Politik dan Kekuasaan dalam Islam
Membaca Kembali Sejarah Syiah
oleh Luthfi Assyaukanie

Syi’ah adalah sekte pertama di dalam Islam yang kemunculannya sepenuhnya didorong oleh peristiwa politik. Semua bermula dari absennya wasiat Nabi Muhammad tentang siapa penggantinya jika dia meninggal. Jika sejak awal Nabi memberikan wasiat dan diumumkan kepada publik, pastilah sejarah Islam akan berjalan lain. Ketiadaan wasiat ini memunculkan persoalan besar beberapa saat setelah Nabi meninggal, yakni siapa yang akan menggantikannya? Selain sebagai pemimpin spiritual, Nabi Muhammad juga seorang pemimpin politik bagi warga Madinah. Kematiannya, dengan demikian, bukan hanya berarti hilangnya kepemimpinan spiritual, tapi juga kepemimpinan politik.



Syi’ah adalah sekte pertama di dalam Islam yang kemunculannya sepenuhnya didorong oleh peristiwa politik. Semua bermula dari absennya wasiat Nabi Muhammad tentang siapa penggantinya jika dia meninggal. Jika sejak awal Nabi memberikan wasiat dan diumumkan kepada publik, pastilah sejarah Islam akan berjalan lain. Ketiadaan wasiat ini memunculkan persoalan besar beberapa saat setelah Nabi meninggal, yakni siapa yang akan menggantikannya? Selain sebagai pemimpin spiritual, Nabi Muhammad juga seorang pemimpin politik bagi warga Madinah. Kematiannya, dengan demikian, bukan hanya berarti hilangnya kepemimpinan spiritual, tapi juga kepemimpinan politik.

Perundingan yang hampir menumpahkan darah di Saqifah yang terkenal itu, sesungguhnya adalah permufakatan untuk mencari pengganti Muhammad sebagai pemimpin politik, bukan sebagai pemimpin spiritual. Semua sahabat Nabi sadar bahwa secara spiritual tak ada yang bisa menggantikan Muhammad. Juga, mereka tahu diri bahwa tidak ada nabi setelah Muhammad. Bahwa pilihan kemudian jatuh kepada Abu Bakar, sepenuhnya berdasar pertimbangan primus inter pares, yakni karena Abu Bakar dianggap sebagai orang paling senior, paling dekat dengan Nabi, dan punya sedikit jiwa kepemimpinan.

Dari perspektif tata-pemerintahan (polity) yang berlaku saat itu, pilihan kepada Abu Bakar sebetulnya menyalahi aturan umum, yakni jika seorang pemimpin politik meninggal, maka yang akan menggantikannya adalah keturunannya atau famili terdekatnya. Karena Muhammad tidak memiliki anak laki-laki, yang berhak menggantikannya seharusnya adalah anak perempuannya, sebagaimana yang pernah terjadi pada kerajaan-kerajaan di sekitar Mediterania saat itu. Ada opsi lain, jika warisan kekuasaan tidak jatuh ke tangan anak perempuan, maka ia akan jatuh ke tangan saudara laki atau perempuan (adik). Masalahnya, Nabi Muhammad tak memiliki adik, karena dia anak tunggal. Satu-satunya famili terdekatnya adalah Ali bin Abi Thalib, sepupunya yang sekaligus juga menantunya.

Tapi, mengapa para petinggi di Saqifah memilih Abu Bakar dan bukan Ali? Bukankah lebih masuk akal dan bisa diterima publik jika Ali yang menggantikan Nabi? Bukankah Fatimah, anak Nabi, layak dijadikan Ratu, penerusnya, mengikuti tradisi tata-pemerintahan yang berlaku di kawasan itu? Apalagi Fatimah adalah isteri Ali, yang juga sepupu Nabi. Adalah tidak masuk akal mengikuti logika para pembesar di Saqifah yang memilih Abu Bakar dan melupakan Ali sama sekali. Dalam perdebatan sengit antara Faksi Madinah dan Faksi Mekah, yang muncul adalah nama-nama seperti Umar bin Khatab (Mekah), Abu Ubaydah bin Jarrah (Mekah), Sa’ad bin Ubadah (Madinah/Khazraj), dan Bashir bin Sa’d (Madinah/Aws).

Nama Ali atau Fatimah tak disebut sama sekali. Keduanya tak hadir di Saqifah, tapi lebih memilih mengurusi jenazah Nabi, yang menurut al-Tabari (Tarikh), hampir tak dipedulikan para sahabat besar yang tengah memperdebatkan siapa pengganti Nabi kelak. Bagi Ali dan keluarganya, mengurusi jenazah Nabi dan mempersiapkan pemakamannya jauh lebih penting ketimbang meributkan kandidat pengganti Nabi. Mungkin, Ali dan Fatimah juga berpikir bahwa kekuasaan tak akan pergi ke mana-mana, toh menurut tradisi politik yang berlaku, kekuasaan selalu jatuh ke tangan anak atau famili terdekat.

Asumsi Ali dan Fatimah bahwa kekuasaan ayah mereka akan jatuh ke tangan mereka terbukti keliru. Setelah upacara penguburan Nabi selesai, pengganti Nabi tetaplah Abu Bakar. Satu persatu kaum Muslim melakukan bay’at (sumpah) kepada Abu Bakar sebagai pengganti Nabi (khalifah). Bashar bin Sa’ad, pemimpin Suku Aws yang sempat berminat menggantikan Nabi, mengurungkan niatnya dan berbalik mendukung Abu Bakar. Dukungannya kepada Abu Bakar bukan karena dia suka kepada mertua Nabi itu, tapi karena rival beratnya, Sa’ad bin Ubadah (pemimpin Khazraj) bisa berpeluang besar, jika kaum Anshar tidak mendukung Abu Bakar. Maka, terjadilah apa yang pernah terjadi dalam Pilkada DKI 2007, warga Jakarta memilih Fauzi Bowo bukan karena mereka suka dengan pria berkumis itu, tapi karena mereka tidak suka jika Jakarta dipimpin oleh calon yang didukung PKS.

Tidak semua orang mendukung Abu Bakar menjadi pengganti Nabi. Abu Bakar dan timnya (di antaranya Umar bin Khattab yang paling antusias) harus melakukan kampanye dari Jum’at ke Jum’at untuk meyakinkan kaum Muslim di Madinah bahwa dia layak menjadi pengganti Nabi. Bay’at (sumpah setia) harus segera dikumpulkan agar Abu Bakar mendapatkan legitimasi dan lancar dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan politik. Sayangnya, bay’at tidak diperoleh dengan mulus. Sebagian suku di Madinah (misalnya Banu Ghatafan dan Khawazin) menolak Abu Bakar dan tak bersedia memberikan bay’at. Untuk menunjukkan perlawanan, mereka menolak membayar upeti (zakat), yang kemudian memicu apa yang dalam sejarah Islam dikenal dengan ”Perang Apostasi” (hurub al-riddah).

Yang mengejutkan adalah bahwa penolakan bay’at bukan hanya dilakukan oleh sebagian suku Anshar, tapi juga beberapa tokoh Muhajirin. Ali bin Abi Thalib, menantu dan sepupu Nabi, juga tak bersedia melakukan bay’at kepada Abu Bakar. Tentu saja, Ali bukanlah satu-satunya sahabat besar Nabi yang menolak Abu Bakar. Ada Sa’ad bin Ubadah (perunding Saqifah dan pemimpin Khahzraj), yang sampai wafatnya tak mau memberikan bay’at kepada Abu Bakar. Dia juga tak mau memberikan bay’at kepada Umar bin Khattab, dan karena merasa nyawanya terancam, dia hijrah ke Suriah hingga meninggal di sana. Ada Hubab bin al-Mundzir, pahlawan dan ahli strategi yang mengantarkan kemenangan perang Badar. Demikian juga, ada al-Abbas, Salman Al-Farisi, Abu Dzar al-Ghifari, dan Khuzaimah bin Tsabit; semua sahabat besar ini pada mulanya enggan memberikan bay’at kepada Abu Bakar.

Ali baru memberikan bay’atnya kepada Abu Bakar setelah enam bulan peristiwa Saqifah. Menurut Bukhari dan Muslim, Ali melakukan bay’at setelah Fatimah, isteri tercintanya, meninggal. Tidak ada yang tahu pasti mengapa Ali kemudian memberikan bay’atnya. Bagi para pengikutnya yang 25 tahun kemudian dikenal dengan sebutan ”pengikut Ali” (syi’at Ali), bay’at Ali dilakukan dalam keadaan terpaksa dan dalam tekanan situasi politik di Madinah ketika itu. Bagi mereka, Ali adalah pewaris yang sah dari kekuasaan yang ditinggalkan Nabi. Bukan hanya karena Ali merupakan isteri Fatimah, tapi menurut ”Syi’at Ali,” karena Nabi telah mengumumkan di Ghadir Khum bahwa Ali adalah calon penggantinya kelak jika dia wafat.

Ghadir Khum adalah episode lain yang penting dalam sejarah Syi’ah. Kaum Muslim dari kalangan Sunni dan Syi’ah berbeda pendapat, bukan hanya apakah Nabi secara eksplisit memberikan wasiat kepada Ali di sana, tapi apakah peristiwa Ghadir Khum itu benar-benar ada. Ghadir Khum adalah sebuah lembah tempat para pesiar dan saudagar Mekah beristirahat dalam perjalanan panjang mereka ke Syam. Lokasinya persis berada di tengah-tengah, sekitar 180 Km jarak antara Mekah dan Madinah. (di Google Earth, lokasinya terletak di bujur ini: 22°49?30?N 39°4?30?E). Nabi dan para sahabatnya beristirahat di tempat itu dalam perjalanan dari Mekah usai menunaikan haji wada. Di tempat itulah Nabi diyakini memberikan khutbah dan wasiatnya soal siapa penggantinya kelak.

Para perawi Sunni (termasuk Bukhari dan Muslim) membenarkan bahwa Nabi pernah istirahat di situ dan --tentu saja-- memberikan khutbahnya. Namun, mereka menolak kalau isi khutbah Nabi secara eksplisit menyebutkan wasiat untuk Ali. Sebagaimana di tempat-tempat lain, Nabi selalu memberikan khutbah dan seperti juga kebiasaannya, beliau memuji sahabat-sahabatnya. Kadang memuji Abu Bakar, kadang memuji Bilal, kadang memuji Umar, dan kadang memuji Utsman. Nah, di Ghadir Khum itu, Nabi memuji Ali. Sebetulnya pujian biasa saja, yang sering ia lontarkan juga kepada para sahabatnya yang lain. Sanjungan itu adalah ucapan Nabi bahwa Ali adalah seorang pemimpin yang sama dengan dirinya (man kuntu mawlah, fa ali mawlah). Oleh para pengikut Ali, pernyataan Nabi ini kemudian ditafsirkan sebagai wasiat kepada kaum Muslim bahwa setelah Nabi meninggal nanti yang menjadi penggantinya adalah Ali.

Seperti Cak Nur yang kerap memuji orang, Nabi juga selalu memuji sahabat-sahabatnya. Suatu kali Nabi memuji Abu Bakar sebagai ”pemimpin kaum Muslim di surga,” ”pintu surga akan memanggilnya untuk memasukinya,” dan ”orang Islam pertama yang akan masuk surga.” Nabi juga pernah memuji Umar dengan ungkapan yang terkenal ini: ”andaikata sesudahku ada Nabi, dialah Umar.” Di Ghadir Khum, yang mendapat pujian kebetulan adalah Ali. Orang-orang Sunni sama sekali tidak menganggap pernyataan Nabi itu sebagai sebuah wasiat. Nabi biasa memuji sahabat-sahabatnya. Tidak ada yang unik dengan itu. Tapi, bagi para pengikut fanatik Ali, pernyataan Nabi itu adalah sebuah wasiat penting. Bahkan, Ghadir Khum adalah sebuah peristiwa besar, bukan hanya tempat. Ghadir Khum adalah sebuah perjanjian suci yang dilanggar, yang akibatnya memunculkan rangkaian peristiwa berdarah dalam tubuh umat Islam, dari pemberontakan terhadap Abu Bakar, pembunuhan Umar, pembunuhan Uthman, dan puncaknya pembunuhan Ali.

Dari perspektif politik, Ghadir Khum hanyalah sebuah justifikasi belakangan para pengikut Ali untuk mendukung suatu niat lebih besar yang sudah ada sejak awal: warisan kekuasaan. Menurut tradisi politik yang berlaku pada saat itu, tidak ada orang yang paling berhak untuk menggantikan Nabi kecuali Ali bin Abi Thalib. Tidak ada presedennya bahwa kekuasaan politik jatuh kepada sahabat terdekat atau kepada seorang mertua. Yang selalu terjadi adalah kekuasaan jatuh kepada adik atau anak. Nabi memiliki banyak anak dan mestinya salah satu anaknya yang paling berhak meneruskan kekuasaannya. Pun, jika anak-anaknya dianggap kurang layak, famili terdekatnya, yakni Ali, bisa menjadi kandidat kuat. Apalagi Ali bukan sekadar sepupu, tapi juga seorang menantu yang mengawini anak kesayangannya.

Syi’ah adalah sebuah sekte Islam yang muncul karena dorongan politik. Kepemimpinan dinastik, yakni sistem pemerintahan turun-temurun, adalah obsesi tertingginya. Sejak awal, para pengikut Ali memproyeksikan keluarga Nabi (ahl al-bayt) sebagai poros dari kekuasaan yang mereka dukung. Buat mereka, setelah Nabi meninggal, orang yang paling berhak untuk mewarisi kekuasaan adalah anaknya, yakni Fatimah (kalaulah Nabi punya anak laki-laki, pastilah anak itu yang akan jadi kandidat kuat). Setelah Fatimah/Ali meninggal, kekuasaan politik harus turun kepada anak-cucunya. Karena alasan inilah mereka menolak Muawiyah bin Abi Sufyan yang pada saat itu menjadi kompetitor Ali paling kuat. Perang berdarah-darah yang dilakukan pengikut Ali kepada Mua’wiyah dan anaknya (Yazid) adalah perang mempertahankan dinasti Ali. Pun, ketika Yazid berkuasa, bagi para pengikut Ali, pemimpin yang sah tetaplah anak Ali, yakni Hasan dan Husein.

Obsesi mempertahankan dinasti Ali terus tumbuh dalam diri pengikut fanatik Ali yang sejak tahun 661 M, disebut sebagai ”Syi’at Ali.” Setelah peristiwa Karbala yang oleh Ali Shari’ati, salah seorang tokoh Syi’ah modern, disamakan dengan peristiwa penyaliban Yesus, obsesi dinastik kaum Syi’ah terus dipelihara. Pembunuhan Husein bukan berarti kematian dinasti Ali. Kaum Syi’ah meneruskannya dengan ”raja virtual” yang mereka sebut ”imam.” Kekuasaannya pun diperluas, bukan hanya kekuasaan politik, tapi juga kekuasaan spiritual. Sejak Husein terbunuh, imamah menjadi fondasi penting dalam ajaran Syi’ah. Ketika seseorang kalah di dunia, maka dia akan membaw-bawa akhirat untuk memperkuat dirinya. Persis seperti yang dikatakan Hamid Dabashi, sarjana Iran yang menulis banyak buku tentang Syi’ah, kaum Syi’ah mengidap gejala neurosis sejak pertama kali mereka kehilangan ”Yesus” mereka, yakni Husein bin Ali yang mati dimutilasi oleh Yazid bin Muawiyah.

Obsesi dinastik ini terus berkelanjutan. Apa yang tak bisa diwujudkan dalam kenyataan, diwujudkan dalam angan-angan. Dari sini, para pengikut fanatik Ali kemudian membangun konsep ”imamah” yang lebih tepat disebut sebagai ”kerajaan virtual.” Setelah Husein wafat, kaum Syi’ah menunjuk anaknya Husein, yakni Ali atau yang lebih dikenal dengan Zayn al-Abidin. Setelah Ali wafat, digantikan oleh puteranya, yakni Muhammad yang lebih dikenal dengan Muhammad al-Baqir. Kerajaan virtual ini terus berlangsung secara turun-temurun sampai pewaris ke-12, yakni: Muhammad bin Hasan bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Kesebelas orang ini plus Hasan bin Ali, menjadi ”raja” dalam dinasti yang dibangun oleh orang Syi’ah. Mereka menyebutnya Syi’ah Imamiyah atau Syi’ah Istna Asyariah (Syi’ah 12 Imam).

Sama seperti kerajaan atau sistem dinasti lainnya, ”kerajaan virtual” yang dibangun orang-orang Syi’ah pun tidak maksum dari pertengkaran. Pada awal abad ke-8 M, pengikut Syi’ah bertengkar siapa yang patut menggantikan Ali bin Husein. Satu kelompok meyakini bahwa Muhammad al-Baqir, anak tertua Ali yang patut menggantikan ayahnya. Tapi kelompok lain menganggap anak Ali yang lain, yakni Zayd, lebih cocok. Kelompok kedua ini kemudian memisahkan diri dan kelak disebut sebagai ”Syi’ah Zaydiyah.” Sedangkan kelompok pertama disebut sebagai ”Syi’ah Imamiyah.” Perpecahan ini masih berlanjut. Pada pertengahan abad ke-8, pertengkaran soal siapa yang layak menjadi pewaris kerajaan kembali mencuat. Satu kelompok menjagokan Ismail bin Ja’far, sementara kelompok lain mendukung Musa bin Ja’far. Kelompok pertama kemudian memisahkan diri dan membangun sekte independen yang disebut ”Syi’ah Ismailiyah.”

Sejak berdiri, kaum Syi’ah terobsesi membangun kekuasaan dinastik, bukan pemerintahan republik. Karena alasan inilah mereka menolak mengakui pemerintahan Abu Bakar, Umar, dan Uthman. Buat mereka, pemerintahan yang sah adalah pemerintahan turun-temurun, dari Nabi, ke Fatimah dan Ali, lalu ke anak-cucu mereka. Perjuangan orang-orang Syi’ah menuai hasil pada awal abad ke-10 ketika salah seorang keturunan Husein, yakni Abdullah al-Mahdi, berhasil membangun sebuah kerajaan besar yang disebut Dinasti Fatimiyah. Dinasti Fatimiyah (909-1171) adalah pengikut sekte Syi’ah Ismailiyah. Abdullah sendiri adalah keturunan kelima dari Ismail bin Ja’far, pendiri sekte Ismailiyah. Sekte Imamiyah pada akhirnya juga mampu mendirikan kerajaan besar di Iran, yakni Dinasti Safawiyah (1501-1736). Dua dinasti ini, Fatimiyah dan Safawiyah merupakan kerajaan-kerajaan yang sukses dan menjadi salah satu mercusuar peradaban Islam.

Penutup

Sejak runtuhnya dinasti Safawiyah pada abad ke-18, tidak ada lagi kerajaan Syi’ah yang muncul. Para pemeluk Syi’ah lebih memilih menjadi rakyat yang dipimpin oleh orang non-Syi’ah seperti yang terjadi di Iraq, Lebanon, dan Bahrain, atau oleh orang-orang Syi’ah yang tak menganut ideologi politik ahlul bayt. Di Mesir, pengaruh Syi’ah semakin hilang sejak dinasti Ayubiyah (1171-1341) mengambil alih kekuasaan dari tangan Fatimiyah. Di Iran, dinasti Usmaniyyah yang Sunni menguasai pemerintahan selama lebih dari satu abad yang kemudian diteruskan oleh dinasti Pahlevi (1925-1979) yang tak peduli dengan ideologi ahlul bayt. Ideologi Syi’ah baru bangkit pada tahun 1980an, menyusul keberhasilan ”revolusi Islam” yang dipimpin Ayatullah Khomeini menumbangkan dinasti Pahlevi.

Tapi, seperti dikatakan Hamid Dabashi, teologi politik Syi’ah tidak kompatibel dengan dunia modern. Sebagai sebuah agama, Syi’ah sangat melankolis. Teologinya dibangun berdasarkan penderitaan dan kesedihan. Masa silamnya mencengkeram dan menghantui terus para pemeluknya yang kini hidup di dunia yang berbeda. Sikap seperti ini terus terbawa, bahkan ketika mereka berkuasa. Kata Dabashi, dendam dan semangat perlawanan selalu mendominasi kehidupan orang Syi’ah, ”sejak Imam Husein di Karbala, Ayatullah Khomeini di Iran, Muqtada al-Sadr di Iraq, hingga Hassan Nasrallah di Lebanon... Syi’ah adalah mayoritas dengan kompleks minoritas.”



Bibliografi:

1. Dabashi, Hamid. Shi'ism: A Religion of Protest. Cambridge, Mass.: The Belknap Press of Harvard University Press, 2011.
2. Dabashi, Hamid. Theology of Discontent: The Ideological Foundation of the Islamic Revolution in Iran. New Brunswick, NJ: Transaction Publishers, 2006.
3. Hitti, Philip K. History of the Arabs. 8th ed. London, New York,: Macmillan; St. Martin's Press, 1963.
4. Hodgson, Marshall G. S. The Classical Age of Islam. Chicago: University of Chicago Press, 1974.
5. Hodgson, Marshall G. S. The Venture of Islam : Conscience and History in a World Civilization. 3 vols. Chicago: University of Chicago Press, 1974.