div id='fb-root'/>
  • CAKNUN.
  • Bersama Zastrow el-ngatawi
  • Jombang 1-5 Agustus 2015.

Minggu, 10 Mei 2015

BENARKAH QURAISH SHIHAB SYI’AH?

Akhir-akhir ini pertanyaan di atas banyak dialamatkan ke saya. Mereka tahu saya berguru kepada Quraish Shihab dan bekerja di Pusat Studi Al-Qur`an (PSQ) yang didirikannya. Pertanyaan datang bertubi-tubi karena dipicu tulisan dalam kompasislam[dot]com yang mengutip pandangan salah seorang Pimpinan Pusat MUI bahwa Quraish Shihab adalah pendukung setia kelompok sesat Syiah.


Penulis sendiri ragu dengan kebenaran informasi tersebut, apalagi dari seorang ulama yang juga penulis segani. Tetapi terlepas dari benar atau tidaknya statemen tokoh tersebut, dampaknya sangat luar biasa bagi sosok Quraish Shihab dalam pandangan sebagian umat. Quraish Shihab seperti terkena vonis in absentia.
Tudingan Syiah terhadap Quraish Shihab bukan hal baru. Dari dulu sampai sekarang tudingannya sama, hanya pemicunya yang berbeda. Jika pada tahun 1997 dilatari oleh faktor politik, setelah beliau diangkat sebagai Menag di Kabinet Soeharto, saat ini tudingan itu muncul kembali dengan dilatari semakin meningkatnya potensi konflik Sunnah-Syiah di Indonesia, terutama Sunnah yang cenderung ekstrim. Ke depan, potensi itu akan semakin membesar, jika tidak diiringi dengan kesadaran masyarakat tentang keniscayaan perbedaan dan pentingnya persatuan. Kedua kelompok tersebut, dengan dukungan dari negara tertentu, akhir-akhir ini semakin gencar memperluas pengaruh dan dakwahnya di tengah masyarakat Indonesia.
Tulisan ini bukan sebagai pembelaan. Quraish Shihab tidak perlu dibela, karena sosok beliau dengan karya-karya dan pemikirannya sudah membela dirinya sendiri. Tidak ada pernyataannya dalam karya-karya tersebut yang menunjukkan beliau seorang pengikut Syiah. Dalam kesempatan wawancara harian Republika, 16 Februari 2014, bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke-70, Quraish menyatakan dirinya bukan seorang penganut Syiah, dan meminta kepada siapa pun yang menuduhnya untuk mendatangkan bukti. Silakan baca karya-karyanya, tidak ditemukan ungkapan yang menunjukkan dirinya penganut Syiah. Tidak seorang pun berhak membedah dada orang lain untuk mengetahui isi hatinya. Benar atau tidaknya pengakuan tersebut urusan Quraish dengan Tuhan. Bertahun-tahun mendampingi Quraish Shihab bekerja dengannya, penulis tidak menemukan hal yang aneh dalam keyakinan dan tata cara peribadatan beliau yang berbeda dengan tradisi kebanyakan Ahlussunnah.
Quraish Shihab tidak merasa cemas dan khawatir dengan tudingan miring apa pun terhadap dirinya. Baginya pujian tidak akan membuatnya besar, dan cacian tidak akan membuatnya rendah dan hina. Dari segi dunia, puncak karier dalam berbagai bidang; ilmiah dan profesi, sudah diperoleh. Rezeki pun cukup memadai. Sikapnya terhadap Syiah dan ‘keberaniannya’ untuk mengajak Sunnah dan Syiah bergandengan tangan semata-mata karena tuntutan amanah ilmiah untuk menyampaikan kebenaran dan panggilan jiwa untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan.
Keniscayaan Perbedaan, Keharusan Persatuan
Dalam buku Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Quraish menegaskan bahwa perbedaan pandangan keagamaan tidak bisa dihindarkan, bahkan menjadi keniscayaan. Keragaman pandangan merupakan cermin bagi dinamika intelektualitas dan rasionalitas Islam sebagai agama yang bersifat universal dan responsif terhadap berbagai perkembangan. Keberadaan mazhab-mazhab itu juga memperkaya khazanah peradaban Islam dengan berbagai alternative pemikiran yang dapat memberikan kemudahan dan pilihan bagi umat dalam beragama. Dalam konteks ini perbedaan dapat menjadi rahmat. Tetapi ketika perbedaan itu dibawa ke ranah yang sempit dengan balutan fanatisme yang berlebihan, sehingga melahirkan sikap saling mem-bid`ah-kan, merasa paling benar, dan mengkafirkan, sejarah pemikiran Islam diwarnai dengan pertumpahan darah yang mencabik persatuan umat.
Penggalan judul buku Quraish, “... Bergandengan Tangan! (dengan tanda seru), menunjukkan keharusan persatuan dalam keragaman. Salah satu cara mengelola perbedaan adalah dengan membuka pintu dialog untuk mendekatkan pemahaman-pemahaman yang ada. Bila itu tidak bisa dilakukan, maka dengan mendekatkan dan meningkatkan keharmonisan di antara pengikut pemahaman yang berbeda. Mendekatkan, karena memang sulit, bila tidak ingin berkata mustahil, untuk menyatukannya. Melalui dialog akan timbul sikap menghormati dan toleransi. Selanjutnya Quraish bertanya, Mungkinkah?”. Jawabannya berpulang kepada kita. Meski berbeda kita perlu optimis dapat mewujudkan persatuan umat. Optimisme itu cukup beralasan jika dilihat bahwa sisi persamaan antara mazhab atau aliran yang ada sangatlah banyak, terutama dalam hal pokok ajaran, bila dibanding dengan perbedaan.
Dalam konteks hubungan antara Sunnah dan Syiah, persamaan itu dapat dilihat pada keimanan terhadap pokok-pokok akidah Islam (tauhid, kenabian dan kebangkitan), komitmen terhadap pokok-pokok ajaran dan rukun Islam serta komitmen terhadap Al-Qur`an dan hadis sebagai sumber ajaran. Bila terhadap penganut agama yang berbeda saja kita diminta untuk berdialog dan berdebat dengan cara yang terbaik maka dengan sesama yang mengucap dua kalimat syahadat tentu lebih sangat dianjurkan dan harus bisa kita lakukan.
Perbedaan antara Sunnah dan Syiah diperbesar oleh faktor politik kekuasaan, padahal keduanya sama-sama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, serta menjalin hubungan dengan Islam melalui keyakinan terhadap kitab suci Al-Qur`an dan sunnah Rasul. Dalam hal pokok ajaran keduanya sama. Perbedaan hanya pada persoalan teknis (masâ`il fiqhiyyah), seperti perbedaan yang ada antara mazhab Hanafi dengan Maliki atau Syafi`i. Tentu tanpa mengabaikan perbedaan yang prinsipil antara keduanya dalam hal kepemimpinan (Imâmah).
Atas dasar kesamaan ini, di akhir tahun empat puluhan abad ke-20, para ulama Al-Azhar yang merepresentasikan kelompok sunnah dan beberapa ulama dari kelompok Syiah menggagas forum dialog untuk mendekatkan kedua mazhab tersebut yang dinamakan Lajnat al-Taqrîb Bayna al-Madzâhib al-Islâmiyyah. Sebagai puncaknya adalah pengakuan Syiah sebagai bagian dari mazhab-mazhab Islam yang ada dalam fatwa Syeikh Mahmud Syaltout. Fatwa tersebut berbunyi, “Sesungguhnya mazhab Ja`fariyah, yang dikenal dengan Syi’ah Imamiyah Itsna `Asyariyah adalah mazhab yang diperbolehkan secara syar`i untuk beribadah dengannya seperti mazhab-mazhab ahlusunnah lainnya. Umat Islam sepatutnya mengetahui itu dan tidak terjebak pada fanatisme secara berlebihan/ tidak tepat terhadap mazhab tertentu. Agama Allah dan syariat tidak tunduk/ mengikuti satu mazhab tertentu, atau terbatas pada mazhab. Semua berijtihad dan akan diterima di sisi Allah”.
Sampai saat ini, dalam kajian fiqih perbandingan (fiqh muqâran) di Universitas Al-Azhar mazhab Syiah Imamiyah dianggap sebagai salah satu mazhab fiqih yang mu`tabar selain mazhab Hanafi, Maliki, Syafi`i, Hambali, Zhahiriyah, Zaidiyah dan Ibadhiyah. Bahkan melalui Kementerian Wakaf, para ulama Al-Azhar menyusun ensiklopedia fiqih Islam bersumberkan delapan mazhab tersebut.
Sikap Quraish terhadap Syiah tidak berbeda dengan sikap para guru-gurunya, ulama Al-Azhar, yang menjunjung tinggi dan menghormati perbedaan tanpa harus menyetujuinya, apalagi mengamalkannya. Sebagai seorang akademisi, Quraish Shihab cukup kritis terhadap beberapa ajaran Syiah. Kejujuran Ilmiah menuntutnya untuk menyampaikan ajaran Syiah dan Sunnah apa adanya; dengan kelebihan dan kekurangannya, dengan persamaan dan perbedaannya.
Anda boleh saja tidak setuju, seperti ditunjukkan oleh beberapa orang dari pesantren Sidogiri Jawa Timur dengan menulis buku yang membantah karya Quraish Shihab. Tetapi itu tidak berarti pendapat Anda lah yang benar. Saya menilainya itu hanya beda pandangan yang disebabkan oleh perbedaan latar belakang pendidikan, lingkungan dan rujukan yang digunakan. Setahu penulis, Quraish Shihab banyak menggunakan rujukan mutakhir selain yang klasik. Bagi Quraish Shihab, pemikiran di kalangan ulama Syiah cukup dinamis dan sangat beragam, seperti halnya di kalangan Sunnah, sehingga kita tidak bisa menilai mereka dengan cara menggeneralisir.
Syiah Zaidiyah dan Imamiyah, Muslimkah?
Dalam sebuah deklarasi yang dikeluarkan oleh Konferensi Islam Internasional di Amman Yordania 4 - 6 Juli 2005, dan ditegaskan kembali dalam keputusan dan rekomendasi Sidang ke 17 Majma al-Fiqh al-Islami (lembaga di bawah Organisasi Konferensi Islam/OKI) di Yordania 24-26 Juni 2006 dinyatakan;
  1. Setiap yang mengikuti salah satu dari empat mazhab Ahlussunnah wal jamaah (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali), mazhab Ja`fari, Zaidiyah, Ibadhiyah dan Zhahiriyah adalah Muslim yang tidak boleh dikafirkan. Demikian pula tidak boleh mengkafirkan kelompok Muslim lain yang beriman kepada Allah, Rasul-Nya, rukun iman, menghormati rukun Islam dan tidak mengingkari pokok-pokok ajaran agama (al-ma`lûm min al-dîn bi al-dharûrah).
  2. Yang menyatukan mazhab-mazhab yang ada sangatlah banyak dibanding perbedaan. Para penganut mazhab delapan sepakat prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Semua beriman kepada Allah yang Esa, Al-Qur`an adalah kalamullah, Nabi Muhammad adalah Nabi dan Rasul untuk seluruh umat manusia. Mereka juga sepakat rukun Islam yang lima; syahadat, shalat, zakat, puasa Ramadhan dan haji. Demikian juga rukun iman; percaya kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir dan qadar yang baik dan buruk. Perbedaan ulama para pengikut mazhab adalah perbedaan dalam hal teknis (furu’iyyah), bukan yang prinsipil, dan itu mendatangkan rahmah.

Pernyataan yang ditandatangani oleh banyak ulama dunia Islam itu dapat dikatakan menjadi sebuah konsensus (ijmâ`) umat Islam di era modern sebagai upaya membangun pijakan dalam mewujudkan kerukunan dan kedamaian dalam kehidupan. Pernyataan tersebut bermula dari keinginan Raja Abdullah dari Yordania yang telah menggagas rumusan pesan damai Islam melalui Amman Message pada tahun 2004.
Saling memvonis kafir (takfîr) dan saling menyesatkan karena perbedaan pandangan keagamaan antara satu kelompok dengan lainnya sampai saat ini masih sering kita saksikan. Lebih-lebih antara kelompok Syi’ah, wahhâbiyah dan shûfiyah. Tentu sangat disayangkan jika ada kelompok umat Islam yang terlalu mudah mengafirkan orang atau institusi hanya karena berbeda pandangan dalam beberapa persoalan akidah atau fiqih. Padahal Al-Qur`an mengingatkan kita agar tidak cepat-cepat menghukumi orang lain kafir. “Dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan ”salam” kepadamu, “Kamu bukan seorang yang beriman,” (lalu kamu membunuhnya) (QS. Al-Nisa : 94). Rasulullah meningatkan, “Jika ada seseorang yang melemparkan tuduhan fasiq dan kafir kepada orang lain, dan ternyata tuduhan itu tidak benar, maka tuduhan itu akan kembali kepada dirinya” (HR. Al-Bukhari).
Mengingat besarnya dampak yang diakibatkan oleh takfîr para ulama Islam mengingatkan agar kita tidak cepat-cepat melabelkan kafir kepada seseorang atau kelompok orang atau institusi. Imam al-Ghazali mengingatkan, “sedapat mungkin kita berhati-hati dalam mengafirkan, sebab menghalalkan darah dan harta orang yang melakukan shalat ke kiblat, yang menyatakan secara tegas dua kalimat syahadat adalah sebuah kesalahan. Kesalahan yang berakibat membiarkan seribu orang kafir hidup lebih mudah menanggungnya daripada melakukan kesalahan yang berakibat terbunuhnya seorang Muslim”.
Takfîr hanya boleh dialamatkan kepada yang menyatakan kekufurannya secara terang-terangan, menjadikannya sebagai keyakinan/ agama, mengingkari dua kalimat syahadat, dan keluar dari agama Islam. Ulama Al-Azhar, Syeikh Muhammad Abduh juga mengingatkan, “Salah satu pokok ajaran Islam yaitu menghindari takfir. Telah masyhur di kalangan ulama Islam satu prinsip dalam agama, yaitu bila ada ucapan seseorang yang mengarah kepada kekufuran dari seratus penjuru, dan mengandung kemungkinan iman dari satu arah, maka diperlakukan iman didahulukan, dan tidak boleh dihukumi kafir”[1].
Hambatan Dialog dan Taqrîb
Upaya mendekatkan dan membangun dialog itu bukan tanpa hambatan. Dalam konferensi dialog antar-mazhab (Sunnah-Syiah) yang digelar di Doha awal tahun 2007 mengemuka beberapa hambatan tersebut, antara lan; beban sejarah yang cukup panjang, kecurigaan masing-masing kelompok terhadap lainnya, adanya upaya menyebarluaskan paham Syiah di tengah komunitas Sunnah, literature masing-masing kelompok yang menjelekkan kelompok lainnya, dan masih banyak lainnya. Oleh karenanya, dialog yang telah terbangun selama ini belum menunjukkan hasil yang signifikan. Bahkan cenderung menguntungkan salah satu pihak.
Syeikh Ahmad Thayyeb, Rektor Universitas Al-Azhar (saat ini Grand Syeikh Al-Azhar), dalam paparannya saat itu mengkhawatirkan masa depan dialog dengan masih adanya upaya dari kelompok Syiah untuk menyebarluaskan pahamnya di Mesir yang menganut paham Sunnah. Buku-buku yang mencaci para Sahabat yang sangat dihormati kelompok Sunnah masih banyak ditemukan. Selama ini, menurut Thayyeb, kelompok Sunnah sudah terlalu banyak ‘mengalah’. Jika upaya tersebut masih berlanjut bukan tidak mungkin kelompok Sunnah tidak akan melanjutkan proses dialog.
Konferensi Doha yang sempat penulis ikuti mewakili Kementerian Agama RI menghasilkan deklarasi antara lain:
  1. Menegaskan pentingnya melanjutkan usaha untuk saling mendekat dan saling pengertian antara mazhab dan aliran dalam Islam dan berupaya menghilangkan rintangan yang menghalangi terciptanya persatuan umat.
  2. Seluruh ulama peserta konferensi yang mewakili kelompok Sunnah, Syiah Imamiyah, Zaidiyah dan Ibadhiyyah menolak dengan tegas segala bentuk pelecehan dan penghinaan terhadap keluarga Rasulullah shallallâhu `alayhi wasallam, para sahabat dan isteri-isteri Rasululullah. Mereka juga mengajak seluruh pengikut mazhab dan aliran dalam Islam untuk mengormati tempat-tempat suci masing-masing kelompok dan memelihara upaya saling menghormati dalam dialog dan kegiatan dakwah.
  3. Mengajak seluruh tokoh dan pemuka agama dari kelompok Sunnah dan Syiah untuk menjaga batas-batas dalam berinteraksi dengan pihak lain dan tidak memperkenankan untuk menyebarkan mazhab Syiah di tempat-tempat kelompok Sunnah, atau menyebarkan paham Sunnah di tempat-tempat kelompok Syiah agar tidak terjadi bentrokan dan perpecahan di kalangan umat Islam.
  4. Konferensi menyerukan kepada seluruh penguasa dan kepala pemerintahan negara-negara Arab dan Islam untuk mendukung segala upaya para ulama dan pemikir untuk mewujudkan persatuan dan menetapkan kebijakan dialog antara mazhab Islam.
  5. Membentuk Lembaga Riset Internasional yang menghimpun para ulama dari kelompok Sunnah, Syiah (Imamiyyah), Zaidiyyah dan Ibadhiyyah yang akan mengukuhkan konsep taqrîb, memonitoring segala rintangan dan celah kekurangan dan memberikan solusi yang tepat. Konferensi mengusulkan agar lembaga tersebut berpusat di Doha.
  6. Memperbaiki kurikulum pengajaran dengan sesuatu yang mendukung konsep persatuan dan taqrîb (upaya mendekatkan jarak) antara mazhab dan aliran dalam Islam.
Sebesar apa pun hambatan yang ada dialog tetap harus dibangun dengan niat baik, dalam suasana keterbukaan, saling menghormati dan saling percaya. Dialog diperlukan untuk membahas agenda bersama mewujudkan kepentingan yang lebih besar bagi umat. Dialog bukan untuk menyatukan atau menyamakan pandangan, tetapi untuk saling memahami dan menghormati. Untuk itu kode etik dan aturan penyebaran paham kelompok masing-masing perlu disepakati. Semangat ini yang terus digelorakan oleh Quraish Shihab. Semoga kerukunan yang diidamkan segera dapat terwujud. Demikian, wallahua`lam.

Tidak ada komentar: