div id='fb-root'/>
  • CAKNUN.
  • Bersama Zastrow el-ngatawi
  • Jombang 1-5 Agustus 2015.

Selasa, 01 September 2015

Nusantara dalam Rangkulan Islam

Nusantara adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kepulauan Indonesia yang merentang di wilayah tropis dari Sumatra di bagian barat sampai Papua di bagian timur. Inilah wilayah yang tercirikan dengan keanekaragaman geografis, biologis, etnis, bahasa, dan budaya.
nusantara
Kata “nusantara” pertama kali muncul dalam susastra Jawa di abad ke 14 M, yang merujuk pada rangkaian pulau-pulau yang menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Kata “nusantara” sendiri adalah kata benda majemuk yang berasal dari bahasa Jawa Kuna : nusa (pulau) dan antara (terletak di seberang). Dalam kitab “Negarakertagama” yang ditulis sekitar tahun 1365 M, Empu Prapanca – seorang penulis sekaligus pendeta Budhha – menggambarkan wilayah penyusun Nusantara, dengan memasukkan sebagian besar pulau-pulau dalam wilayah Indonesia modern (Sumatra, Jawa, Bali, Kepulauan Sunda Kecil, Kalimantan, Sulawesi, sebagian dari Maluku dan Papua Barat), ditambah wilayah lain yang cukup luas yang saat ini menjadi daerah kekuasaan Malaisya, Singapura, Brunei, dan bagian selatan Filipina. Pada 2010, menurut data Biro Pusat Statistik, wilayah Indonesia sekarang terdiri dari 1.340 kelompok etnik, dengan 2.500 bahasa dan dialek yang berbeda.
Semboyan Indonesia – Bhinneka Tunggal Ika – juga pertama kali digunakan saat masa keemasan Majapahit. Bhinneka berarti “berbeda” atau “beranekaragam”. Kata “neka” dalam bahasa Sansekerta (seperti halnya kata Latin “genus) berarti “jenis”, dan menjadi akar kata dari kata “aneka” dalam Bahasa Indonesia yang bermakna “keragaman”. Tunggal berarti satu. Ika berarti “itu”. Dus, Bhinneka Tunggal Ika secara harfiyah berarti “Berbeda-beda tetapi Tetap Satu jua.” Dalam konteks Indonesia modern, implikasinya meskipun terdapat beragam perbedaan suku, bahasa, budaya, letak geografis dan agama, rakyat Indonesia adalah masyarakat yang satu, sebuah bangsa yang satu – Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemaknaan semboyan ini semestinya memiliki daya lebih meluas dan universal daripada yang nampak sekilas. Faktanya, baik konsep, preseden sejarah maupun realitas spiritual dari Bhinneka Tunggal Ika dapat menjadi model untuk kerukunan antar peradaban yang sebenarnya, juga mampu untuk mengatasi berbagai bahaya yang mengancam kemanusiaan dewasa ini. Di antara bahaya-bahaya terseebut, tentu saja, adalah ISIS (Islamic State of Iraq and Syria).
Frasa Bhinneka Tunggal Ika pertama kali muncul dalam kakawin Jawa Kuna, yakni “Kakawin Sutasoma.” Kitab susastra yang ditulis pada abad ke 14 oleh Mpu Tantular ini menganjurkan kesepahaman dan toleransi antara penganut Buddha dan Hindu Shiwa?. Frasa ini dapat ditemukan di bab ke 139, baris? ke lima :
RwÄneka dhÄtu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangkang Jinatwa kalawan Åšiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa
Dikisahkan  bahwa Buddha dan Shiva adalah dua substansi (atau entitas) yang berbeda. Keduanya memang berbeda, namun mustahil untuk menyatakan bahwa keduanya berbeda secara mendasar (karena keduanya meyakini adanya Sang Hyang Tunggal).
Sebab esensi (kebenaran) dair Buddha dan esensi (kebenaran) Shiwa adalah Dia Yang Esa (tunggal). Ragam bentuk semesta memang berbeda-beda, namun tetap Satu.
Karena Kebenaran tidak terbagi/mendua ?
Penting untuk dicatat, kemegahan peradaban di kepulauan Hindia Timur (Nusantara) tidaklah dimulai dari kerajaan Majapahit. Bukti-bukti arkeologis serta catatan sejarah lainnya menunjukkan sistem sosio-kultural yang kompleks juga telah berkembang di Nusantara sejak abad ketiga masehi. Dan jauh sebelumnya, relasi ekonomi serta budaya juga telah terbentuk antara penduduk Nusantara dengan masyarakat manca, khususnya India dan Cina. Boom ekonomi yang dirangsang oleh perdagangan jalur laut telah ada semenjak abad pertama masehi (Paul Michael Munoz, 2006), buktinya telah ditemukan banyak sekali koin emas dari masa Romawi Kuno di Nusantara, sebagai tanda perdagangan yang begitu marak saat itu.
Islam NusantaraKarena heterogenitas etnik, bahasa, dan kultur dalam wilayah ini, serta dinamika interaksi antara pelbagai kelompok yang berbeda, masyarakat Nusantara secara alami mengembangkan pandangan dunia yang pluralistik. Pengaruh budaya dan agama dari wilayah mancanegara secara cepat diserap oleh budaya Nusantara yang memang sangat adaptif dan “ramah.” Karenanya, pengamatan Mpu Tantular menyangkut asas Bhinneka Tunggal Ika tidaklah berasal dari ruang hampa. Asas ini menggambarkan kearifan kolektif Nusantara, yang telah berkembang selama berabad-abad dan telah mengakar dalam kultur wilayah geografis yang mengalami silangbudaya dari berbagai peradaban kuno di dunia.
Nilai dari satu kuatrin puisi dalam “Kakawin Sutasoma” sebagaimana dikutip di atas adalah kemampuannya untuk merangkum – sekaligus membantu kita untuk memahami – pandangan dunia yang diyakini oleh peradaban Nusantara secara keseluruhan, yang menjadi dasar bagi pluralisme agama dan toleransi di dalamnya. Bagian puisi ersebut menunjukkan, alam semesta memang berasal dari satu sumber tunggal yang menjadi sumber “esensi spiritual” dalam semua hal. Dalam perspektif ini, bermacam budaya dan agama yang secara sepintas nampak berbeda sebetulnya layaknya beragam warna cahaya yang dibiaskan oleh sebuah prisma, yang bersumber dari cahaya yang tunggal.
Pandangan dunia yang amat bernapas spiritual wajarlah jikalau muncul dalam masyarakat Nusantara. Keragaman kultural serta bahasa yang hadir di wilayah kepulauan Hindia Timur, sangat tidak mungkin menciptakan, apalagi memaksakan, keseragaman kultur, bahasa dan/atau agama dalam wilayah dunia yang lain. Penduduk Nusantara kemudian mengambil simpulan, mereka mesti menerima keragaman ini, sebentuk keragaman yang mesti mereka hadapai dari hari ke hari, dan juga terus berusaha mengasah kemampuan mereka untuk menjaga perdamaian dengan oranglain. Walhasil, mereka memandang bahwa perbedaan budaya dan agama adalah perkara yang niscaya, lalu mereka mengembangkan sebuah peradaban yang menekankan bahwa pencapaian harmoni adalah cara yang paling sangkil untuk menjaga kerukunan dalam lingkungan budaya dan sosial yang kompleks.
Masuknya Islam
Dari abad ke 7 sampai ke 10 M, Islam telah mengakar di kawasan Timur Tengah, juga di kawasan yang membentang dari Spanyol sampai Maroko hingga di kawasan timur India. Islam melahirkan peradaban baru serta karya-karya brilian. Kawasan-kawasan tersebut mengalami proses islamisasi secara bertahap, tentunya Arabisasi pula, di kawasan Mediterania timur, Mesopotamia dan pantai timur Afrika, sebagai hasil dari penaklukan para penguasa Islam.
Dengan kata lain, penaklukan militer menjadi prasyarat esensial, serta pemantik, bagi perkembangan perdaban Islam klasik. Secara cepat Islam meraih supremasi militer dan politik di kawasan Timur Tengah, yang memungkinkan penguasa Muslim untuk menegakkan hukum serta mengatur masyarakat sesuai dengan doktrin dan dogma agama. Atmosfer inilah yang tepatnya membuat ajaran-ajaran klasik (ie. interpretasi agama) Islam berkembang pesat, termasuk di dalamnya aqidah (sistem doktrin dalam Islam yang terkait dengan Ketuhanan); fiqh (serangkaian sistem yurisprudensi klasik Islam); dan tasawwuf (mistisisme dalam Islam, sebagai cara untuk menjelajahi dimensi-dimensi spritiual kehidupan).
Meskipun interpretasi kaum Muslim atas doktrin, dogma, hukum, dan spritualitas sangat beragam; penguasa Muslim (ie.para penakluk) memiliki tanggungjawab untuk menegakkan hukum, yang pada gilirannya membentuk lembaga yang memiliki kekuasaan untuk membuat keseragaman dalam ranah doktrin dan hukum agama, setidaknya dalam parameter “yang dapat diterima.” Karena alasan yang murni politik, pertanyaan tentang “otentisitas” agama menjadi tema perdebatan sengit yang sering terjadi antara berbagai mazhab (ie.interpretasi) Islam. Dalam situasi seperti inilah, sangat tidak mengejutkan jikalau fiqh (seringkali dipadankan dengan Syariat) mendominasi diskursus ini, karena posisi sentralnya untuk penegakan hukum serta penataan relasi antara pelbagai anggota masyarakat.
Bagaimana dengan Nusantara?
Karena miskinnya catatan sejarah saat ini, tidak ada penjelasan yang meyakinkan atas waktu yang pasti dalam proses masuknya Islam di Nusantara. Beberapa catatan sejarah mengisyaratkan bahwa kerajaan Islam telah berdiri di Nusantara pada akhir abad ke 13 sampai abad ke 15 M (termasuk kerajaan Jeumpa, Tambayung, dan Malaka), sebelum proses Islamisasi mendapatkan momentum pentingya di Jawa yakni saat berdirinya Kesultanan Demak.
Sebagai catatan, hampir semua pakar sejarah sepakat bahwa penyebaran Islam di Nusantara melalui proses yang “difusif” dan “adaptif”, dan sebagian besar sangat menghindari metode penaklukan militer. Sebagaimana Hinduisme dan Budhhisme sebelumnya, Islam “menyatu” dan secara bertahap diserap menjadi budaya lokal yang unggul di Nusantara.
Dalam pembedaan yang kontras dengan pelbagai wilayah Islam lain di dunia (dari Spanyol sampai India), tidak ada catatan bahwa fiqh diaplikasikan sebagai sistem legal yang komprehensif di dalam kerajaan-kerajaan di Nusantara. Penyelesaian masalah-masalah hukum (baik pidana maupun perdata) secara umum ditangani melalui hukum lokal atau hukum adat, yang berbeda-berda di tiap wilayah. Sebagai misal, sampai saat ini masyarakat Minangkabau di Sumatra Selatan tetap menganut sistem matrilineal, yang sangat bertentangan dengan sistem patrilineal yang digunakan dalam fiqh mainstream untuk masalah hukum waris. Namun, penerapan hukum adat Minangkabau ini, secara halus dan taksadar, disertai dengan identifikasi diri yang kuat terhadap Islam pada masyarakat Minangkabau secara keseluruhan. Memang, seiring berjalannya waktu hukum adat di seluruh Nusantara telah berbaur, atau diwarnai, oleh pengaruh Islam. Akan tetapi, tetap saja tidak ada penerapan yang sistematis dan komprehensif atas “hukum Islam”,sebagaimana dalam definisi diskursus Islam klasik, dalam kehidupan publik.
Dengan kata lain, Islam dipaksa untuk “menyerah” pada hukum – serta kekuasaan—lokal di Nusantara dengan peradabannya yang sangat pluralistik. Contoh lainnya, masih dari Sumatra Barat, hukum waris dalam Islam yang menguntungkan pihak laki-laki,  tersubordinasikan – atau paling tidak dikompromikan – dengan hukum adat Minang, di mana tanah serta rumah  yang diwariskan melalui garis matrilineal. Islam kemudian mengalami pelenturan dari “disiplin asli”nya. Akan halnya di Jawa, berbagai ritual tradisional diadopsi sebagai “bagian dari Islam” setelah disesuaikan sedikit atau banyak melalui proses asimilasi yang panjang.
Islam yang Terus Belajar
Di kawasan yang didominasi oleh “Islam klasik” – Timur Tengah, Afrika Utara, Persia, dan kawasan Turki serta beberapa wilayah Asia – Islam datang sebagai “hakim” dengan menguasai, menegakkan hukum dan menenyelasaikan persengketaan. Di Nusantara, Islam datang sebagai tamu yang pada gilirannya menjadi bagian dari keluarga. Karena itulah Islam Nusantara menunjukkan karakter yang berbeda, tidak seperti Islam yang muncul di wilayah dunia Muslim lainnya.
Di Timur Tengah misalnya, Islam secara umum dipandang sebagai sistem sosio-religio-politik yang “lengkap”, “final” dan otoritatif, yang tidak memberikan pilihan lain selain menaati aturan konstruksi final tersebut. Di sisi lain, Islam di Nusantara selalu dalam kondisi belajar terus-menerus. Lebih dari 600 tahun, para pemuka agama Nusantara secara berhati-hati mempelajari realitas sosial demi memastikan cara paling elegan untuk mencapai tujuan mereka sembari menjaga harmoni dalam masyarakat yang amat plularistik di sini.
Meskipun Islam Nusantara berbeda dengan model Islam di Timur Tengah, ini bukan berarti ia membikin semacam bid’ah. Ulama kenamaan dan para pemimpin Islam di Hindia Timur pun sangat berhati-hati dan waspada dalam memastikan bahwa cara mereka mempraktikkan dan menyebarkan Islam segaris dengan ajaran fundamental dalam Islam; cara tersebut mengikuti tradisi intelektual serta menjaga mata-rantai ikatan keilmuan dengan Islam klasik, serta berakar pada ajaran Islam para mujtahid (para pemimpin mazhab Islam) yang otoritatif dari generasi awal yang hidup di kawasan Timur Tengah.  Dengan kata lain, model Islam Nusantara adalah turunan otentik dari Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, yang dijaga dan diajarkan oleh para ulama otoritatif.
Tugas untuk memastikan otentisitas ajaran Islam, sekaligus menjaga harmoni dengan realitas sosial yang ada, tidak pernah mudah. Ulama Nuasantara secara tradisional menerapkan dua prinsip strategis untuk melaksanakan hal ini.
Pertama, memastikan fokus yang berimbang dalam perhatian terhadap dimensi spiritial Islam (tasawwuf), agar semangat utama agama, sebagai sumber dari cinta dan kasih sayang universal, tidak terabaikan saat memberikan keputusan hukum (fatwa)yang berkaitan dengan norma formal dalam hukum Islam.
Ulama Nusantara memperkenalkan mistisisme (tasawuf) dan pelbagai jenis persaudaraan spiritual (tarekat) yang didirikan oleh para ulama pendahulu di Timur Tengah kepada komunitas lokal di seluruh kepulauan Hindia Timur. Ajaran mistisisme Islam ini mendapatkan respon yang hangat dari penduduk lokal dan kemudian menjadi wajah yang mencirikan Islam Nusantara.
Faktanya, mistisisme Islam menjadi penarik utama bagi komunitas lokal Nusantara, karena ajaran ini sejalan dengan tradisi mistik yang mendominasi kawasan ini. Dalam sebuah artikel di Strategic Review yang berjudul “Ide Besar dari Indonesia : Menyelesaikan Perdebatan Global yang Pahit atas Islam” KH. A. Mustofa Bisri dan C. Holland Taylor mendeskripsikan elemen-elemen mistisisme Islam yang telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari orientasi spiritual/warisan budaya Nusantara dan yang membentuk karakter dasar Nusantara.
Dua kutipan pendek ini tepat untuk memberikan ilustrasi bahwa konsep Bhinneka Tunggal Ika dari Mpu Tantular bersifat paralel dengan pandangan dunia dari penyair dan mistikus Islam kenamaan. Mistikus Persia Jalaluddin Rumi (1207-1273) menyatakan:
Perbedaan di antara manusia berasal dari nama; sementara saat engkau mencapai makna maka engkau meraih kedamaian. Wahai inti dari segala yang ada! Adalah karena sudut pandang, maka ada perbedaan antara seorang Muslim, Zoroaster, dan Yahudi. … Setiap nabi dan setiap orang suci memiliki jalannya sendiri, tetapi tiap jalan itu menuju Tuhan; semua jalan itu sesungguhnya adalah satu. Ibnu Arabi (1165-1240), seorang sufi kelahiran Spanyol yang dijuluki sebagai Syaikhul Akbar, Sang Guru Utama, menyampaikan pandangan serupa saat beliau menulis:
Hatiku mampu menjadi berbagai bentuk; hatiku adalah hamparan rumputan bagi para kijang dan tempat peristirahatan bagi para pendeta Kristen, dan kuil bagi para berhala, dan perjalanan ibadah menuju Ka’bah, dan lembar-lembar Taurat, serta kitab Al Qur’an. Aku memeluk agama Cinta, kemana pun sang unta membawaku. Agama dan kepercayaanku adalah agama yang sebenarnya.
Keduanya, Jalaluddin Ruid an Ibnu Arabi, adalah tokoh yang paling otoritatif dalam spriritualitas dan mistisisme Islam.
Jelaslah bahwa pandangan spiritual di atas memberikan “legitimasi dan perlindungan doktrinal” yang tidak hanya memperbolehkan tetapi juga menganjurkan partisipasi umat Islam dalam masyarakat yang sangat pluralistik. Pandangan tersebut juga memberikan ketentraman psikologis serta emosional bagi umat Islam, yang mungkin saja merasa terganggu dengan penolakan golongan lain terhadap dakwah Islam atau keengganan mereka untuk mengadopsi ajaran formal serta ritual dalam Islam. Menurut pemahaman mereka terhadap Islam sebagai “juru selamat,” Ulama Nusantara memandang dakwah sebagai sebuah usaha untuk “menyelamatkan” oranglain, yang hanya akan terjadi jikalau orang tersebut juga bersedia dan rela. Jika mereka tidak bersedia, para pendakwah tidak memiliki tanggungjawab atas keputusan orang tersebut untuk memilih jalan hidup yang lain.
Selanjutnya, strategi kedua adalah menempatkan Islam sebagai penduduk yang setara dalam masyarakat yang sangat plural, alih-alih sebagai penduduk khusus atau pembawa kekerasan, atau sebagai ideologi suprematif. Ulama Nusantara umumnya meyakini bahwa urusan publik semestinya ditangani atas dasar kerelaan semua pihak yang terlibat. Di Nusantara, para pemimpin Islam sangat jarang terbebani oleh ekspektasi atau permintaan untuk menegakkan hukum Islam terhadap pemeluk agama dan keyakinan lain.
Ulama Nusantara secari kreatif mencari “ruang manuver” terkait hukum syariat, agar tetap terlibat secara dekat dengan lingkungan sosial yang lebih luas, tanpa mengabaikan keterikatan dengan, atau praktik dari, syariat itu sendiri. Dalam kasus tradisi Minangkau sebagaimana disebutkan di atas, ulama menerapkan hukuman syariat terkait pembagian warisan sesuai dengan konsensus yang tercapai diantara para ahli waris. Dalam kasus ini, hukum adat yang bertentangan dengan fiqh diposisikan dalam wilayah konsensus.
Pendekatan hukum Islam seperti inilah yang menjadi dasar bagi ulama Nusantara untuk menerima Republik Indonesia yang merupakan negara sekuler dan menolak apa yang seringkali disebut negara Islam atau kekhalifahan. Karena Islam hadir di bumi Nusantara sebagai tamu terhormat, bukannya penakluk, umat Islam secara umum menerima fakta bahwa mereka bukanlah satu-satunya pihak yang ditakdirkan untuk menentukan nasib masyarakat secara keseluruhan. Sistem politik di Nusantara – dan secara khusus relasi antara agama dan negara – secara tradisional telah mencerminkan konsensus di antara para pemegang kepentingan. Bahkan kerajaan Islam seperti Jeumpa, Tambayung dan Mataram pun tercatat sebagai produk konsensus antara pemegang hukum adat, alih-alih sebagai pelembagaan dari “negara Islam.”
Secara umum, dapat dinyatakan bahawa kemampuan ulama Nusantara untuk beradaptasi dengan realitas sosial tanpa mengabaikan kepatuhan mereka terhadap syariat berakar dari fakta bahwa mereka telah menguasai dan mumpuni dalam bidang syariat, tidak hanya syariat dalam arti kumpulan hukum-hukum Islam tetapi sebagai dasar teori hukum. Islam mengajarkan bahwa hukum harus didasarkan pada petunjuk Tuhan.
Akan tetapi, Islam juga mengajarkan bahwa dalam memberikan petunjuk, tujuan Tuhan bukanlah untuk kepentingan-Nya sendiri. Tuhan memberikan petunjuk demi kebaikan manusia. Karena itulah, apapun yang baik untuk kemanusiaan adalah sejalan dengan “tujuan” Tuhan, dan tentunya tujuan syariat itu sendiri.
Pemurnian Ajaran Agama
Apapun asal suku atau wilayahnya, para penakluk (penjajah) biasanya memiliki kekhawatiran dan kecenderungan perilaku yang sama untuk mementingkan kepentingan mereka sendiri. Ciri paling fundamental dari keinginan tersebut adalah dengan menerapkan hukum mereka, dengan berhadapan langsung atau dengan resistensi laten dari mereka yang ditaklukkan. Makanya, sangat logis kalau seorang penakluk cenderung untuk bersikap represif.
Hukum Islam klasik (fiqh) dipenuhi dengan aturan-aturan represif semacam ini. satu dari beberapa contoh dramatis dapat ditemukan dalam kitab “Kifayatul Akhyar” karya Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad al Husaini al Husni pada abad 14 M. Di antara pelbagai aturan hukum Islam yang dikutip dalam kitab ni adalah perintah eksplisit untuk melakukan diskriminasi terhadap non-Muslim.
Di Nusantara, Islam tidak pernah menanggung beban untuk menerapkan perintah tersebut. Karena tidak adanya penjajah dari mancanegara, maka tidak ada pula ancaman dari agama lain. Karenanya, pada abad 16 M Kesultanan Demak, ketua penasihat agama dari sultan Demak, yaitu Ja’far Sadiq Amatkhan yang terkenal sebagai Sunan Kudus, melarang umat Islam menyembelih sapi dalam wilayah teritorial Kudus (Jawa Tengah), karena penghormatan beliau terhadap kepercayaan agama Hindu akan kesucian binatang tersebut.
Salah satu penyebar awal Islam di Jawa, Raden ‘Ainun Yaqin, yang dikenal sebagai Sunan Giri, adalah tokoh yang amat gigih menerapkan hukum Islam diantara ulama segenerasinya karena kepakarannya dalam syariat. Namun, yang paling diingat dari Sunan Giri adalah, yang tidak akan pernah terlupakan saat membincangkan beliau, ajarannya yang menjadi inskripsi batu nisan beliau di Jawa Timur:
Wenehana mangan marang wong kang luwe.
Wenehana sandangan marang wong kang wuda.
Wenehana payung marang wong kang kudanan.
Wenehana teken marang wong kang wuta.
(Berilah makan pada mereka yang lapar
Berilah pakaian pada mereka yang telanjang
Berilah tempat berteduh pada mereka yang kehujanan
Berilah tongkat pada mereka yang buta)
Secara umum, narasi Islam yang telah lama bertahan di Nusantara diorientasikan lebih kepada ruh, alih-alih teks, dari hukum. Fiqh (Jurisprudensi Islam, sebagai instrumen untuk menjaga keteraturan) tidak dipandang mendesak karena menjaga keteraturan masyarakat bukanlah tantangan paling krusial bagi masyarakat atau para penguasa. Kuatnya dorongan kultural untuk mencapai harmoni berfungsi sebagai fondasi utama, dan penjamin, dari keteraturan dalam masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, instrumen hukum yang detail serta canggih tidak diperlukan, begitu pula dengan pemaksaan penegakan hukum tersebut. Kondisi ini memungkinkan para penyebar agama untuk mendalami serta menyelami inti dari ajaran agama, yakni spiritualitas dan etika.
Peradaban yang Harmonis, Agama Kasih Sayang
Selama hampir 2.000 tahun, peradaban Nusantara telah melewati eksperimentasi yang unik serta pengalaman langsung terkait kemampuan manusia untuk hidup secara damai di tengah keragaman. Peradaban Nusantara adalah tentang mementingkan harmoni dengan oranglain, di atas kepentingan pribadi; kepercayaan diri secara spiritual, yang memungkinkan seseorang untuk mengalami serta merangkul ide-ide dan ajaran-ajaran baru; menumbuhkan karakter sederhana, alih-alih hanya mengejar pencapaian materi; juga menyadari bahwa perbedaan pendapat (dan agama) bukanlah perkara yang berbahaya.
Hampir semua agama masuk ke Nusantara tanpa mengalami resistensi. Penduduk Nusantara bebas memeluk agama apapun yang cocok bagi mereka, dan untuk mengabaikan sebuah agama tanpa menyakiti, jikalau mereka menghendakinya. Dan semua orang yang menjadi warga dari kehidupan komunal yang kita alami bersama adalah bagian dari kesatuan yang tak terpecahbelah, apapun perbedaan lahiriah yang mungkin ada: Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam peradaban Nusantara, Islam menemukan “surga”-nya. Islam Nusantara tidak dibebani kekhawatiran duniawi semacam pemberontakan atau ancaman internal dan eksternal. Islam Nusantara juga diberkahi kebebasan dari penyalahgunaan sebagai kendaraan dalam sebuah konflik, karena agama Nusantara jarang sekali dijadikan penyebab dari suatu pertikaian. Islam, karena itu, menikmati kemungkinan yang amat luas untuk terlibat dalam dialog yang ramah, dengan realitas sosial dan sejarah.
Dalam atmosfer yang tak terpolitisasi ini, Islam telah membuktikan keberhasilan dalam membumikan ajaran intinya dalam kehidupan masyarakat Nusantara dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di dunia. Hal ini karena kesediaan Islam Nusantara untuk berempati terhadap “liyan” dan terlibat dalam dialog dengan realitas, alih-alih memaksakan pemahamannya terhadap realitas dengan kekerasan. Keberhasilan Islam Nusantara juga disebabkan oleh keyakinannya bahwa agama mesti digunakan sebagai jalan menuju pencerahan jiwa manusia, dan syariat mesti ditegakkan demi menyangga kebahagiaan manusia alih-alih sebagai alat represif dari kekuasaan. Di Nusantara, Islam memiliki kebebasannya untuk menjalankan perintah Al Qur’an : sebagai sumber cinta dan rahmat bagi seluruh alam.
Dalam masa kita ini, baik peradaban Nusantara dan pelbagai golongan Islam yang telah lama tumbuh sedang mengalami kemunduran. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai macam tekanan yang berasal dari globalisasi, termasuk di dalamnya penyebaran berbagai paham Islam yang sarat politik dan penuh gairah untuk memaksa pemahamannya atas Islam. Ingatan yang hendak saya pantik dalam tulisan ini – tentang kemegahan peradaban Nusantara dan ekspresi Islamnya yang unik – layaknya dilihat sebagai permohonan uluran tangan.
Tulisan ini juga semacam pengingat dan tawaran bagi dunia – undangan untuk mengisi kehidupan sosial, budaya, politik, dan agama dengan cinta dan keindahan spiritual. Adalah keagungan cinta dan keindahan yang ada tepat di jantung visi dari kerukunan antar peradaban. Dan itulah yang adalah dalam jangkauan kita, sebuah visi yang mesti kita pilih untuk menjadikannya nyata. (ISNU/Nu.or.id)
Penulis : KH Yahya Cholil Staquf, Rais Syuriyah PBNU

Tidak ada komentar: