pedoman MBS dan Peningkatan Mutu Pendidikan. Pedoman ini belum diimplementasikan sama sekali, antara lain karena kendala pembiayaan yang besar, yakni menyangkut pembiayaan untuk pelatihan MBS dan pembiayaan untuk membantu kelengkapan sarana-prasana sekolah/Madrasah Ma’arif. Ribuan sekolah Ma’arif –seperti yang sering disampaikan oleh wilayah-wilayah—mengaku kekurangan pembiayaan operasional pendidikanya, baik untuk peningkatan mutu manajemen, mutu tenaga pendidikan maupun untuk memenuhi standar sarana-prasarana pendidikan.
5. Konsolidasi Organisasi melalui Silaturrahim, Jurnal Cetak dan Website
Pola relasi keoganisasian di lingkungan Ma’arif –dan NU pada umumnya—dirasakan belum efektif. Hanya kekuatan kultural yang “mengefektifkan” hubungan nahdliyyin dengan organisasinya. Untuk itu, sistem organisasi yang ada (dan perangkat-perangkat yang sebetulnya sudah cukup baik) perlu diberdayakan. Atau perlu “dibina”. Tahun ini, Ma’arif telah melaksanakan program kunjungan kerja untuk konsolidasi pengurus wilayah dan seluruh lembaga penyelenggara pendidikan. Selain itu, konsolidasi organisasi juga telah ditempuh melalui penerbitan media cetak dan digital. Ma’arif kini mempunyai jurnal 6 bulanan dan website yang akan difungsikan sebagai “portal” informasi pendidikan di lingkungan NU.
6. Pembenahan Manajemen Pendidikan
Fokus pembenahan manajenemn Pendidikan Ma’arif yang bisa dilakukan setidak-tidaknya pada dua kegiatan penting. Pertama, penataan manajemen kantor Ma’arif –artinya kantor pengurus Ma’arif yang idealnya menjadi sentra manajemen pendidikan sekolah/madrasah dan perguruan tinggi NU, berikut dengan segala hal teknis-operasional yang terkait; Kedua, perbaikan mutu manajamen Pendidikan di tingkat sekolah/madrasah atau perguruan tinggi yang kini tengah dalam penyesuaian dengan perubahan-perubahan kebijakan baik di pusat maupun daerah. Dalam dua tugas ini, Ma’arif akan berfungsi sebagai pendamping atau tim asistensi pengembanan pendidikan NU. Bentuk-bentuk kegiatan yang bisa laksanakan, misalnya: sosialisasi buku-buku terbitan internal yang terkait dengan pengembangan Pendidikan NU, monitoring dan pembinaan mutu manajemen sekolah/madrasah, pendataan kelembagaan, dan kegiatan lain sejenisnya.
7. Olimpiade Mutu Guru dan Siswa
Selain meningkatkan mutu guru dan siswa yang dilakukan secara regular melalui proses pembelajaran di kelas, pendidikan keahlian dan pelatihan-pelatihan, Ma’arif melakukan juga olimpiade yang bersifat kompetitif antarguru dan siswa secara nasional untuk mengetahui tingkat keberhasilan proses pendidikan yang berlangsung selama ini. Olimpiade (akan) dilaksanakan secara bertahap, mulai tingkat kecamatan, kabupaten, propinsi hingga pusat. Penyelenggaranya adalah masing-masing pengurus struktural Ma’arif di setiap tingkatannya. Mereka yang mendapatkan peringkat terbaik akan memperoleh penghargaan dari PP LP Ma’arif NU dan PBNU, baik yang bersifat hadiah maupun penghargaan non-material.
8. Penataan Aset Pendidikan NU
Sebagai organisasi pendidikan yang telah bergerak lebih dari 40 tahun, Lembaga Pendidikan Ma’arif NU memiliki banyak aset dalam berbagai bentuk, terutama tanah dan bangunan. Seiring dengan penataan organisasi pada setiap tingkatan, sekarang aset organisasi tersebut sedang didata dengan baik. Langkah ini merupakan pengejawantahan dari sikap amanah organisasi terhadap wakaf yang telah diterima, dan sebagai upaya untuk mengoptimalisasi pemanfaatan aset tersebut sebesar-besarnya bagi kepentingan umat Islam (nahdliyyîn). Melalui pendataan aset diharapkan tidak terjadi “penguapan” aset organisasi sebagaimana telah banyak terjadi di lingkungan organisasi kita. Bila perlu, kasus-kasus penguapan yang telah terjadi ditangani lagi sehingga aset yang telah hilang dapat kembali ke pangkuan organisasi.
