div id='fb-root'/>
  • CAKNUN.
  • Bersama Zastrow el-ngatawi
  • Jombang 1-5 Agustus 2015.

Minggu, 07 April 2013

ARSITEK CANDI BOROBUDUR DAN PRAMBANAN ADALAH "WONG TEMANGGUNG"

Tulisan ini menyajikan pandangan lain tentang sepak terjang Sri Maharaja Rakai Pikatan Mpu Manuku, Raja Mataram Kuno dari “Temanggung” yang kadang terlupakan, karena tenggelam dalam kemasyhuran nama Raja Samaratungga, yang selama ini diketahui sebagai tokoh dibalik pembangunan Candi Borobudur. Padahal bukan tidak mungkin, sebenarnya justru Rakai Pikatanlah yang membangun Candi Borobudur, dan juga Candi Prambanan.

  • Sejarah yang kita ketahui sekarang, biasanya dikenal melalui tulisan orang pada jaman dahulu yang berupa prasasti atau peninggalan lain yang terkadang tidak lengkap, atau bahkan juga sangat tergantung pada tendensi atau tujuan si pembuat prasasti tersebut, misalnya saja demi kemasyhuran namanya, atau demi pengakuan dari rakyatnya. Sehingga untuk melengkapinya, arkeolog kadang memasukkan dugaan-dugaan atau perkiraan mereka, agar kisah pada masa lalu tersebut bisa memiliki benang merah, tak terkecuali kisah tentang Rakai Pikatan. Seorang Maharaja Mataram kuno, bekas Penguasa Watek Pikatan, suatu wilayah yang kini merupakan salah satu nama desa di Kabupaten Temanggung.


    Selain didasarkan pada bukti-bukti sejarah yang telah diketahui dari berbagai Prasasti, tulisan ini juga menuangkan pandangan penulis tentang kisah hidup Rakai Pikatan. Mungkin tulisan ini akan terasa aneh, bagi pemerhati sejarah yang telah hapal dengan Kisah Candi Borobudur yang telah diketahui selama ini. Namun seperti penjelasan diatas, sejarah adalah sekumpulan dugaan dari orang yang tidak mengalami masa tersebut. Maka sah-sah saja jika penulis juga menuangkan dugaan-dugaannya dalam tulisan ini. Karena bukan tidak mungkin, tulisan ini nantinya justru akan menjadi salah satu versi tersendiri dari rangkaian sejarah Kerajaan Medang atau Kerajaan Mataram Kuno.


    Pada masa KERAJAAN MEDANG atau KERAJAAN MATARAM KUNO diperintah oleh SRI MAHARAJA RAKAI GARUNG, atau juga dikenal dengan nama RAJA SAMARATUNGGA, Saat itu WATEK PIKATAN dipimpin oleh MPU MANUKU ( Prasasti Argapura, 852 M ). Sehingga Mpu Manuku bergelar RAKAI PIKATAN. WATEK adalah struktur kekuasaan wilayah yang membawahi wilayah WANUA atau desa. Artinya Watek adalah wilayah yang terdiri dari beberapa desa. Sedangkan RAKAI berarti PENGUASA DI. Jadi Rakai Pikatan berarti Penguasa di Pikatan.

    Sedari muda, Rakai Pikatan telah ahli di bidang agama, sesuai agama yang dianutnya yaitu Hindu Syiwa, tak heran jika pada masa muda, dia telah dipanggil MPU MANUKU, MPU adalah panggilan kehormatan bagi orang yang ahli dalam bidang tertentu. Rakai Pikatan selain berotak cerdas, juga memiliki ambisi yang sangat besar untuk bisa menguasai tanah Jawa. Sayangnya, ambisinya tersebut terhalangi oleh wangsa atau dinasti dan agama yang dianutnya, karena Raja Samaratungga dan sebagian besar rakyat Kerajaan Medang berasal dari Wangsa Syailendra yang menganut agama Budha aliran Mahayana. Sedangkan Rakai Pikatan berasal dari Wangsa Sanjaya dan menganut agama Hindu aliran Syiwa. Terlebih, Kerajaan Medang justru terpecah karena adanya perbedaan wangsa tersebut.

    Cara yang paling mudah untuk meraih ambisinya adalah dengan cara menikahi Putri semata wayang Raja Samaratungga yaitu PUTRI MAHKOTA PRAMODHAWARDHANI ( Prasasti Kayumwungan, 824 M ). Rakai Pikatan mencoba mendekati Raja Samaratungga untuk mengambil hatinya. Agar bisa mendekati Raja Samaratungga, Rakai Pikatan menyamarkan identitas dan wangsanya. Maka Rakai Pikatan mengaku sebagai arsitek dari India bernama GUNADHARMA. Guna berarti manfaat dan Dharma berarti kebaikan, nama ini dipilih oleh Rakai Pikatan karena mau tak mau, dia harus bisa berbakti dan berjasa besar bagi wangsa dan agama rajanya, dengan harapan semoga dharma yang dilakukannya untuk wangsa dan agama lain, bisa membawa manfaat bagi kehidupannya. Gunadharma menawarkan kepada Raja Samaratungga untuk membangun sebuah tempat pemujaan bagi agama Budha, dan disepakati oleh Raja Samaratungga dan dibangun di BUMI SHAMBARA. Sehingga tempat pemujaan itu diberi nama SHAMBARA BUDDHURA yang sekarang lebih dikenal dengan nama CANDI BOROBUDUR.

    Setelah Candi Borobudur selesai dibangun sekitar tahun 825 M. Raja Samaratungga menjadi sangat dikagumi rakyatnya. Namanya bahkan menjadi masyhur hingga ke seluruh dunia. Karenanya, Raja Samaratungga merasa berhutang budi dan sangat menyayangi Gunadharma, bahkan setelah mengetahui jatidiri asli Gunadharma yang sesungguhnya adalah Rakai Pikatan, yang bahkan berasal dari wangsa Sanjaya dan beragama Hindu. Hal tersebut karena Rakai Pikatan terlihat bersungguh-sungguh dalam mendharmakan hidupnya untuk membangun tempat pemujaan bagi wangsa Syailendra.

    Sesuai rencana Rakai Pikatan, Raja Samaratungga akhirnya berkenan menikahkannya dengan PRAMODHAWARDHANI ( Prasasti Wantil, 856 M ). Konon, pernikahan ini sempat ditentang oleh BALAPUTRADEWA, yakni adik Raja Samaratungga dari istri selir ayahandanya yang bernama SRI MAHARAJA RAKAI WARAK atau SAMARAGRHAWIRA ( Prasasti Kelurak, 782 M ). Untuk meredam kemarahan Balaputradewa, Raja Samaratungga memberikan tahta KERAJAAN SRIWIJAWA di SWARNADWIPA, atau Pulau Sumatra. Kerajaan Sriwijaya memang telah ditaklukkan oleh kakek Raja Samaratungga dan juga kakek Balaputradewa yaitu RAJA INDRA atau DHARAINDRA atau RAKAI PANARABAN atau SRI MAHARAJA RAKAI PANUNGGALAN, ( Prasasti Nalanda, 860 M ).

    Setelah menikahi Putri Pramodhawardani, pada tahun 847 M. Rakai Pikatan menggantikan jabatan mertuanya sebagai Raja Kerajaan Medang atau Kerajaan Mataram Kuno dan memiliki gelar SRI MAHARAJA RAKAI PIKATAN MPU MANUKU. Pada masa tersebut, jabatan terakhir sebelum menjadi raja memang sering dicantumkan sesudah jabatan Sri Maharaja dan sebelum nama aslinya.

    Melihat kemegahan Candi Borobudur, rakyat yang berwangsa Sanjaya merasa dikesampingkan hingga timbul rasa tidak puas atas pemerintahan Rakai Pikatan, karena mereka yang sama-sama berwangsa Sanjaya dan beragama Hindu Syiwa seperti rajanya, justru tidak memiliki tempat peribadatan sendiri. Bahkan seorang Rakai dari watek Walaing yang bernama RAKAI WALAING MPU KUMBHAYONI berusaha memberontak untuk membuat kekuasaan sendiri. Dia membuat benteng pertahanan dari tumpukan batu di atas bukit Ratu Baka. Namun, dengan dibantu anak bungsunya yang bernama RAKAI KAYUWANGI DYAH LOKAPALA, Rakai Pikatan berhasil mengalahkan Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni ( Prasasti Wantil, 856 M ).

    Tak ingin kejadian seperti itu terulang, Sri Maharaja Rakai Pikatan Mpu Manuku membangun Candi bagi Wangsanya sendiri yaitu Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu Syiwa dan diberinama SYIWAGRAHA atau kini lebih dikenal dengan nama CANDI PRAMBANAN. Sehingga, rakyat yang berwangsa Sanjaya pun merasa senang dan makin mencintai rajanya. Setelah itu, kepemimpinan Sri Maharaja Rakai Pikatan Mpu Manuku makin dikagumi rakyat. Wangsa Syailendra dan Wangsa Sanjaya hidup rukun dan damai serta taat pada sang Raja. Sesuai dengan ambisinya pula, Sri Maharaja Rakai Pikatan Mpu Manuku makin memperluas daerah kekuasaanya hingga ke seluruh Jawa Tengah. Pada saat itu, wilayah Kerajaan Medang atau Kerajaan Mataram Kuno meliputi daerah yang dikelilingi oleh Gunung dan Pegunungan serta Sungai, yaitu Pegunungan Serayu, Gunung Prau, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Ungaran, Pegunungan Kendang, Gunung Lawu, Gunung Sewu dan Gunung Kidul. Pada puncak kejayannya, Rakai Pikatan memindahkan ibukota kerajaan dari Mataram ke MAMWRATI dan Istana Kerajaannya dinamakan MAMWRATIPURA, sehingga kadang dia juga dikenal dengan nama SRI MAHARAJA RAKAI MAMWRATI MPU MANUKU.

    Pada tahun 855 M. Rakai Pikatan mengundurkan diri sebagai raja untuk menjadi seorang brahmana. Tahta diserahkan kepada anak bungsunya yang telah berjasa dalam mengalahkan pemberontakan Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni yakni Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. Sedangkan Rakai Pikatan sendiri setelah menjadi brahmana berganti nama menjadi SANG JATININGRAT. Sekitar satu tahun kemudian yaitu pada tahun 856 M., Sang Jatiningrat Rakai Pikatan meninggal dunia dan di semayamkan di DESA PASTIKA ( Prasasti Wantil, 856 M ). Sumber : COPAS Dari. https://www.facebook.com/groups/temanggungberdiskusi/doc/442551212421775/