KH. Ahmad Dahlan Tremas
(+1862-1911): Gurunya para ulama Falak, juga gurunya pendiri organisasi
Muhammadiyah, dan ayahanda pendiri NU pertama di Bali....
Anda tahu siapa
gurunya KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, hingga yg terakhir ini ganti
nama dari Muhammad Darwis Yogyakarta menjadi KH. Ahmad Dahlan karena mengikuti
nama gurunya itu...?
Ya
dialah Kiai Haji Ahmad Dahlan Tremas – dikenal pula dengan sapaan “as-Samarani”
(yang bertempat tinggal di Semarang). Salah seorang ulama ahli falak keturunan
pendiri Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Murid KH. Saleh Darat Semarang
ini dikenal sebagai seorang penulis kitab ilmu falak berjudul
Tadzkiratu-l-Ikhwan fi Ba’dli Tawarikhi wal A’mali-l-Falakiyati, Bulughu-l
Wathar dan Natijatu-l-Miqat.
Kiai
Ahmad Dahlan lahir di Tremas, Pacitan, sekitar tahun 1279 H/1862 dari pasangan
KH. Abdullah bin KH. Abdul Mannan Dipomenggolo dan Nyai Siti Aminah. Kakeknya,
KH. Abdul Manan Dipomenggolo (wafat 1862), adalah pendiri Pesantren Tremas,
Pacitan, di tahun 1830. Sementara ayahnya, KH. Abdullah, melanjutkan
kepemimpinan pesantren dari tahun 1862 hingga wafatnya di Mekah pada tahun
1894. Beliau mengantar keempat putra-putranya, Mahfuzh, Ahmad Dahlan, Dimyathi
dan Abdurrozak, naik haji dan belajar selama bertahun-tahun di Mekah. Kecuali
Syekh Mahfuzh Tremas, mereka kembali ke Tanah Air di penghujung tahun 1896.
Perjuangan Kiai Abdullah tidaklah sia-sia. Semua putra beliau menjadi ulama
besar. Syekh Mahfudz Tremas (wafat 1920), adalah guru besar dan ulama kenamaan
di Mekah. KH. Dimyathi menjadi pelanjut kepemimpinan Pesantren Tremas. KH.
Muhammad Bakri menjadi ulama ilmu al-Quran. KH. Abdurrozaq jadi ulama dan
mursyid Tarekat Syadziliyah yang berbasis di Tremas. Sementara KH. Ahmad Dahlan
sendiri menjadi ulama falak.
Sejak
kecil Kiai Ahmad Dahlan belajar pertama kali di pesantren ayahnya di Tremas,
lalu menuju Mekah belajar pada ulama-ulama Hijaz termasuk kepada sang kakak
beliau sendiri, Syekh Mahfuzh Tremas. Di kota suci itu beliau bersahabat erat
dengan Syekh Muhammad Hasan Asy’ari asal Bawean (wafat sekitar tahun 1921 di
Pasuruan, Jawa Timur) yang dikenal juga ulama ahli falak dengan karyanya
Muntaha Nataiji-l-Aqwal. Keduanya kemudian berangkat menuju beberapa wilayah di
Tanah Arab dan menuju ke Al-Azhar. Di Kairo inilah keduanya bertemu dua ulama
besar Nusantara yaitu Syekh Jamil Djambek dan Syekh Ahmad Thahir Jalaluddin Al
Azhar dan secara khusus mengkhatamkan kitab al-Mathla’ as-Sa’id fi
Hisabi-l-Kawakib ala-r-Rashdi-l-Jadid, sebuah kitab induk ilmu falak yang
ditulis Syekh Husein Zaid al-Mishri dari awal abad 19.
Usai
belajar di kampus al-Azhar Kiai Ahmad Dahlan Tremas berangkat menuju Mekah dan
berpamitan pada kakaknya untuk pulang ke Jawa. Sebelum berangkat pulang bersama
Syekh Hasan Asy’ari, beliau diberi pesan oleh kakaknya untuk mampir ke Darat,
Semarang, untuk berguru pada KH. Muhammad Saleh Darat.
Selama
nyantri di Pesantren Darat, Semarang, beliau menjadi santri favorit, dan
diminta membantu gurunya mengajar. Kiai Abu Bakar Kediri adalah salah seorang
murid beliau, yang selalu menulis dalam kitab-kitab yang dipelajarinya dengan
kata “Syaikhani” yang berarti KH. Saleh Darat dan KH. Ahmad Dahlan Tremas.
Pendiri organisasi Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan, juga berguru kepada kedua
ulama besar ini. Waktu nyantri di Semarang, Kiai Ahmad Dahlan masih menggunakan
nama H. Muhammad Darwis. Setelah kembali ke Yogyakarta, beliau kemudian ganti
nama menjadi KH. Ahmad Dahlan – mengikuti nama gurunya tersebut.
Kiai Ahmad Dahlan mengajar ilmu falak dan sempat menyelesaikan tiga buah kitab falak, yaitu Tadzkiratu-l-Ikhwan fi Ba’dli Tawarikhi wal A’mali-l-Falakiyati (selesai ditulis pada tahun 1901), Natijatu-l-Miqat dan Bulughu-l Wathar (selesai ditulis pada tahun 1903).
Kiai Ahmad Dahlan mengajar ilmu falak dan sempat menyelesaikan tiga buah kitab falak, yaitu Tadzkiratu-l-Ikhwan fi Ba’dli Tawarikhi wal A’mali-l-Falakiyati (selesai ditulis pada tahun 1901), Natijatu-l-Miqat dan Bulughu-l Wathar (selesai ditulis pada tahun 1903).
Kitab
Natijatu-l-Miqat berisi penggunaan rubu’ mujayyab (alat hitung tradisonal yang
didesain dengan bentuk seperempat lingkaran sehingga membetuk sudut siku-siku)
dalam penentuan awal waktu salat dan arah kiblat. Kitab ini merangkum pemikiran
guru-gurunya, seperti Syeikh Husain Zaid Mesir, Syekh Abdurrahman bin Ahmad
al-Misri, Syekh Muhammad bin Yusuf al-Makki, hingga KH. Saleh Darat. Pada tahun
1930 kitab ini disyarah atau diberi komentar oleh Syekh Ihsan Jampes Kediri
(wafat 1952) dalam kitabnya Tashrihu-l-Ibarat. Sedangkan kitab Tadzkiratu-l-Ikhwan
fi Ba’dli Tawarikhi wal A’mali-l-Falakiyati berisi perhitungan ijtima’ dan
gerhana dengan mabda’ (basis perhitungan) kota Semarang, dengan menggunakan
sistem haqiqi taqribi. Sejumlah ulama ilmu falak merujuk kepada kitab beliau
ini. Di antaranya KH. Abdul Jalil Hamid Kudus (wafat 1974) dalam karyanya
Fathu-r- Ra’uf al-Mannan, KH. Mohammad Wardan, seorang ulama ahli falak
organisasi Muhammadiyah dalam karyanya Hisab Haqiqi, dan KH. Yunus Abdulloh
Kediri, pengarang kitab Risalatu-l-Qamarain.
Sementara
kitab Bulughu-l Wathar membahas perhitungan gerhana bulan dan gerhana matahari,
dengan memakai sistem haqiqi tahqiqi. Konon kitab ini disebut sebagai kitab
hisab falak pertama dengan sistem tahqiqi yang ditulis oleh ulama Indonesia.
Kitab ini ditulis bersamaan dengan kitab Muntaha Nataiji-l-Aqwal yang ditulis
sahabat beliau, Syekh Hasan Asy’ari Bawean. Kedua kitab ini merujuk kepada
kitab al-Mathla’ as-Sa’id karya Syekh Husain Zaid al-Mishri.
Karya-karya Kiai Ahmad Dahlan Tremas, Syekh Hasan Asy’ari Bawean maupun Kiai Saleh Darat mempengaruhi perkembangan ilmu falak, serta membuka dinamika ilmu falak dalam dunia keilmuan pesantren. Mereka mempunyai kesadaran untuk mengabadikan disiplin ilmu mereka itu dalam bentuk karya monumental hingga bisa dibaca dan dijadikan pegangan oleh generasi peminat kajian ilmu falak di masa-masa selanjutnya. Dengan karya-karya mereka, masa depan ilmu falak tetap akan cerah di Indonesia, dan tidak akan surut.
Karya-karya Kiai Ahmad Dahlan Tremas, Syekh Hasan Asy’ari Bawean maupun Kiai Saleh Darat mempengaruhi perkembangan ilmu falak, serta membuka dinamika ilmu falak dalam dunia keilmuan pesantren. Mereka mempunyai kesadaran untuk mengabadikan disiplin ilmu mereka itu dalam bentuk karya monumental hingga bisa dibaca dan dijadikan pegangan oleh generasi peminat kajian ilmu falak di masa-masa selanjutnya. Dengan karya-karya mereka, masa depan ilmu falak tetap akan cerah di Indonesia, dan tidak akan surut.
Kiai
Ahmad Dahlan menikah pertama kali dengan Nyai Ummu Kulsum Semarang, dan
dikaruniai seorang putra bernama Ahmad (1899-1976). Putra beliau ini – dikenal
dengan nama KH. Ahmad al-Hadi – kemudian menjadi ulama terkenal di Bali,
pendiri pesantren di Kampung Timur Sungai, Jembrana, tahun 1930 dan pendiri NU
pertama di Loloan, Negara, Bali, di tahun 1934.
Setelah
Kiai Saleh Darat wafat di tahun 1903, Kiai Ahmad Dahlan meneruskan perjuangan
gurunya itu dalam mengasuh Pesantren Darat selama delapan tahun lebih. KH. Ahmad Dahlan Tremas
wafat pada hari Ahad tanggal 7 Syawal tahun 1329 H/ 1911 dan dimakamkan di
pemakaman umum Bergota Semarang, dimana pusara beliau berjejer dengan makam
gurunya, KH. Saleh Darat Semarang.
Lahul
Fatihah....
Sumber : Ahmad Baso
Tidak ada komentar:
Posting Komentar