9. Aktif dalam Perumusan Kebijakan Pendidikan
Lembaga Pendidikan Ma’arif NU di berbagai tingkatan telah dihimbau oleh PBNU melalui PP LP Ma’arif NU untuk bersikap proaktif terhadap proses penyusunan bentuk-bentuk peraturan yang berada di pusat (UU atau PP, dan turunannya) maupun di daerah (Perda dan sejenisnya) khususnya yang menyangkut bidang Pendidikan. Tahun silam Ma’arif merasa bersyukur telah turut serta dalam proses panjang lahirnya UU No. 20 tentang Sisdiknas Tahun 2003 yang merupakan momentum pelaksanaan reformasi Pendidikan, dan akhir-akhir ini Ma’arif (juga PBNU, RMI, Muslimat, dan lain-lain) ikut memberikan kontribusi terhadap proses penyusunan RPP bidang Pendidikan. Secara internal, Ma’arif Pusat melakukan penyusunan, pengadaan dan pengiriman perangkat peraturan organisasi dan pola manajemen pendidikan Ma’arif untuk pengurus struktur di daerah dan madrasah/sekolah, serta lembaga penyelenggara Pendidikan.
10. Pengembangan Perguruan Tinggi
Sebuah asosiasi perguruan tinggi bernama ‘APTINU’ (Asosiasi Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama) –sebagai perangkat organisasi Ma’arif di bidang perguruan tinggi- telah mulai diberdayakan. Pusatnya di Unisma Malang, Jawa Timur, dengan anggota dari berbagai wilayah yang terbagi dalam 6 koordinator wilayah. Diharapkan perguruan tingi dapat membantu dalam hal penyediaan tenaga terdidik bagi sekolah/madrasah Ma’arif, juga bagi pemberdayaan NU secara umum. Telah menjadi pemikiran bahwa perguruan tinggi NU akan dapat membina sekolah/madrasah di lingkungan Ma’arif, sehinga usaha masif penciptaan sumber daya manusia yang baik dan berkualitas dapat segera terwujud.
F. Pendidikan Terpadu NU: Kurikulum Campuran
Tepatnya setelah pergantian kepemimpinan nasional dari Presiden KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ke Megawati Soekarnoputeri tahun 2001, Wakil Presiden Dr. Hamzah Haz berkunjung ke kantor PBNU dan kantor PP Muhammadiyah. Dalam pertemuannya dengan Ketua PP Muhammadiyah Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif, pers nasional memberitakan terjadinya tawar-menawar posisi kabinet. “Muhammadiyah sudah agak teruji dalam masalah pendidikan. Mungkin pendidikan akan diberikan kepada kita,” ujar Syafii Ma’arif. Lalu, Rektor UM Malang Prof. Dr. Malik Fadjar dilantik sebagai Mendiknas RI menggantikan Dr. Yahya Muhaimin yang juga kader Muhammadiyah.
Namun demikian, pada musim tawar-menawar posisi kabinet “gotong-royong” Mega-Hamzah tersebut, Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi justru tidak berbicara eksplisit. Ia menyerahkan kepada kekuasaan untuk memilih kader NU yang akan diposisikan di pemerintahan. “NU tidak merekomendasi apa pun terhadap kekuasaan,” kata Hasyim Muzadi. Namun demikian, pemerintah mempercayakan posisi Menag RI kepada Katib ‘Aam Syuriah PBNU Prof. Dr. Said Aqil Husein Al-Munawwar MA menggantikan KH Tholhah Hasan yang juga kader NU.
Dalam konteks politik pendidikan, posisi menteri cukup signifikan dalam hal merancang disain besar pendidikan nasional melalui berbagai kebijakan dan peraturan-peraturan –termasuk dalam proses membuat Undang-Undang. Karena itu, komposisi di atas menggambarkan adanya asumsi publik yang mengatakan bahwa Muhammadiyah lebih pas untuk mengurusi pendidikan umum dan NU lebih dipercaya untuk membangun pendidikan agama dan keagamaan. Agaknya, asumsi tersebut mendekati realitas kependidikan di Indonesia.
Jika ditelusuri agak jauh ke belakang, tampaknya paradigma “dikotomi pendidikan” diakibatkan oleh terlembaganya format struktural birokrasi pendidikan ini sehingga akhirnya berpengaruh pula pada terpeliharanya persepsi dan tradisi pendidikan yang dikotomis agama-umum di Indonesia. Rupanya fakta ini pula yang berkontribusi besar pada terciptanya setting pendidikan NU hingga sekarang yang berkonsentrasi pada pendidikan pesantren, diniyah, majelis ta’lim, madrasah dan perguruan tinggi agama, seolah-olah mempertegas jati diri NU sebagai jam’iyyah diniyah. Padahal dalam tinjauan historis, NU telah mengkritik keras faham dualisme ilmu tersebut.
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, ruh anti-dikotomik sebetulnya telah makin terasa. Kategori madrasah dan sekolah sudah sama, yakni pendidikan formal tingkat dasar dan menengah. Perlakuan yang diberikan kepada sekolah dan madrasah tidak diskriminatif. Penggolongan negeri dan swasta tidak lagi memiliki pengaruh yang signifikan dalam kinerja anggaran. Melalui justifikasi UU Sisdiknas, pemerintah akan memberikan layanan pendidikan kepada masyarakat secara luas, adil dan bermutu.
Ada perjalanan pembaruan pendidikan nasional yang tidak boleh kita lupakan, yaitu upaya-upaya yang dilakukan oleh KH. A. Wahid Hasyim --peletak batu pertama usaha pengembangan pendidikan modern di lingkungan NU. Pendidikan modern dalam konteks ini adalah mulai diterapkannya ide pembelajaran integral agama-umum yang terstruktur secara resmi pada kurikulum madrasah. Usahanya tersebut merupakan benang merah dari kondisi baru keagamaan abad ke-20 yang muncul di Negara-negara Timur Tengah setelah lahirnya para pembaharu Islam --seperti ‘Abd Allah ibn ‘Abd al-Wahhab, Jamal al-Din al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Muhammad ‘Abduh yang bangkit akibat persentuhannya dengan Barat.
Sepulang dari Mekah al Mukarromah, pada tahun 1934, KH. A. Wahid Hasyim menggagas kurikulum madrasah dengan komposisi 70% agama dan 30% umum. Ketika itu, gagasan ini bertentangan secara diametral dengan kultur akademik pesantren yang didominasi ‘ulûm dîniyyah alias 100 % agama. Demikian juga, kurikulum tersebut menuntut terjadinya perubahan mendasar pada sarana-prasarana, metodologi pengajarannya dan rombongan belajarnya yang bercorak klasikal. Itulah yang kemudian menjadi format awal madrasah-madrasah di nusantara dengan sebutan “Madrasah Nidzomiyah”.
Madrasah Nidzomiyah didirikan di Pesantren Tebu Ireng Jombang, Jawa Timur dengan pertimbangan bahwa kurikulum pesantren yang hanya fokus pada ‘ulûm diniyyah (ilmu-ilmu agama) mengakibatkan santri tidak bisa berkompetisi dengan sekolah yang bercorak Barat. Menurut KH. A. Wahid Hasyim, pesantren memiliki kelemahan dalam hal penguasaan pengetahuan umum, bahasa asing (Inggris dan Belanda), serta skill berorganisasi.
Di tengah-tengah kontroversi perubahan kurikulum ini, KH. A. Wahid Hasyim tetap melanjutkan idealismenya dengan mengatakan bahwa pendidikan Indonesia yang dikotomik merupakan warisan penjajah Belanda dan sangat berbahaya bagi umat Islam. Pendidikan yang dikotomik, kata KH. A. Wahid Hasyim, hanya akan melahirkan ilmuwan-ilmuwan yang tak bermoral dan ulama-ulama yang tak mengenal zamannya. Untuk itulah, secara gigih ia menyarankan agar setiap lembaga pendidikan mempunyai strategic planning yang mencakup tiga hal: (1) menggambarkan tujuan dengan sejelas-jelasnya, (2) menggambarkan cara mencapai tujuan itu, serta (3) memberikan keyakinan dan cara, bahwa tujuan yang disusun tersebut dapat tercapai dengan sempurna.
Pada tahun 1940, KH. A. Wahid Hasyim dipilih sebagai Anggota PBNU bagian Ma’arif. Kesempatan ini dipakainya dengan mencoba melakukan pembaharuan pendidikan madrasah NU di seluruh Indonesia. Pada tahun 1962, saat PBNU bagian Ma’arif mengadakan Musyawarah Tingkat Wilayah di Bandung, Jawa Barat akhirnya ide kurikulum campuran diresmikan penggunaanya dengan komposisi 70 % agama dan 30 % umum. Dalam perkembangannya, komposisi kurikulum tersebut menjadi inspirasi bagi pemerintah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan madrasah, yakni dengan keluarnya SKB 3 Menteri –yaitu: Menteri Agama No. 6/1975, Menteri P dan K No. 037/U/1975, dan Mendagri No. 36/1975 tentang kurikulum nasional madrasah.
Dalam mengembangkan kurikulum nasional merujuk pada prinsip-prinsip, yaitu: (a) berorientasi pada tujuan, (b) relevansi dengan kebutuhan, (c) efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan, (d) fleksibilitas, (e) berkesinambungan, (f) keterpaduan, dan (g) bermutu. Namun, kelima prinsip pengembangan kurikulum tersebut harus disusun berdasarkan kemampuan dasar minimal (competency based curriculum) yang harus dikuasai seorang peserta didik setelah yang bersangkutan menyelesaikan satu unit pelajaran, satu satuan waktu dan satu satuan pendidikan.
Dengan demikian, seorang peserta didik belum dapat melanjutkan palajaran ke unit atau satuan pendidikan selanjutnya sebelum yang bersangkutan menguasai unit pelajaran yang dipersyaratkan. Kurikulum berdasarkan kompetensi ini diharapkan dapat menjamin tercapainya standar kualitas lulusan lembaga pendidikan tertentu, yang selama ini menjadi masalah nasional di bidang pendidikan. (Indra Djati Sidi, 2001)
Oleh karena kurikulum madrasah bersifat nasional, maka ia sangat responsif dan antisipatif terhadap berbagai perubahan dan perkembangan, karenanya kurikum madrasah selalu bersifat dinamik dan terbuka terhadap kritik, revisi dan inovasi. Namun pada prinsipnya kurikulum madrasah berorentasi kepada standar global/regional, berwawasan nasional, dan dilaksanakan secara lokal. Kurikulum yang dipakai oleh Ma’arif adalah kurikulum nasional yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan tambahan mata pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan sekolah/madrasah, khsusnya mata pelajaran studi ke-NU-an dan Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja).
Untuk sekolah umum, Lembaga Pendidikan Ma’arif NU menggunakan kurikulum yang diberlakukan secara nasional yang bersumber dari Depdiknas, yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi yang mulai diaplikasikan pada tahun 2004 ini. Maksud sekolah umum adalah SD, SLTP, SMU, SMK dan lembaga Pendidikan umum yang sejenis.
G. Partisipasi dalam Program Pemerintah
Dalam kesempatan pembukaan Raker Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama tahun 2002 di Malang, Menteri Agama RI Prof. Dr. H. said Aqil Husein al-Munawwar, MA mengatakan bahwa Dalam kehidupan masyarakat kita seolah-olah sedang terjadi paradoks. Karena di satu sisi terlihat syiar dan gebyar kehidupan beragama, tetapi pada sisi lain, kita menyaksikan akhlak masyarakat berubah makin jauh dari nilai-nilai Qur’ani. Rendahnya kualitas akhlak serta lemahnya iman dan takwa bangsa Indonesia merupakan faktor utama tumbuh suburnya parktek-praktek kolusi, korupsi dan nepotisme serta berkembanganya kecenderungan sadistik, kriminalistik dan tindakan maksiat lainnya.
Terhadap kondisi yang demikian kita semua perlu melakukan introspeksi dan evaluasi terhadap apa yang kita lakukan sekarang dalam pembinaan akhlak mulia. Karena berbagai krisis yang membelit bangsa kita, berpangkal pada krisis akhlak bangsa.
Pembinaan akhlak bukanlah hal yang ringan di tengah-tengah perkembangan masyarakat yang semakin dinamis ini. Perubahan sosial dan cepatnya arus informasi produk ilmu pengetahuan dan teknologi dan berkembangnya masyarakat industrti modern, tidak selalu sesuai dengan nilai-nilai Qurani. Bahkan tidak jarang mempunyai dampak negatif terhafap kualitas akhlak manusia. Kemudian tumbuh pula gejala psikologis yang mengkhawatirkan, seperti alienasi, dislokasi kejiwaan kehilangan pegangan dan tujuan serta makna hidup. Dengan demikian, pembinaan akhlak mulia merupakan keharusan mutlak dan tuntutan yang tidak bisa ditawar.
NU memiliki komitmen yang kuat dalam memelihara kemurnian ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah dengan berbagai pendekatan, antara lain melalui jalur pendidikan. Besarnya ikatan moral hampir 40 juta warga NU terhadap visi dan misi perjuangan organisasinya adalah fakta dari keberhasilan jalur pendidikan.
Mulai dari pembenahan madrasah dan sekolah inilah kiranya pendidikan yang diselenggarakan Ma’arif dapat diharapkan fungsi dan peranannya dalam upaya penyiapan SDM Indonesia yang berkualitas, memiliki kompetensi, memiliki relevansi mutu (bagi pembangunan dan wilayah global), serta berdaya saing (kompetitif). Lebih dari itu, out put pendidikan Ma’arif yang bermutu tentu saja akan berpengaruh secara luas pada terciptanya good governance, civil society dan unit-unit keluarga yang kuat, sehingga NU, bangsa dan negara kita menjadi lebih baik lagi. Untuk itulah, NU turut berpartisipasi dalam beberapa program pemerintah bidang pendidikan.
1. Penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun melalui Madrasah
Berdasarkan data Depdiknas, hingga tahun 2003 ini terdapat anak usia pendidikan dasar yang belum dapat tertampung baik di sekolah maupun di madrasah sebanyak 8,7 juta (terdiri dari 1,5 juta SD/MI dan 7,2 juta SLTP/MTs.) Berkenaan dengan itu, program penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun perlu terus dilaksanakan agar mereka segera terserap dalam pendidikan.
Berkenaan dengan itu, NU dengan pemerintah melakukan kerja sama untuk mencoba meningkatkan kapasitas madrasah dengan menambah ruang kelas baru, rehabilitasi fisik dan peningkatan sarana-prasarana pendidikan. Langkah lainnya adalah menekan tingkat putus belajar di madrasah melalui program bantuan-bantuan yang sifatnya khusus untuk murid dan guru. Upaya selanjutnya adalah melalui MTs Terbuka yang pada umumnya dilaksanakan di pesantren. Program ini pertama kali di buka pada tahun ajaran 1996-1997 dengan 5 lokasi yang masing-masing lokasi mendidik 100 siswa. Kini MTs Terbuka telah memiliki 61 lokasi dengan siswa lebih kurang 26.400 yang tersebar hampir diseluruh pelosok tanah air. Mayoritas pelaksana MTs Terbuka ini adalah pesantren-pesantren yang ada di bawah naungan Nahdlatul Ulama.
Penuntasan wajar dikdas juga dilakukan melalui Pondok Pesantren Salafiyah yang jumlahnya mencapai 8.505 buah (sumber: EMIS Dep. Agama tahun 2001/2002). Berdasarakan Surat Kesepakatan Bersama (SKB) antara Menteri Pendidikan Nasional dengan Menteri Agama nomor: 1/U/KB/2000 dan nomor: MA/86/2000 tentang Pondok Pesantren Salafiyah sebagai Pola Wajib Belajar Pendidikan Dasar, yang telah ditindak lanjuti dengan SKB antara Dirjen Dikdasmen dan Dirjen Binbaga Islam nomor: E/83/2000 dan nomor: 166/c/Kep/DS/2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pondok Pesantren Salafiyah sebagai Pola Wajib Belajar Pendidikan Dasar, diharapkan peran serta Pondok Pesantren akan semakin meningkat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Saat ini Pesantren Salafiyah yang telah menyelenggarakan program Wajar Dikdas kurang lebih 632 buah, dengan jumlah santri sekitar 67.500 orang.
Program ini bertujuan untuk meningkatkan peran serta Pondok Pesantren Salafiyah dalam penyelenggaraan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun bagi santri sehingga para santri dapat memiliki kemampuan setara dan kesempatan yang sama untuk melanjutkan belajar ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sasaran program ini adalah para santri di Pondok Pesantren Salafiyah yang berusia 7–15 tahun, yang mengikuti pendidikan Diniyah Ula/Awaliyah (tingkat dasar) dan Diniyah Wustho (tingkat lanjutan pertama) dan tidak sedang menempuh pendidikan di SD/MI dan SLTP/MTs, atau bukan pula tamatannya. Santri yang berusia lebih dari 15 tahun yang belum memiliki ijazah SD/MI atau SLTP/MTs juga dapat mengikuti program ini.
2. Desentralisasi Pendidikan
Dilaksanakannya desentralisasi di bidang pendidikan akan berpengaruh positif pada manajemen pendidikan yang selama ini dikenal amat sentralistik dan birokratik untuk diarahkan kepada upaya melibatkan dan memperhatikan keinginan dan harapan masyarakat. Desentralisasi pada dasarnya tidak hanya terbatas pada daerah, namun akan lebih masuk ke dalam desentralisasi sekolah/madrasah.
Lembaga pendidikan harus diberdayakan untuk dapat berkembang secara individual dan spesifik dengan megandalkan pada school based management. Pengelolaan yang didasarkan pada sekolah dan masyarakat sekelilingnya itu akan memungkinkan sekolah berkembang dengan segala kekuatan yang dimilikinya.
Di Indonesia, terdapat kelembagaan madrasah yang jumlahnya cukup signifikan. Jumlah Madrasah Aliyah (MA) sebanyak 3.772 (berstatus Negeri 577 dan Swasta 3.195) atau 84,7 % swasta. Jumlah Madrasah Tsanawiyah (MTs.) sebanyak 10.792 (berstatus Negeri 1.168 dan Swasta 9.624) atau 89, 2 % swasta. Jumlah Madrasah Ibtidaiyyah 22.799 (berstatus Negeri 1.482 dan Swasta 21.317) atau 93,5 % swasta. Upaya desentralisasi madrasah sebetulnya lebih difokuskan untuk madrasah-madrasah negeri tersebut, sementara madrasah swasta sejak awal memang sudah berada di tengah-tengah masyarakat, beroperasi secara mandiri dan otonom. Artinya, pada umumnya madrasah telah meluncur di rel otonomi pendidikan.
Akhir-akhir ini, masyarakat madrasah banyak yang menyampaikan keluhannya –terutama dalam menghadapi ekses otonomi daerah. Berbeda dengan eksistensi sekolah, di beberapa daerah madrasah memang belum diterima secara bulat sebagai aset daerah. Implikasinya, kebijakan daerah tidak menyentuh madrasah, misalnya dalam hal penyediaan anggaran pendidikan. Pimpinan Pusat LP Ma’arif NU telah melayangkan surat kepada Departemen Agama untuk memberikan masukan kepada pemerintah bahwa desentralisasi madrasah sudah mendesak diterapkan.
3. Aplikasi MBS
Untuk meningkatkan mutu pendidikan, tidak bisa terlepas dari upaya perbaikan manajemennya. Sebagai salah satu komponen penting dalam proses pendidikan, manajemen sekolah/madrasah menjadi hal yang sangat mendesak untuk diperbaiki. Masih belum profesionalnya, manajemen sekolah/madrasah dipengaruhi oleh banyak faktor, baik kondisi sosial budaya, internal sekolah, kemampuan SDM, anak didik sendiri atau peran masyarakat dan lain-lain. Setelah diberlakukannya desentralisai pengelolaan pendidikan, diharapkan sekolah/madrasah diberi keluasaan dalam mengembangkan diri.
School-Based Management (SBM), yaitu manajemen berbasis sekolah merupakan konsep alternatif bagi sekolah/madrasah dalam program desentralisasi pendidikan yang ditandai adanya otonomi luas di tingkat sekolah/madrasah, partisipasi masyarakat yang tinggi dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan sekolah/madrasah sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan secara umum.
Lahirnya konsep SBM telah memberikan harapan posistif bagi masyarakat sebagai konsumen pendidikan dan guru-guru untuk mengelola pendidikan secara mandiri. SBM menuntut semua guru untuk terlibat dalam seluruh proses pendidikan, baik yang berhubungan dengan program pendidikan, menetapkan visi dan misi, menentukan kesejahteraan sendiri dan menentukan anggaran pendapatan dan biaya sekolah/madrasah, bahkan memilih siapa-siapa yang duduk sebagai pengurus sekolah/madrasah.
Konsep SBM juga mengarahkan sekolah/madrasah agar mempunyai kemandirian dalam penyusunan program, menetapkan program dan melaksanakan program yang diputuskan oleh seluruh komponen sekolah/madrasah, yaitu kepala sekolah/madrasah, guru-guru, karyawan dan masyarakat umum (khususnya orang tua anak didik). Kepala sekolah/madrasah harus bertindak demokratis dan aspiratif dalam menentukan segala kebijakan, guru harus pro-aktif, disiplin, kreatif, inovatif dan produktif, karyawan harus bertindak profesional sesuai dengan kapasitas yang dimiliki, serta masyarakat harus merasa memiliki (khususnya orang tua) dan ikut bertanggung jawab terhadap eksistensi dan perjalanan program-program sekolah/madrasah. Kerja sama antar warga sekolah/madrasah (guru, manajemen, anak didik dan orang tua) harus dibangun dan dikembangkan untuk menemukan sinergi kualitas proses pendidikan.
H. Penutup
Hingga sekarang, penyelenggaraan pendidikan NU belum mampu menjawab berbagai kebutuhan dan tantangan. Program peningkatan kualitas dan pemerataan pendidikan masih menjadi masalah paling menonjol dalam dunia pendidikan kita. Keduanya masih merupakan pekerjaan rumah yang membutuhkan keseriusan semua pihak, khususnya political will pemerintah dalam merelokasi anggaran pendidikan secara mendasar.
Pasa sisi lain, tantangan dan perkembangan lingkungan strategis, baik nasional, regional mapun internasional dalam berbagai bidang semakin berat. Cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang informasi dan tranpostasi yang mempunyai dampak sangat dahsyat dalam kehidupan, terbukanya pintu pasar bebas yang memberikan peluang kesempatan persaingan yang sangat ketat, derasnya arus demokratisasi, HAM, isu-isu lingkungan hidup dan lain-lain merupakan tantangan yang harus segera kita jawab agar kita tetap hidup (survive), bahkan kalau bisa kita berusaha memenangkan kompetisi dalam percaturan kehidupan antar bangsa di dunia.
Tentu saja, problematika dan tantangan tersebut di atas sangat tergantung pada visi, misi, strategi, serta kebijakan kependidikan yang diterapkan oleh NU. Setidak-tidaknya, ke depan kita harus sudah memulai melakukan perbaikan penyelenggaraan pendidikan minimal pada aspek kurikulum dan perbaikan kualitas manajemen pendidikan, perbaikan sarana prasarana, tenaga kependidikan serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggraan pendidikan.
Dalam konteks makro, NU-pun terus-menerus berusaha agar dapat meningkatkan kinerjanya untuk berpartisipasi dalam upaya perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia yang berkualitas tinggi. NU juga berupaya untuk meningkatkan kemampuan akademik dan professional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan agar mereka dapat berfungsi secara optimal dalam hal peningkatan watak dan akhlakul karimah.
Selain itu, NU secara serius sedang melakukan kegiatan-kegiatan pemberdayaan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap dan kemampuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar