Kata
“nusantara” pertama kali muncul dalam susastra Jawa di abad ke 14 M,
yang merujuk pada rangkaian pulau-pulau yang menjadi wilayah kekuasaan
Kerajaan Majapahit.
Kata “nusantara” sendiri adalah kata
benda majemuk yang berasal dari bahasa Jawa Kuna : nusa (pulau) dan
antara (terletak di seberang). Dalam kitab “Negarakertagama” yang
ditulis sekitar tahun 1365 M, Empu Prapanca – seorang penulis sekaligus
pendeta Budhha – menggambarkan wilayah penyusun Nusantara, dengan
memasukkan sebagian besar pulau-pulau dalam wilayah Indonesia modern
(Sumatra, Jawa, Bali, Kepulauan Sunda Kecil, Kalimantan, Sulawesi,
sebagian dari Maluku dan Papua Barat), ditambah wilayah lain yang cukup
luas yang saat ini menjadi daerah kekuasaan Malaisya, Singapura, Brunei,
dan bagian selatan Filipina. Pada 2010, menurut data Biro Pusat
Statistik, wilayah Indonesia sekarang terdiri dari 1.340 kelompok etnik,
dengan 2.500 bahasa dan dialek yang berbeda.
Semboyan Indonesia – Bhinneka Tunggal
Ika – juga pertama kali digunakan saat masa keemasan Majapahit. Bhinneka
berarti “berbeda” atau “beranekaragam”. Kata “neka” dalam bahasa
Sansekerta (seperti halnya kata Latin “genus) berarti “jenis”, dan
menjadi akar kata dari kata “aneka” dalam Bahasa Indonesia yang bermakna
“keragaman”. Tunggal berarti satu. Ika berarti “itu”. Dus, Bhinneka
Tunggal Ika secara harfiyah berarti “Berbeda-beda tetapi Tetap Satu
jua.” Dalam konteks Indonesia modern, implikasinya meskipun terdapat
beragam perbedaan suku, bahasa, budaya, letak geografis dan agama,
rakyat Indonesia adalah masyarakat yang satu, sebuah bangsa yang satu –
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemaknaan semboyan ini semestinya memiliki daya lebih meluas dan universal daripada yang nampak sekilas. Faktanya, baik konsep, preseden sejarah maupun realitas spiritual dari Bhinneka Tunggal Ika dapat menjadi model untuk kerukunan antar peradaban yang sebenarnya, juga mampu untuk mengatasi berbagai bahaya yang mengancam kemanusiaan dewasa ini. Di antara bahaya-bahaya terseebut, tentu saja, adalah ISIS (Islamic State of Iraq and Syria).
Frasa Bhinneka Tunggal Ika pertama kali
muncul dalam kakawin Jawa Kuna, yakni “Kakawin Sutasoma.” Kitab susastra
yang ditulis pada abad ke 14 oleh Mpu Tantular ini menganjurkan
kesepahaman dan toleransi antara penganut Buddha dan Hindu Shiwa?. Frasa
ini dapat ditemukan di bab ke 139, baris? ke lima :
RwÄneka dhÄtu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangkang Jinatwa kalawan Åšiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa
Dikisahkan bahwa Buddha dan Shiva
adalah dua substansi (atau entitas) yang berbeda. Keduanya memang
berbeda, namun mustahil untuk menyatakan bahwa keduanya berbeda secara
mendasar (karena keduanya meyakini adanya Sang Hyang Tunggal).
Sebab esensi (kebenaran) dair Buddha dan
esensi (kebenaran) Shiwa adalah Dia Yang Esa (tunggal). Ragam bentuk
semesta memang berbeda-beda, namun tetap Satu.
Karena Kebenaran tidak terbagi/mendua ?
Penting untuk dicatat, kemegahan
peradaban di kepulauan Hindia Timur (Nusantara) tidaklah dimulai dari
kerajaan Majapahit. Bukti-bukti arkeologis serta catatan sejarah lainnya
menunjukkan sistem sosio-kultural yang kompleks juga telah berkembang
di Nusantara sejak abad ketiga masehi. Dan jauh sebelumnya, relasi
ekonomi serta budaya juga telah terbentuk antara penduduk Nusantara
dengan masyarakat manca, khususnya India dan Cina. Boom ekonomi yang
dirangsang oleh perdagangan jalur laut telah ada semenjak abad pertama
masehi (Paul Michael Munoz, 2006), buktinya telah ditemukan banyak
sekali koin emas dari masa Romawi Kuno di Nusantara, sebagai tanda
perdagangan yang begitu marak saat itu.
Karena
heterogenitas etnik, bahasa, dan kultur dalam wilayah ini, serta
dinamika interaksi antara pelbagai kelompok yang berbeda, masyarakat
Nusantara secara alami mengembangkan pandangan dunia yang pluralistik.
Pengaruh budaya dan agama dari wilayah mancanegara secara cepat diserap
oleh budaya Nusantara yang memang sangat adaptif dan “ramah.” Karenanya,
pengamatan Mpu Tantular menyangkut asas Bhinneka Tunggal Ika tidaklah
berasal dari ruang hampa. Asas ini menggambarkan kearifan kolektif
Nusantara, yang telah berkembang selama berabad-abad dan telah mengakar
dalam kultur wilayah geografis yang mengalami silangbudaya dari berbagai
peradaban kuno di dunia.
Nilai dari satu kuatrin puisi dalam
“Kakawin Sutasoma” sebagaimana dikutip di atas adalah kemampuannya untuk
merangkum – sekaligus membantu kita untuk memahami – pandangan dunia
yang diyakini oleh peradaban Nusantara secara keseluruhan, yang menjadi
dasar bagi pluralisme agama dan toleransi di dalamnya. Bagian puisi
ersebut menunjukkan, alam semesta memang berasal dari satu sumber
tunggal yang menjadi sumber “esensi spiritual” dalam semua hal. Dalam
perspektif ini, bermacam budaya dan agama yang secara sepintas nampak
berbeda sebetulnya layaknya beragam warna cahaya yang dibiaskan oleh
sebuah prisma, yang bersumber dari cahaya yang tunggal.
Pandangan dunia yang amat bernapas
spiritual wajarlah jikalau muncul dalam masyarakat Nusantara. Keragaman
kultural serta bahasa yang hadir di wilayah kepulauan Hindia Timur,
sangat tidak mungkin menciptakan, apalagi memaksakan, keseragaman
kultur, bahasa dan/atau agama dalam wilayah dunia yang lain. Penduduk
Nusantara kemudian mengambil simpulan, mereka mesti menerima keragaman
ini, sebentuk keragaman yang mesti mereka hadapai dari hari ke hari, dan
juga terus berusaha mengasah kemampuan mereka untuk menjaga perdamaian
dengan oranglain. Walhasil, mereka memandang bahwa perbedaan budaya dan
agama adalah perkara yang niscaya, lalu mereka mengembangkan sebuah
peradaban yang menekankan bahwa pencapaian harmoni adalah cara yang
paling sangkil untuk menjaga kerukunan dalam lingkungan budaya dan
sosial yang kompleks.
Masuknya Islam
Dari abad ke 7 sampai ke 10 M, Islam
telah mengakar di kawasan Timur Tengah, juga di kawasan yang membentang
dari Spanyol sampai Maroko hingga di kawasan timur India. Islam
melahirkan peradaban baru serta karya-karya brilian. Kawasan-kawasan
tersebut mengalami proses islamisasi secara bertahap, tentunya Arabisasi
pula, di kawasan Mediterania timur, Mesopotamia dan pantai timur
Afrika, sebagai hasil dari penaklukan para penguasa Islam.
Dengan kata lain, penaklukan militer
menjadi prasyarat esensial, serta pemantik, bagi perkembangan perdaban
Islam klasik. Secara cepat Islam meraih supremasi militer dan politik di
kawasan Timur Tengah, yang memungkinkan penguasa Muslim untuk
menegakkan hukum serta mengatur masyarakat sesuai dengan doktrin dan
dogma agama. Atmosfer inilah yang tepatnya membuat ajaran-ajaran klasik
(ie. interpretasi agama) Islam berkembang pesat, termasuk di dalamnya
aqidah (sistem doktrin dalam Islam yang terkait dengan Ketuhanan); fiqh
(serangkaian sistem yurisprudensi klasik Islam); dan tasawwuf
(mistisisme dalam Islam, sebagai cara untuk menjelajahi dimensi-dimensi
spritiual kehidupan).
Meskipun interpretasi kaum Muslim atas
doktrin, dogma, hukum, dan spritualitas sangat beragam; penguasa Muslim
(ie.para penakluk) memiliki tanggungjawab untuk menegakkan hukum, yang
pada gilirannya membentuk lembaga yang memiliki kekuasaan untuk membuat
keseragaman dalam ranah doktrin dan hukum agama, setidaknya dalam
parameter “yang dapat diterima.” Karena alasan yang murni politik,
pertanyaan tentang “otentisitas” agama menjadi tema perdebatan sengit
yang sering terjadi antara berbagai mazhab (ie.interpretasi) Islam.
Dalam situasi seperti inilah, sangat tidak mengejutkan jikalau fiqh
(seringkali dipadankan dengan Syariat) mendominasi diskursus ini, karena
posisi sentralnya untuk penegakan hukum serta penataan relasi antara
pelbagai anggota masyarakat.
Bagaimana dengan Nusantara?
Karena miskinnya catatan sejarah saat
ini, tidak ada penjelasan yang meyakinkan atas waktu yang pasti dalam
proses masuknya Islam di Nusantara. Beberapa catatan sejarah
mengisyaratkan bahwa kerajaan Islam telah berdiri di Nusantara pada
akhir abad ke 13 sampai abad ke 15 M (termasuk kerajaan Jeumpa,
Tambayung, dan Malaka), sebelum proses Islamisasi mendapatkan momentum
pentingya di Jawa yakni saat berdirinya Kesultanan Demak.
Sebagai catatan, hampir semua pakar
sejarah sepakat bahwa penyebaran Islam di Nusantara melalui proses yang
“difusif” dan “adaptif”, dan sebagian besar sangat menghindari metode
penaklukan militer. Sebagaimana Hinduisme dan Budhhisme sebelumnya,
Islam “menyatu” dan secara bertahap diserap menjadi budaya lokal yang
unggul di Nusantara.
Dalam pembedaan yang kontras dengan
pelbagai wilayah Islam lain di dunia (dari Spanyol sampai India), tidak
ada catatan bahwa fiqh diaplikasikan sebagai sistem legal yang
komprehensif di dalam kerajaan-kerajaan di Nusantara. Penyelesaian
masalah-masalah hukum (baik pidana maupun perdata) secara umum ditangani
melalui hukum lokal atau hukum adat, yang berbeda-berda di tiap
wilayah. Sebagai misal, sampai saat ini masyarakat Minangkabau di
Sumatra Selatan tetap menganut sistem matrilineal, yang sangat
bertentangan dengan sistem patrilineal yang digunakan dalam fiqh
mainstream untuk masalah hukum waris. Namun, penerapan hukum adat
Minangkabau ini, secara halus dan taksadar, disertai dengan identifikasi
diri yang kuat terhadap Islam pada masyarakat Minangkabau secara
keseluruhan. Memang, seiring berjalannya waktu hukum adat di seluruh
Nusantara telah berbaur, atau diwarnai, oleh pengaruh Islam. Akan
tetapi, tetap saja tidak ada penerapan yang sistematis dan komprehensif
atas “hukum Islam”,sebagaimana dalam definisi diskursus Islam klasik,
dalam kehidupan publik.
Dengan kata lain, Islam dipaksa untuk
“menyerah” pada hukum – serta kekuasaan—lokal di Nusantara dengan
peradabannya yang sangat pluralistik. Contoh lainnya, masih dari Sumatra
Barat, hukum waris dalam Islam yang menguntungkan pihak laki-laki,
tersubordinasikan – atau paling tidak dikompromikan – dengan hukum adat
Minang, di mana tanah serta rumah yang diwariskan melalui garis
matrilineal. Islam kemudian mengalami pelenturan dari “disiplin
asli”nya. Akan halnya di Jawa, berbagai ritual tradisional diadopsi
sebagai “bagian dari Islam” setelah disesuaikan sedikit atau banyak
melalui proses asimilasi yang panjang.
Islam yang Terus Belajar
Di kawasan yang didominasi oleh “Islam
klasik” – Timur Tengah, Afrika Utara, Persia, dan kawasan Turki serta
beberapa wilayah Asia – Islam datang sebagai “hakim” dengan menguasai,
menegakkan hukum dan menenyelasaikan persengketaan. Di Nusantara, Islam
datang sebagai tamu yang pada gilirannya menjadi bagian dari keluarga.
Karena itulah Islam Nusantara menunjukkan karakter yang berbeda, tidak
seperti Islam yang muncul di wilayah dunia Muslim lainnya.
Di Timur Tengah misalnya, Islam secara
umum dipandang sebagai sistem sosio-religio-politik yang “lengkap”,
“final” dan otoritatif, yang tidak memberikan pilihan lain selain
menaati aturan konstruksi final tersebut. Di sisi lain, Islam di
Nusantara selalu dalam kondisi belajar terus-menerus. Lebih dari 600
tahun, para pemuka agama Nusantara secara berhati-hati mempelajari
realitas sosial demi memastikan cara paling elegan untuk mencapai tujuan
mereka sembari menjaga harmoni dalam masyarakat yang amat plularistik
di sini.
Meskipun Islam Nusantara berbeda dengan model Islam di Timur Tengah, ini bukan berarti ia membikin semacam bid’ah. Ulama kenamaan dan para pemimpin Islam di Hindia Timur pun sangat berhati-hati dan waspada dalam memastikan bahwa cara mereka mempraktikkan dan menyebarkan Islam segaris dengan ajaran fundamental dalam Islam; cara tersebut mengikuti tradisi intelektual serta menjaga mata-rantai ikatan keilmuan dengan Islam klasik, serta berakar pada ajaran Islam para mujtahid (para pemimpin mazhab Islam) yang otoritatif dari generasi awal yang hidup di kawasan Timur Tengah. Dengan kata lain, model Islam Nusantara adalah turunan otentik dari Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, yang dijaga dan diajarkan oleh para ulama otoritatif.
Tugas untuk memastikan otentisitas
ajaran Islam, sekaligus menjaga harmoni dengan realitas sosial yang ada,
tidak pernah mudah. Ulama Nuasantara secara tradisional menerapkan dua
prinsip strategis untuk melaksanakan hal ini.
Pertama, memastikan fokus yang berimbang
dalam perhatian terhadap dimensi spiritial Islam (tasawwuf), agar
semangat utama agama, sebagai sumber dari cinta dan kasih sayang
universal, tidak terabaikan saat memberikan keputusan hukum (fatwa)yang
berkaitan dengan norma formal dalam hukum Islam.
Ulama Nusantara memperkenalkan
mistisisme (tasawuf) dan pelbagai jenis persaudaraan spiritual (tarekat)
yang didirikan oleh para ulama pendahulu di Timur Tengah kepada
komunitas lokal di seluruh kepulauan Hindia Timur. Ajaran mistisisme
Islam ini mendapatkan respon yang hangat dari penduduk lokal dan
kemudian menjadi wajah yang mencirikan Islam Nusantara.
Faktanya, mistisisme Islam menjadi
penarik utama bagi komunitas lokal Nusantara, karena ajaran ini sejalan
dengan tradisi mistik yang mendominasi kawasan ini. Dalam sebuah artikel
di Strategic Review yang berjudul “Ide Besar dari Indonesia :
Menyelesaikan Perdebatan Global yang Pahit atas Islam” KH. A. Mustofa
Bisri dan C. Holland Taylor mendeskripsikan elemen-elemen mistisisme
Islam yang telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari orientasi
spiritual/warisan budaya Nusantara dan yang membentuk karakter dasar
Nusantara.
Dua kutipan pendek ini tepat untuk
memberikan ilustrasi bahwa konsep Bhinneka Tunggal Ika dari Mpu Tantular
bersifat paralel dengan pandangan dunia dari penyair dan mistikus Islam
kenamaan. Mistikus Persia Jalaluddin Rumi (1207-1273) menyatakan:
Perbedaan di antara manusia berasal dari
nama; sementara saat engkau mencapai makna maka engkau meraih
kedamaian. Wahai inti dari segala yang ada! Adalah karena sudut pandang,
maka ada perbedaan antara seorang Muslim, Zoroaster, dan Yahudi. …
Setiap nabi dan setiap orang suci memiliki jalannya sendiri, tetapi tiap
jalan itu menuju Tuhan; semua jalan itu sesungguhnya adalah satu. Ibnu
Arabi (1165-1240), seorang sufi kelahiran Spanyol yang dijuluki sebagai
Syaikhul Akbar, Sang Guru Utama, menyampaikan pandangan serupa saat
beliau menulis:
Hatiku mampu menjadi berbagai bentuk;
hatiku adalah hamparan rumputan bagi para kijang dan tempat
peristirahatan bagi para pendeta Kristen, dan kuil bagi para berhala,
dan perjalanan ibadah menuju Ka’bah, dan lembar-lembar Taurat, serta
kitab Al Qur’an. Aku memeluk agama Cinta, kemana pun sang unta
membawaku. Agama dan kepercayaanku adalah agama yang sebenarnya.
Keduanya, Jalaluddin Ruid an Ibnu Arabi, adalah tokoh yang paling otoritatif dalam spriritualitas dan mistisisme Islam.
Jelaslah bahwa pandangan spiritual di
atas memberikan “legitimasi dan perlindungan doktrinal” yang tidak hanya
memperbolehkan tetapi juga menganjurkan partisipasi umat Islam dalam
masyarakat yang sangat pluralistik. Pandangan tersebut juga memberikan
ketentraman psikologis serta emosional bagi umat Islam, yang mungkin
saja merasa terganggu dengan penolakan golongan lain terhadap dakwah
Islam atau keengganan mereka untuk mengadopsi ajaran formal serta ritual
dalam Islam. Menurut pemahaman mereka terhadap Islam sebagai “juru
selamat,” Ulama Nusantara memandang dakwah sebagai sebuah usaha untuk
“menyelamatkan” oranglain, yang hanya akan terjadi jikalau orang
tersebut juga bersedia dan rela. Jika mereka tidak bersedia, para
pendakwah tidak memiliki tanggungjawab atas keputusan orang tersebut
untuk memilih jalan hidup yang lain.
Selanjutnya, strategi kedua adalah
menempatkan Islam sebagai penduduk yang setara dalam masyarakat yang
sangat plural, alih-alih sebagai penduduk khusus atau pembawa kekerasan,
atau sebagai ideologi suprematif. Ulama Nusantara umumnya meyakini
bahwa urusan publik semestinya ditangani atas dasar kerelaan semua pihak
yang terlibat. Di Nusantara, para pemimpin Islam sangat jarang
terbebani oleh ekspektasi atau permintaan untuk menegakkan hukum Islam
terhadap pemeluk agama dan keyakinan lain.
Ulama Nusantara secari kreatif mencari
“ruang manuver” terkait hukum syariat, agar tetap terlibat secara dekat
dengan lingkungan sosial yang lebih luas, tanpa mengabaikan keterikatan
dengan, atau praktik dari, syariat itu sendiri. Dalam kasus tradisi
Minangkau sebagaimana disebutkan di atas, ulama menerapkan hukuman
syariat terkait pembagian warisan sesuai dengan konsensus yang tercapai
diantara para ahli waris. Dalam kasus ini, hukum adat yang bertentangan
dengan fiqh diposisikan dalam wilayah konsensus.
Pendekatan hukum Islam seperti inilah
yang menjadi dasar bagi ulama Nusantara untuk menerima Republik
Indonesia yang merupakan negara sekuler dan menolak apa yang seringkali
disebut negara Islam atau kekhalifahan. Karena Islam hadir di bumi
Nusantara sebagai tamu terhormat, bukannya penakluk, umat Islam secara
umum menerima fakta bahwa mereka bukanlah satu-satunya pihak yang
ditakdirkan untuk menentukan nasib masyarakat secara keseluruhan. Sistem
politik di Nusantara – dan secara khusus relasi antara agama dan negara
– secara tradisional telah mencerminkan konsensus di antara para
pemegang kepentingan. Bahkan kerajaan Islam seperti Jeumpa, Tambayung
dan Mataram pun tercatat sebagai produk konsensus antara pemegang hukum
adat, alih-alih sebagai pelembagaan dari “negara Islam.”
Secara umum, dapat dinyatakan bahawa kemampuan ulama Nusantara untuk beradaptasi dengan realitas sosial tanpa mengabaikan kepatuhan mereka terhadap syariat berakar dari fakta bahwa mereka telah menguasai dan mumpuni dalam bidang syariat, tidak hanya syariat dalam arti kumpulan hukum-hukum Islam tetapi sebagai dasar teori hukum. Islam mengajarkan bahwa hukum harus didasarkan pada petunjuk Tuhan.
Akan tetapi, Islam juga mengajarkan
bahwa dalam memberikan petunjuk, tujuan Tuhan bukanlah untuk
kepentingan-Nya sendiri. Tuhan memberikan petunjuk demi kebaikan
manusia. Karena itulah, apapun yang baik untuk kemanusiaan adalah
sejalan dengan “tujuan” Tuhan, dan tentunya tujuan syariat itu sendiri.
Pemurnian Ajaran Agama
Apapun asal suku atau wilayahnya, para
penakluk (penjajah) biasanya memiliki kekhawatiran dan kecenderungan
perilaku yang sama untuk mementingkan kepentingan mereka sendiri. Ciri
paling fundamental dari keinginan tersebut adalah dengan menerapkan
hukum mereka, dengan berhadapan langsung atau dengan resistensi laten
dari mereka yang ditaklukkan. Makanya, sangat logis kalau seorang
penakluk cenderung untuk bersikap represif.
Hukum Islam klasik (fiqh) dipenuhi
dengan aturan-aturan represif semacam ini. satu dari beberapa contoh
dramatis dapat ditemukan dalam kitab “Kifayatul Akhyar” karya Taqiyuddin
Abu Bakr bin Muhammad al Husaini al Husni pada abad 14 M. Di antara
pelbagai aturan hukum Islam yang dikutip dalam kitab ni adalah perintah
eksplisit untuk melakukan diskriminasi terhadap non-Muslim.
Di Nusantara, Islam tidak pernah
menanggung beban untuk menerapkan perintah tersebut. Karena tidak adanya
penjajah dari mancanegara, maka tidak ada pula ancaman dari agama lain.
Karenanya, pada abad 16 M Kesultanan Demak, ketua penasihat agama dari
sultan Demak, yaitu Ja’far Sadiq Amatkhan yang terkenal sebagai Sunan
Kudus, melarang umat Islam menyembelih sapi dalam wilayah teritorial
Kudus (Jawa Tengah), karena penghormatan beliau terhadap kepercayaan
agama Hindu akan kesucian binatang tersebut.
Salah satu penyebar awal Islam di Jawa,
Raden ‘Ainun Yaqin, yang dikenal sebagai Sunan Giri, adalah tokoh yang
amat gigih menerapkan hukum Islam diantara ulama segenerasinya karena
kepakarannya dalam syariat. Namun, yang paling diingat dari Sunan Giri
adalah, yang tidak akan pernah terlupakan saat membincangkan beliau,
ajarannya yang menjadi inskripsi batu nisan beliau di Jawa Timur:
Wenehana mangan marang wong kang luwe.
Wenehana sandangan marang wong kang wuda.
Wenehana payung marang wong kang kudanan.
Wenehana teken marang wong kang wuta.
(Berilah makan pada mereka yang lapar
Berilah pakaian pada mereka yang telanjang
Berilah tempat berteduh pada mereka yang kehujanan
Berilah tongkat pada mereka yang buta)
Secara umum, narasi Islam yang telah
lama bertahan di Nusantara diorientasikan lebih kepada ruh, alih-alih
teks, dari hukum. Fiqh (Jurisprudensi Islam, sebagai instrumen untuk
menjaga keteraturan) tidak dipandang mendesak karena menjaga keteraturan
masyarakat bukanlah tantangan paling krusial bagi masyarakat atau para
penguasa. Kuatnya dorongan kultural untuk mencapai harmoni berfungsi
sebagai fondasi utama, dan penjamin, dari keteraturan dalam masyarakat.
Dalam kondisi seperti ini, instrumen hukum yang detail serta canggih
tidak diperlukan, begitu pula dengan pemaksaan penegakan hukum tersebut.
Kondisi ini memungkinkan para penyebar agama untuk mendalami serta
menyelami inti dari ajaran agama, yakni spiritualitas dan etika.
Peradaban yang Harmonis, Agama Kasih Sayang
Selama hampir 2.000 tahun, peradaban
Nusantara telah melewati eksperimentasi yang unik serta pengalaman
langsung terkait kemampuan manusia untuk hidup secara damai di tengah
keragaman. Peradaban Nusantara adalah tentang mementingkan harmoni
dengan oranglain, di atas kepentingan pribadi; kepercayaan diri secara
spiritual, yang memungkinkan seseorang untuk mengalami serta merangkul
ide-ide dan ajaran-ajaran baru; menumbuhkan karakter sederhana,
alih-alih hanya mengejar pencapaian materi; juga menyadari bahwa
perbedaan pendapat (dan agama) bukanlah perkara yang berbahaya.
Hampir semua agama masuk ke Nusantara
tanpa mengalami resistensi. Penduduk Nusantara bebas memeluk agama
apapun yang cocok bagi mereka, dan untuk mengabaikan sebuah agama tanpa
menyakiti, jikalau mereka menghendakinya. Dan semua orang yang menjadi
warga dari kehidupan komunal yang kita alami bersama adalah bagian dari
kesatuan yang tak terpecahbelah, apapun perbedaan lahiriah yang mungkin
ada: Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam peradaban Nusantara, Islam
menemukan “surga”-nya. Islam Nusantara tidak dibebani kekhawatiran
duniawi semacam pemberontakan atau ancaman internal dan eksternal. Islam
Nusantara juga diberkahi kebebasan dari penyalahgunaan sebagai
kendaraan dalam sebuah konflik, karena agama Nusantara jarang sekali
dijadikan penyebab dari suatu pertikaian. Islam, karena itu, menikmati
kemungkinan yang amat luas untuk terlibat dalam dialog yang ramah,
dengan realitas sosial dan sejarah.
Dalam atmosfer yang tak terpolitisasi ini, Islam telah membuktikan keberhasilan dalam membumikan ajaran intinya dalam kehidupan masyarakat Nusantara dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di dunia. Hal ini karena kesediaan Islam Nusantara untuk berempati terhadap “liyan” dan terlibat dalam dialog dengan realitas, alih-alih memaksakan pemahamannya terhadap realitas dengan kekerasan. Keberhasilan Islam Nusantara juga disebabkan oleh keyakinannya bahwa agama mesti digunakan sebagai jalan menuju pencerahan jiwa manusia, dan syariat mesti ditegakkan demi menyangga kebahagiaan manusia alih-alih sebagai alat represif dari kekuasaan. Di Nusantara, Islam memiliki kebebasannya untuk menjalankan perintah Al Qur’an : sebagai sumber cinta dan rahmat bagi seluruh alam.
Dalam masa kita ini, baik peradaban
Nusantara dan pelbagai golongan Islam yang telah lama tumbuh sedang
mengalami kemunduran. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai macam tekanan
yang berasal dari globalisasi, termasuk di dalamnya penyebaran berbagai
paham Islam yang sarat politik dan penuh gairah untuk memaksa
pemahamannya atas Islam. Ingatan yang hendak saya pantik dalam tulisan
ini – tentang kemegahan peradaban Nusantara dan ekspresi Islamnya yang
unik – layaknya dilihat sebagai permohonan uluran tangan.
Tulisan ini juga semacam pengingat dan
tawaran bagi dunia – undangan untuk mengisi kehidupan sosial, budaya,
politik, dan agama dengan cinta dan keindahan spiritual. Adalah
keagungan cinta dan keindahan yang ada tepat di jantung visi dari
kerukunan antar peradaban. Dan itulah yang adalah dalam jangkauan kita,
sebuah visi yang mesti kita pilih untuk menjadikannya nyata.
(ISNU/Nu.or.id)
Penulis : KH Yahya Cholil Staquf, Rais Syuriyah PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar