div id='fb-root'/>
  • CAKNUN.
  • Bersama Zastrow el-ngatawi
  • Jombang 1-5 Agustus 2015.

Rabu, 16 Oktober 2013

WAHABISME DAN KAPITALISME BERTAUT DI MAKKAH

Betapa berubahnya Mekah. Duduk di salah satu sudut Masjidil Haram ketika matahari meredakan panasnya, kita bisa merasakan bayang-bayang sebuah bangunan yang menjangkau langit dari arah Selatan.

Memang: di seberang gerbang Baginda Abdul Aziz, berdiri sebuah super-gedung, (baru diresmikan Agustus tahun ini), yang disebut Abraj al Bait. Raksasa ini lebih dari 600 tingginya: menara waktu yang paling jangkung sedunia. Empat muka jam di puncaknya masing-masing berbentuk mirip Big Ben di London, meskipun mengalahkannya dalam ukuran: diameternya masing-masing 46 m, dengan jarum panjang yang melintang 22 meter. Dan berbeda dari Big Ben, di jidatnya yang diterangi dua juta lampu LED tertulis الله أكبر, “Allahu Akbar.”

Di Abraj al Bait ada 20 lantai pusat perbelanjaan dan sebuah hotel dengan 800 kamar. Juga tempat tinggal. Garasenya bisa menampung 1000 mobil. Tapi para tamu dan penghuni juga bisa datang dengan helikopter (ada lapangan untuk menampung dua pesawat), karena ini memang tempat bagi mereka yang mampu menyewa, atau memiliki, kendaraan terbang itu. Ongkos semalam di salah satu kamar di Makkah Clock Royal Tower bisa mencapai 7.000.000 rupiah.

Dari ruang yang disejukkan AC itu orang-orang dengan duwit berlimpah bisa memandang ke bawah — ya, jauh ke bawah — mengamati ribuan muslimin yang bertawaf mengelilingi Kaabah bagai semut yang berputar mengitari sekerat coklat.

Saya tak bisa membayangkan, bagaimana dari posisi itu akan ada orang yang bisa menulis seperti Hamka di tahun 1938. Apa kini artinya “di bawah lindungan Kaabah”? Justru kubus sederhana tapi penuh aura itu yang sekarang seakan-akan dilindungi gedung-gedung jangkung, terutama Abraj al Bait yang begitu megah dan gemerlap — dengan 21.000 lampunya yang memancar sampai sejauh 30 km dan membuat rembulan di langit pun mungkin tersisih.

Betapa berubahnya Mekah. Atau jangan-jangan malah berakhir. “It is the end of Mekkah“, kata Irfan al-Alawi, direktur pelaksana Islamic Heritage Research Foundation di London kepada The Guardian. Nada suaranya murung seperti juga suara Sami Angawy.

Hampir 40 tahun yang lalu arsitek ini mendirikan Pusat Penelitian Ibadah Haji di Jeddah. Dengan masygul ia menyaksikan transformasi Mekah berlangsung di bawah kuasa para pengusaha properti dan pengembang. “Mereka ubah tempat ziarah suci ini jadi mesin, sebuah kota tanpa identitas, tanpa peninggalan sejarah, tanpa kebudayaan dan tanpa lingkungan alam. Bahkan mereka renggut gunung dan bukit.”

Angawy, 64 tahun, mungkin terlalu romantis. Ia mungkin tak mau tahu hukum permintaan dan penawaran: jumlah orang yang pergi haji makin lama makin naik; kalkulasi masa depan mendesak. Mekah harus siap. Tapi Angawy justru melihat di situlah perkaranya. Ia menyaksikan “lapisan-lapisan sejarah” Mekah dibuldoser dan dijadikan lapangan parkir.

Akhirnya ia, yang lahir di Mekah, menetap di Jeddah, di rumah pribadinya yang didesain dengan gaya tradisional Hijaz. Ketika Abraj al Bait dibangun seperti Big Ben yang digembrotkan (“meniru seperti monyet”, kata Angawy) ia merasa kalah total. Ia lebih suka tinggal di Kairo.

Tapi bisakah transformasi Mekah dicegah? Kapitalisme membuat sebuah kota seperti seonggok besi yang meleleh, untuk kemudian dituangkan dalam cetakan yang itu-itu juga. Dengan catatan: dalam hal Mekah, bukan hanya karena “komersialisasi Baitullah” kota suci itu hilang sifat uniknya. Angawy menyebut satu faktor tambahan yang khas Arab Saudi: paham Wahabi.

Wahabisme, kata Angawy, adalah kekuatan di belakang dihancurkannya sisa-sisa masa lalu. Dalam catatannya, selama 50 tahun terakhir, sekitar 300 bangunan sejarah telah diruntuhkan. Paham yang berkuasa di Arab Saudi ini hendak mencegah orang jadi “syrik” bila berziarah ke petilasan Nabi, bila menganggap suci segala bekas yang ditinggalkan Rasulullah – dan sebab itu harus disembah.

Sejarah Arab Saudi mencatat dihapusnya peninggalan sejarah itu secara konsisten. April 1925, di Madinah, kubah di makam Al-Baqi’ diruntuhkan. Beberapa bagian qasidah karya al-Busiri (1211–1294) yang diukir di makam Nabi sebagai himne pujaan ditutupi cat oleh penguasa agar tak bisa dibaca. Di Mekah, makam Khadijjah, isteri Nabi, dihancurkan. Kemudian tempat di mana rumahnya dulu berdiri dijadikan kakus umum.

Contoh lain bisa berderet, juga protes terhadap tindakan penguasa Wahabi itu. Di awal 1926, di Indonesia berdiri “Komite Hijaz” di kediaman K. H. Abdul Wahab Khasbullah di Surabaya, ekspresi keprihatinan para ulama.

Reaksi dari seluruh dunia Islam itu berhasil menghentikan destruksi itu. Tapi kini, di abad ke-21, Wahabisme dan kapitalisme bertaut, dan Mekkah berubah.

Mengherankan sebenarnya. Di sebuah tulisan dari tahun 1940 Bung Karno mengutip buku Julius Abdulkarim Germanus, Allah Akbar, Im Banne des Islams. Di sana Bung Karno menggambarkan kaum Wahabi sebagai orang-orang yang dengan keras dan angker mencurigai “kemoderenan”; mereka bahkan membongkar antena radio dan menolak lampu listrik. Tapi kini, seperti tampak di kemegahan Abraj al Bait bukan hanya lampu listrik yang diterima, tapi juga transformasi Mekah jadi semacam London & Las Vegas. Apa yang terjadi?

Mungkin sikap dasar Wahabisme tak berubah. Menghapuskan petilasan (menidakkan masa lalu), sebagaimana menampik “kemoderenan”, (menidakkan masa depan) adalah sikap yang anti-Waktu. Jam besar di Abraj al Bait itu akhirnya hanya menjadikan Waktu sebagai jarum besi. Benda mati. Dan bagi yang menganggap Waktu benda mati, yang ada hanya rumus-rumus ibadah tanpa proses sejarah.

Tapi apa arti perjalanan ziarah, tanpa menapak tilas sejarah dan menengok yang pedih dan yang dahsyat di masa silam?

Mungkin piknik instan ke kemewahan.