div id='fb-root'/>
  • CAKNUN.
  • Bersama Zastrow el-ngatawi
  • Jombang 1-5 Agustus 2015.

Selasa, 26 Agustus 2014

Fariasi gaya bercinta dan hukumnya

Variasi Gaya Bercinta dan Hukumnya
Seorang istri sebagaimana diterangkan dalam surat Al-
Baqarah 223 berlaku sebagai lahan yang boleh
ditanami apapun oleh sang suami. Meski demikian,
Islam juga telah mengatur berbagai tata norma
kehidupan antara suami dan istri. Termasuk di
dalamnya juga etika berhubungan intim. Seperti yang
diterangkan dalam kitab ‘uqudul lujain’ mengenai
tatacara melakukan huhbungan seks suami-istri.

Namun demikian di zaman globalisasi dengan arus
informasi yang semakin kencang dan terbuka, sangat
mempengaruhi perilaku manusia. Termasuk juga
dalam melakukan variasi gaya dalam berhubungan
seks dengan pasangannya. Mereka yang telah banyak
mendapatkan pengetahuan dan informasi dari berbagai
sumber mengenai gaya bersetubuh, tentunya ingin
menerapkannya dalam kehidupan seksualnya.
Jika keadaan ini dapat dipahami oleh pasangan suami
istri, tidaklah menimbulkan masalah. Akan tetapi jika
terjadi keinginan sepihak tentunya akan menimbulkan
permaslahan. Nah bagaimanakah jika seorang istri
menolak untuk memenuhi tuntutan suami dalam
melakukan variasi bercinta? Apakah istri telah
melakukan pembangkangan terhadap suami (nusyuz )?
Penolakan seorang istri terhadap permintaan suami
dalam melayani variasi bercintanya tidaklah termasuk
dalam kategori membangkan (nusyuz, dalam fiqih
mengakibatkan hak suami berhak memberhentikan
nafkah kepada istriI) karena pada dasarnya kewajiban
melayani hubungan seks seorang istri adalah
sewajarnya saja. Kecuali apabila seorang suami tidak
bisa mengeluarkan sperma tanpa variasi tersebut atau
akan menyebabkan kerepotan yang lain, maka bagi
istri memenuhi permintaan suaminya tersebut
hukumnya adalah wajib. Selama bentuk variasi itu
masih dalam kewajaran. Misalnya dengan berbagai
gaya ( jurus cakar elang, hariamau menerkam dan lain-
lain) atau sekedar bermain-main dengan tangan dan
jari-jari di wilayah mister v, atau menggunakan tangan
istri untuk mempermainkan dzakar dan lainnya. Akan
tetapi jika variasi itu telah melanggar norma agama,
maka tidak wajib bagi istri untuk menurutinya misalnya
dengan menggunakan jalur belakang.
Demikian keterangan dalam kitab Fathul Muin dan juga
kitab-kitab lainnya semisal dalam al-Fatawy al-
Fiqhiyyah al-kubra karangan Ibnu Hajar al-Haytami :
ﺍﻟﻮﺍﺟﺐ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻫﻮ ﺍﻟﺘﻤﻜﻴﻦ ﻣﻦ ﺍﻟﻮﻁﺀ ﻭﻻﻳﺠﺐ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻣﺎ ﻭﺭﺍﺀ
ﺫﻟﻚ ﻣﻤﺎ ﻫﻮ ﻣﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻥ ﺗﺮﺗﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﺰﻳﺪ ﻗﻮﺓ ﻟﻬﻤﺔ ﺍﻟﺮﺟﻞ
ﻭﺗﻨﺸﻴﻂ ﻟﻠﺠﻤﺎﻉ ﻫﺬﺍ ﻫﻮ ﺍﻟﺬﻯ ﻳﺘﺠﻪ ﻭﻳﺤﺘﻤﻞ ﺃﻥ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻣﺎ
ﻳﺘﻮﻗﻒ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻻﻧﺰﺍﻝ ﺍﻭ ﻣﺎﻳﺘﺮﺗﺐ ﻋﻠﻰ ﺗﺮﻛﻪ ﺿﺮﺭ ﻟﻠﺮﺟﻞ

Tidak ada komentar: