Oleh : Muhammad Ainun Najib.
JUDUL ini harus dikasih tanda petik di awal dan akhir,
karena sesungguhnya itu istilah ngawur dari sudut apapun kecuali dari sisi
iktikad baik tentang cinta kemanusiaan.
Islam bukan kostum drama, sinetron atau tayangan-tayangan
teve Ramadhan. Islam itu substansi nilai, juga metodologi. Ia bisa memiliki
kesamaan atau perjumpaan dengan berbagai macam substansi nilai dan metodologi
lain, baik yang berasal dari “agama” lain, dari ilmu-ilmu sosial modern atau
khasanah tradisi. Namun sebagai sebuah keseluruhan entitas, Islam hanya sama
dengan Islam.Bahkan Islam tidak sama dengan tafsir Islam. Tidak sama
dengan pandangan pemeluknya yang berbagai-bagai
tentang Islam. Islam tidak sama dengan Sunni, Syi’i, Muhammadiyah, NU, Hizbut
Tahrir dan apapun saja aplikasi atas tafsir terhadap Islam. Islam yang
sebenar-benarnya Islam adalah dan hanyalah Islam yang sejatinya dimaksudkan
oleh Allah.
Semua pemeluk Islam berjuang dengan pandangan-pandangannya masing-masing mendekati sejatinya Islam. Sehingga tidak ada satu kelompok pun yang legal dan logis untuk mengklaim bahwa Islam yang benar adalah Islamnya kelompok ini atau itu. Kalau ada teman melakukan perjuangan “islamisasi”, “dakwah Islam”, “syiar Islam”, bahkan perintisan pembentukan “Negara Islam Indonesia” — yang sesungguhnya mereka perjuangkan adalah Islamnya mereka masing-masing
Dan
Islamnya si A si B si C tidak bisa diklaim sebagai sama dengan Islamnya Allah
sejatinya Islam. Demikianlah memang hakikat penciptaan Allah atas kehidupan.
Sehingga Islam bertamu ke rumahmu tidak untuk memaksamu menerimanya. La ikraha fid-din. Tak ada paksaan dalam Agama, juga tak ada paksaan
dalam menafsirkannya. Tafsir populer atas Islam bahkan bisa menggejala sampai
ke tingkat pelecehan atas Islam itu sendiri.
Islam bisa hanya disobek-sobek, diambil salah satu sobekannya yang menarik bagi seseorang karena enak dan sesuai dengan seleranya. Islam bisa diperlakukan hanya dengan diambil salah satu unsurnya, demi mengamankan psikologi subyektif seseorang sesudah hidupnya ia penuhi dengan pelanggaran-pelanggaran terhadap Islam.
Islam bisa hanya disobek-sobek, diambil salah satu sobekannya yang menarik bagi seseorang karena enak dan sesuai dengan seleranya. Islam bisa diperlakukan hanya dengan diambil salah satu unsurnya, demi mengamankan psikologi subyektif seseorang sesudah hidupnya ia penuhi dengan pelanggaran-pelanggaran terhadap Islam.
Islam
bisa hanya diambil sebagai ikon untuk mengkamuflase kekufuran, kemunafikan,
kemalasan pengabdian, korupsi atau keculasan. Islam bisa dipakai untuk menipu
diri, diambil satu faktor pragmatisnya saja: yang penting saya sudah tampak
tidak kafir, sudah merasa diri bergabung dengan training shalat, sudah
kelihatan di mata orang lain bahwa saya bagian dari orang yang mencari sorga,
berdzikir, ingat keserakahan diri dan keserakahan itu bisa dihapus dengan
beberapa titik air mata di tengah ribuan jamaah yang berpakaian putih-putih
bagaikan pasukan Malaikat Jibril.
Sedemikian
rupa sehingga kita selenggarakan dan lakukan berbagai formula dunia modern,
industri liberal, mode
show, pembuatan film, diskusi pengajian,
yang penting dikasih kostum Islam. Tentu saja tidak usah kita teruskan sampai
tingkat menyelenggarakan tayangan “Gosip Islami”, “Lokalisasi Pelacuran
Islami”, “Peragaan Busana Renang Wanita Muslimah” atau pertandingan volley ball wanita Muslimah berkostum mukena putih-putih.
Sampai kemudian dengan tolol dan ahistoris kita resmikan salah satu hari ganjil
di tengah sepuluh hari terakhir Ramadhan sebagai Hari Valentine Islami….
Tapi
sesungguhnya saya serius dengan makna Hari Kasih Sayang Islam versi Rasulullah
Muhammad SAW. Fathu
Makkah, yang diabadikan dalam Al Qur’an
sebagai Fathan Mubina, kemenangan yang nyata, terjadi pada Bulan Ramadhan,
tepatnya pada tanggal 10 Ramadhan tahun ke-8 Hijriyah. Pasukan Islam dari
Madinah merebut kembali kota Makkah. Diizinkan Allah memperoleh kemenangan
besar. Ribuan tawanan musuh diberi amnesti massal….
Rasulullah
berpidato kepada ribuan tawanan perang: “…hadza laisa yaumil malhamah, walakinna hadza yaumul
marhamah, wa antumut thulaqa….”.
Wahai manusia, hari ini bukan hari pembantaian, melainkan hari ini adalah hari
kasih sayang, dan kalian semua merdeka kembali ke keluarga kalian
masing-masing. Pasukan Islam mendengar pidato itu merasa shockjuga.
Berjuang hidup mati, diperhinakan, dilecehkan sekian lama, ketika kemenangan
sudah di genggaman: malah musuh dibebaskan. Itu pun belum cukup. Rasulullah
memerintahkan pampasan perang, berbagai harta benda dan ribuan onta, dibagikan
kepada para tawanan.
Sementara
pasukan Islam tidak memperoleh apa-apa. Sehingga mengeluh dan memproteslah
sebagian pasukan Islam kepada Rasulullah. Mereka dikumpulkan dan Muhammad SAW
bertanya: “Sudah berapa lama kalian bersahabat denganku?” Mereka menjawab:
sekian tahun, sekian tahun…. “Selama kalian bersahabat denganku, apakah menurut
hati kalian aku ini mencintai kalian atau tidak mencintai kalian?”Tentu saja
sangat mencintai. Rasulullah mengakhiri pertanyaannya: “Kalian memilih
mendapatkan onta ataukah memilih cintaku kepada kalian?” Menangislah mereka
karena cinta Rasulullah kepada mereka tidak bisa dibandingkan bahkan dengan
bumi dan langit. Tentu saja, andai kita berada di situ sebagai bagian dari
pasukan Islam, kelihatannya kita menjawab agak berbeda: “Sudah pasti kami
memilih cinta Rasulullah, tapi kalau boleh mbok ya
juga diberi onta dan emas barang segram dua gram…?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar