div id='fb-root'/>
  • CAKNUN.
  • Bersama Zastrow el-ngatawi
  • Jombang 1-5 Agustus 2015.

Sabtu, 13 September 2014

Filosofi SEMAR

Artinya : Mengembani sifat membangun dan
melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia
Semar berkuncung seperti kanak kanak,namun juga
berwajah sangat tua
Semar tertawannya selalu diakhiri nada tangisan
Semar berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa
Semar berprofil berdiri sekaligus jongkok
Semar tak pernah menyuruh namun memberikan
konsekwensi atas nasehatnya.
Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud
kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, yaitu
adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum
masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Isalam di tanah
Jawa.

Dikalangan spiritual Jawa ,Tokoh wayang Semar
ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi
lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang KeEsa-an,
yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan expresi,
persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan
pada konsepsi spiritual . Pengertian ini tidak lain
hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak
jaman prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an
yang Maha Esa.
Dari tokoh Semar wayang ini akan dapat
dikupas ,dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud
religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa .
Gambar tokoh Semar nampaknya merupakan
simbol pengertian atau konsepsi dari aspek sifat Ilahi,
yang kalau dibaca bunyinya katanya ber bunyi :
Semar (pralambang ngelmu gaib) – kasampurnaning pati.
Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar
sumingkiring dur-kamurkan Mardika artinya “merdekanya
jiwa dan sukma“, maksudnya dalam keadaan tidak dijajah
oleh hawa nafsu dan keduniawian, agar dalam menuju
kematian sempurna tak ternodai oleh dosa. Manusia jawa
yang sejati dalam membersihkan jiwa (ora kebanda ing
kadonyan, ora samar marang bisane sirna durka
murkamu) artinya : “dalam menguji budi pekerti secara
sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan
mengarahkan hawa nafsu menjadi suatu kekuatan
menuju kesempurnaan hidup”.
Filosofi, Biologis Semar
Menurut Javanologi, arti dari Semar adalah
Haseming samar-samar (Fenomena harafiah makna
kehidupan Sang Penuntun). Semar tidak lelaki dan bukan
perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya
kebelakang. Maknanya adalah sebagai pribadi tokoh
Semar hendak mengatakan simbul Sang Maha
Tunggal”. Sedang tangan kirinya bermakna “ berserah
total dan mutlak serta selakigus simbul keilmuaan yang
netral namun simpatik”.
Domisili Semar adalah sebagai
Lurah karangdempel ( karang = gersang ; dempel =
keteguhan jiwa ) . Rambut Semar atau lebih sering dikenal
dengan kuncung Semar (jarwadasa/ peribahasa jawa
kuno) maknanya hendak mengatakan " akuning
sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan ". Semar
berjalan menghadap ke atas maknanya adalah “dalam
perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan
teladan agar selalu memandang keatas (sang Khaliq )
yang maha pengasih serta penyayang umat”. Kain Semar
yang bercorak Parangkusumorojo adalah
perwujudan Dewonggowantah (untuk menuntun manusia)
agar memayuhayuning bawono ( mengadakan keadilan
dan kebenaran di bumi ).
Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka dalam lakon Semar Mbabar Jati
Diri
Dalam Etika Jawa ( Sesuno, 1988 : 188 )
disebutkan bahwa Semar dalam pewayangan adalah
punakawan ” Abdi ” Pamomong ” yang paling dicintai.
Apabila muncul di depan layar, ia disambut oleh
gelombang simpati para penonton. Seakan-akan para
penonton merasa berada dibawah pengayomannya.
Simpati para penonton itu ada hubungannya
dengan mitologi Jawa atau Nusantara yang menganggap
bahwa Semar merupakan tokoh yang berasal dari Jawa
atau Nusantara ( Hazeu dalam Mulyono 1978 : 25 ). Ia
merupakan dewa asli Jawa yang paling berkuasa (
Brandon dalam Suseno, 1988 : 188 ). Meskipun
berpenampilan sederhana, sebagai rakyat biasa, bahkan
sebagai abdi, Semar adalah seorang dewa yang
mengatasi semua dewa. Ia adalah dewa yang
ngejawantah ” menjelma ” ( menjadi manusia ) yang
kemudian menjadi pamong para Pandawa dan ksatria
utama lainnya yang tidak terkalahkan.
Oleh karena para Pandawa merupakan nenek
moyang raja-raja Jawa ( Poedjowijatno, 1975 : 49 )
Semar diyakini sebagai pamong dan danyang pulau Jawa
dan seluruh dunia ( Geertz 1969 : 264 ). Ia merupakan
pribadi yang bernilai paling bijaksana berkat sikap
bathinnya dan bukan karena sikap lahir dan
keterdidikannya ( Suseno 1988 : 190 ). Ia merupakan
pamong yang sepi ing pamrih, rame ing ngawe ” sepi
akan maksud, rajin dalam bekerja dan memayu hayuning
bawana ” menjaga kedamaian dunia ( Mulyono, 1978 :
119 dan Suseno 1988 : 193 )
Dari segi etimologi, joinboll ( dalam Mulyono
1978 : 28 ) berpendapat bahwa Semar berasal dari sar
yang berarti sinar ” cahaya “. jadi Semar berarti suatu
yang memancarkan cahaya atau dewa cahaya, sehingga
ia disebut juga Nurcahya atau Nurrasa ( Mulyono 1978 :
18 ) yang didalam dirinya terdapat atau bersemayam Nur
Muhammad, Nur Illahi atau sifat Ilahiah. Semar yang
memiliki rupa dan bentuk yang samar, tetapi mempunyai
segala kelebihan yang telah disebutkan itu, merupakan
simbol yang bersifat Ilahiah pula ( Mulyono 1978 : 118 –
Suseno 1988 : 191 ). Sehubungan dengan itu,
Prodjosoebroto ( 1969 : 31 ) berpendapat dan
menggambarkan ( dalam bentuk kaligrafi ) bahwa jasat
Semar penuh dengan kalimat Allah.
Sifat ilahiah itu ditunjukkan pula dengan sebutan
badranaya yang berarti ” pimpinan rahmani ” yakni
pimpinan yang penuh dengan belas kasih ( timoer, tt :
13 ). Semar juga dapat dijadikan simbol rasa eling ” rasa
ingat ” ( timoer 1994 : 4 ), yakni ingat kepada Yang Maha
Pencipta dan segala ciptaanNYA yang berupa alam
semesta. Oleh karena itu sifat ilahiah itu pula, Semar
dijadikan simbol aliran kebatinan Sapta Darma ( Mulyono
1978 : 35 )
Berkenaan dengan mitologi yang merekfleksikan
segala kelebihan dan sifat ilahiah pada pribadi Semar,
maka timbul gagasan agar dalam pementasan wayang
disuguhkan lakon ” Semar Mbabar Jati Diri “. gagasan itu
muncul dari presiden Suharto dihadapan para dalang
yang sedang mengikuti Rapat Paripurna Pepadi di Jakarta
pada tanggal, 20-23 Januari 1995. Tujuanya agar para
dalang ikut berperan serta menyukseskan program
pemerintah dalam pembangunan manusia seutuhnya,
termasuk pembudayaan P4 ( Cermomanggolo 1995 : 5 ).
Gagasan itu disambut para dalang dengan menggelar
lakon tersebut. Para dalang yang pernah mementaskan
lakon itu antara lain : Gitopurbacarita, Panut Darmaka,
Anom Suroto, Subana, Cermomanggolo dan manteb
Soedarsono ( Cermomanggolo 1995 : 5 – Arum 1995 :
10 ). Dikemukan oleh Arum ( 1995:10 ) bahwa dalam
pementasan wayang kulit dengan lakon ” Semar Mbabar
Jadi Diri ” diharapkan agar khalayak mampu memahami
dan menghayati kawruh sangkan paraning dumadi ” ilmu
asal dan tujuan hidup, yang digali dari falsafat aksara
Jawa Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Pemahaman dan penghayatan
kawruh sangkan paraning dumadi yang bersumber filsafat
aksara Jawa itu sejalan dengan pemikiran Soenarto
Timoer ( 1994:4 ) bahwa filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka
mengandung makna sebagai sumber daya yang dapat
memberikan tuntunan dan menjadi panutan ke arah
keselamatan hidup. Sumber daya itu dapat disimbolkan
dengan Semar yang berpengawak sastra dentawyanjana.
Bahkan jika mengacu pendapat Warsito ( dalam
Ciptoprawiro 1991:46 ) bahwa aksara Jawa itu diciptakan
Semar, maka tepatlah apabila pemahaman dan
penghayatan kawruh sangkan paraning dumadi tersebut
bersumberkan filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka
Sumber : Alangalangkumitir

Tidak ada komentar: