Sebuah sejarah yang hilang dari ibnu taymiah
Para pengagum beliau menganggap bahwa ahli fikih dan hafiz hadis dari mazhab Hambali ini adalah musuh kaum sufi, dan beliau merupakan tokoh utama gerakan “Salafi” yang bertanggungjawab atas lahirnya gerakan masa sekarang yang mengarah pada ketidaktahuan sama sekali berkenaan dengan tasawuf. Padahal, Ibn Taymîyah sendiri sebenarnya adalah seorang sufi. Kaum “Salafi” berhati-hati sekali untuk tidak pernah memperlihatkan Ibn Taymîyah yang sufi, seakan beliau secara tegas menghalangi gerakan antisufi, yang mereka arahkan kepada beliau.Perbincangan Ibn Taymîyah mengenai tasawuf penuh dengan hal-hal yang bertentangan dan membingungkan. Meskipun beliau menyamaratakan semua jenis tudingan terhadap kaum sufi, beliau tidak dapat mengingkari keagungan tasawuf seperti yang disepakati oleh umat, jauh sebelum beliau muncul. Walhasil, beliau sering tersaksikan merendahkan tasawuf, mempertanyakan orang-orang sufi sezamannya, dan membuat keutamaan kelompok kecil kaum Muslim ini menjadi kelompok biasa-biasa saja. Pada saat yang sama, beliau berbangga sebagai orang sufi dari tarekat Qâdiriyyah yang memiliki garis suksesi langsung ke Syekh ‘Abd al-Qâdir al-Jîlâni, sebagaimana ditunjukkan dalam uraian berikut.
Hendaknya jelas bahwa alasan dikutipnya bukti-bukti berikut ini bukan karena pengarang menganggap Ibn Taymîyah sebagai tokoh yang merepresentasikan tasawuf. Labih tepatnya, beliau tidak merepresentasikan tasawuf lebih dari merepresentasikan akidah Islam arus utama. Pandangan beliau dikutip di sini hanya untuk menunjukkan bahwa penggambaran yang salah tentang beliau oleh para orientalis dan kaum “Salafi” sebagai musuh tasawuf tidaklah didasarkan pada penelitian yang cermat. Tanpa memerhatikan perasaan kelompok manapun, berbagai fakta jelas membuktikan bahwa Ibn Taymîyah tidak punya pilihan selain harus menerima tasawuf dan dasar-dasar ajarannya. Lebih jauh lagi, fakta-fakta menunjukkan bahwa beliau ini bukan hanya mengaku sebagai seorang sufi, akan tetapi juga suka mengenakan mantel (khirqah) ke-syekh-an dalam tradisi tarekat Qâdiriyyah.
Sebagaimana disebutkan di atas, Ibn Taymîyah sangat kagum sekali pada ‘Abd al-Qâdir al-Jîlâni, orang yang digelarinya sebagai “Guru Sufi-ku” (syaikhunâ) dan “Tuan-ku” (sayyidî) secara eksklusif di dalam keseluruhan isi kitabnya Fatâwâ. Kecenderungan sufistik dari Ibn Taymîyah dan ketakzimannya kepada ‘Abd al-Qâdir al-Jîlâni dapat juga dilihat dalam syarah seratus halamannya tentang Futûh al-Ghaib. Syarah itu sendiri hanya meliput lima khutbah dari keseluruhan tujuh puluh delapan khutbah, akan tetapi menunjukkan bahwa Ibn Taymîyah menganggap tasawuf sangat mendasar dalam kehidupan masyarakat Islam.152
Dalam penjelasannya itu, Ibn Taymîyah menegaskan bahwa keharusan mendahulukan syariah membentuk suatu tradisi yang paling sahih dalam tasawuf. Untuk menegaskan hal ini beliau menyebutkan lebih dari selusin tokoh terdahulu, demikian juga syekh-syekh sufi yang lebih kini seperti rekannya dari mazhab Hanbali, yaitu al-Anshari al-Harâwî dan ‘Abd al-Qâdir, dan guru dari ‘Abd al-Qâdir sendiri, yaitu Hammad al-Dabbâs:
Orang-orang yang tulus di antara para pengikut mirip-Jalan mayoritas para syekh terdahulu (syuyûkh al-salaf) seperti Fudhail Ibn Iyadh, Ibrâhîm Ibn Adham, Ma`rûf al-Karkhi, al-Sârî al-Saqati, al-Junaid Ibn Muhammad, dan guru-guru sufi awal lainnya, seperti Syekh ‘Abd al-Qâdir, Syekh Hammâd, Syekh Abu al-Bayân dan yang lainnya di antara para tokoh sufi yang belakangan—tidak mengizinkan para pengikut jalan sufi meninggalkan perintah dan larangan syariah, bahkan sekalipun orang itu dapat terbang di udara atau berjalan di atas air.153
Di sana-sini, Ibn Taymîyah membela kaum sufi sebagai orang-orang yang mengikuti jalan sunah sebagaimana tergambarkan pada ajaran-ajaran dan tulisan-tulisan mereka:
Para syekh besar yang disebutkan oleh Abu ‘Abd al-Rahmân al-Sulâmî dalam Thabaqât al-Shûfiyyah, dan ‘Abd al-Qâsim al-Qusyayrî dalam al-Risâlah, adalah para penganut mazhab Suni dan mazhab ahli hadis, seperti Fudhail Ibn `Iyadh, al-Junaid Ibn Muhammad, Sahl Ibn Abdullah al-Tustari, Amr Ibn Utsman al-Makki, Abu ‘Abd Allah Muhammad Ibn Kafîf al-Sîrâzi, dan yang lain-lainnya. Perkataan-perkataan mereka didasarkan pada Sunah dan mereka mengarang buku-buku tentang Sunah.154
Dalam risalahnya tentang perbedaan antara bentuk-bentuk ibadah yang sunah dan yang bidah,155 Ibn Taymîyah menyatakan secara pas bahwa cara yang mengikuti sunah adalah metode dan cara yang dilakukan oleh “mereka yang mengikuti jalan sufi,” atau “jalan pengingkar nafsu” (zuhd), dan mereka yang mengikuti “apa yang disebut kaum fakir dan tasawuf (yaitu, fukara dan kaum sufi):
Yang sahih adalah cara yang dilakukan oleh orang yang berusaha mendekati Allah. Itulah jalan Allah. Itulah kesalehan, ketaatan, perbuatan baik, ihsan dan kebenaran. Itulah jalan dari orang-orang yang mengikuti jalan sufi (al-sâlikîn), dan metode yang digunakan oleh orang-orang yang menuju Allah dan menghamba kepada-Nya; itulah jalan yang ditempuh oleh setiap orang yang menghendaki Allah dan mengikuti jalan pengingkaran nafsu (zuhud) dan tuntunan agama, dan apa yang disebut dengan kefakiran dan tasawuf dan yang serupa dengannya.156
Berkaitan dengan ajaran ‘Abd al-Qâdir bahwa penempuh jalan sufi (sâlik), harus kosong dari keinginan-keinginan yang dibolehkan, Ibn Taymîyah menetapkan bahwa maksud ‘Abd al-Qâdir adalah bahwa seseorang seharusnyalah membuang hal-hal yang diperbolehkan yang tidak dilarang, karena mungkin di dalamnya ada bahaya. Sejauh mana? Apabila pada dasarnya Islam itu adalah mengetahui dan mengemban perintah-perintah Tuhan, maka harus ada cara bagi para pejuang di jalan itu untuk menetapkan kehendak Allah pada setiap situasi tertentu. Ibn Taymîyah mengakui bahwa Alquran dan Sunah tidaklah meliputi setiap peristiwa yang mungkin dalam kehidupan setiap orang mukmin. Meskipun demikian, apabila tujuan dari ketundukkan pada kehendak dan kemauan Allah harus dipenuhi oleh mereka yang mencari-Nya, maka harus ada cara buat orang-orang yang berusaha keras untuk memastikan perintah Tuhan itu dalam bentuk-bentuk khususnya.
Jawaban Ibn Taymîyah adalah menerapkan konsep ijtihad yang syah dalam tarekat, khususnya dalam penggunaan ilhâm, atau inspirasi. Dalam usaha menyatukan antara kemauannya dan kemauan Allah, seorang sufi yang benar mencapai suatu keadaan di mana ia tidak menginginkan apa pun lebih dari menemukan kebaikan yang lebih besar, yang paling menyenangkan dan paling disukai oleh Allah. Tatkala dasar-dasar hukum lahir tidak dapat mengarahkan dia dalam soal-soal semacam itu, ia dapat mengandalkan pandangan-pandangan sufi standar yang diperoleh dari inspirasi (ilhâm) perorangan dan persepsi yang bersifat perasaan (dzauq):
Apabila seorang penempuh jalan Sufi telah secara kreatif berupaya melihat indikasi syariah yang bersifat lahiriah dan melihat tidak adanya kemungkinan yang jelas sekaitan dengan tindakan yang lebih ia sukai, bisa jadi kemudian ia merasa mendapat ilham, selaras dengan kebaikan niat dan ketakwaanya kepada Allah, untuk memilih salah satu di antara dua tindakan yang lebih unggul dari yang lainnya. Ilham jenis ini merupakan petunjuk menuju kebenaran. Bahkan mungkin saja ia merupakan petunjuk yang lebih kuat dibandingkan dengan qiyas (analogi) yang lemah, hadis yang lemah, argumen-argumen harfiah yang lemah (zhawâhir), dan praduga kebersambungan yang lemah (istishhâb) yang digunakan oleh banyak orang yang mempelajari prinsip-prinsip, perbedaan-perbedaan, dan sistematisasi fikih.157
Ibn Taymîyah mendasarkan pandangannya ini pada prinsip bahwa Allah telah memberikan kecenderungan yang alami terhadap kebenaran pada umat manusia, dan apabila kecenderungan alami ini didasarkan pada hakikat iman dan disinari oleh ajaran Alquran, dan para pejuang di jalan ini tidak dapat menetapkan kemauan Allah secara persis dalam keadaan khusus, maka hatinya akan menunjukkan kepadanya arah tindakan yang harus ditempuh. Ilham semacam ini, yang ia dapatkan, merupakan sumber paling kuat yang mungkin dalam situasi demikian. Pejuang tersebut tentu saja kadang-kadang melakukan kesalahan, dibimbing secara salah oleh inspirasi atau persepsinya melalui intuisi tentang situasi tertentu, sebagaimana halnya seorang mujtahid kadang-kadang juga melakukan kesalahan. Meskipun demikian, Ibn Taymîyah mengatakan, bahkan kalau seorang mujtahid atau pejuang yang mendapat ilham itu salah sekalipun, ia telah melakukan ketaatan.
Mengikuti ilham atau dzauq bukanlah berarti mengikuti hawa nafsu atau kesukaannya sendiri.158 Dalam suratnya kepada Nasr al-Manbiji, Ibn Taymîyah mengkualifikasikan intuisi ini sebagai “al-dzauq al-îmânî” (yang diberitahu oleh rasa keimanan). Yang ingin beliau tegaskan, sebagaimana termuat di dalam penjelasannya mengenai al-Futûh, adalah bahwa pengalaman yang bekaitan dengan ilham menurut sifat dasarnya adalah meragukan, dan perlu dikualifikasi dan diberi keterangan dengan kriteria-kriteria Alquran dan Sunah. Dalam pandangannya ilham tidaklah juga menggiring pada kebenaran. Yang dapat dilakukan oleh ilham hanyalah memberikan landasan-landasan yang kokoh bagi orang beriman dalam memilih arah tindakan yang mungkin lebih benar dalam suatu keadaan tertentu dan membantunya dalam menyesuaikan kemauannya, dalam hal-hal kecil yang spesifik dalam kehidupannya, dengan kemauan Penciptanya dan Pemberi perintah kepadanya.159
Karya-karya Ibn Taymîyah yang lainnya juga penuh dengan pujian kepada ajaran sufi. Sebagai contoh, dalam kitabnya al-Ihtijâj bi al-Qadar, beliau lebih membela penekanan kaum Sufi terhadap cinta kepada Allah dan sikap ikhlas mereka terhadap agama daripada pendekatan intelektual, selama sesuai dengan ajaran-ajaran Alquran, hadis sahih, dan ijmâ` al-salaf:
Adapun kaum sufi, mereka menegaskan cinta (kepada Allah), dan hal ini lebih nyata di kalangan mereka daripada semua masalah lainnya. Dasar dari Jalan mereka adalah tidak banyak kemauan dan cinta. Penegasan cinta kepada Allah begitu dikenal dalam pembicaraan tokoh-tokoh mereka, baik yang terdahulu atau yang sekarang, sebagaimana ditegaskan dalam Alquran, Sunah dan kesepakatan ulama salaf.160
Ibn Taymîyah juga terkenal karena pengingkarannya terhadap Ibn ‘Arabî. Meski demikian, apa yang dia ingkari bukanlah Ibn ‘Arabînya, tetapi bukunya yang sangat kecil yang berjudul Fushûsh al-Hikam, yang hanya terdiri dari satu jilid yang sangat tipis. Adapun mengenai magnum opus atau karya besarnya, yaitu al-Futûhât al-Makkiyyah, Ibn Taymîyah mengangumi karya besar ini tidak kurang dari semua orang lain di kalangan umat Islam yang melihatnya. Perasaannya diungkapkan dalam suratnya kepada ‘Abd al-Fath Nasr al-Maunaiji (w. 709H):
Saya adalah salah seorang di antara orang-orang yang, sebelumnya, suka mengambil pandangan terbaik dari Ibn ‘Arabî dan memberikan pujian kepadanya, karena banyak manfaat yang saya lihat dalam kitab-kitabnya, sebagaimana yang ia katakan dalam banyak kitabnya, sebagai contoh: al-Futûhât, al-Kanh, al-Muhkam al-Marbûth, al-Durrat al-Fâkhirah, Matâl al-Nujûm, dan karya-karya lainnya yang sejenis.161
Ibn Taymîyah selanjutnya mengatakan bahwa beliau mengubah pendapatnya, bukan karena sesuatu hal dalam kitab-kitab ini, akan tetapi hanya karena membaca kitab Fushûsh.
Sekarang marilah kita beralih pada bukti yang menunjukkan afiliasi Ibn Taymîyah dengan Tarekat Sufi Qâdiriyah dan pengakuan beliau sendiri bahwa beliau telah menerima khirqah, atau mantel kewenangan Qâdiriyyah dari ‘Abd al-Qâdir al-Jîlâni melalui satu rantai yang terdiri dari tiga syekh.162 Ketiga syekh ini tiada lain adalah tiga Ibn Qudâmah yang termasuk sumber rujukan yang diakui dalam mazhab Hambali.163
Dalam sebuah manuskrip Yusuf Ibn ‘Abd al-Hâdi al-Hanbali, Ibn Taymîyah dimasukkan dalam satu silsilah spiritual sufi bersama ulama-ulama Hambali terkenal lainnya. Mata rantai dari silsilah ini, secara menurun, adalah:
1. ‘Abd al-Qâdir al-Jîlâni (w. 561H)
2. a. Abu `Umar Ibn Qudâmah (w. 607H)
2 b. Muwaffaq al-Dîn Ibn Qudâmah (w. 620H)
3. Ibn Abi `Umar Ibn Qudâmah (w. 682H)
4. Ibn Taymîyah (w. 728H)
5. Ibn Qayyîm al-Jawziyyah (w. 751H)
6. Ibn Rajab (w. 795H)
Kedua Abu Umar Ibn Qudâmah dan saudaranya Muwaffaq al-Dîn Ibn Qudâmah menerima khirqah secara langsung dari ‘Abd al-Qâdir.
Ibn Taymîyah kemudian dikutip oleh Ibn ‘Abd al-Hâdi ketika menegaskan afiliasi sufinya pada tarekat Qâdiriyyah dan tarekat-tarekat sufi lainnya.
Saya mengenakan mantel sufi dari sejumlah syekh dari berbagai tarekat (labitstu khirqat al-tashawwuf min thuruqi jamâ`atin min al-syuyûkhi), di antara mereka adalah syaikh ‘Abd al-Qâdir al-Jîli [=al-Jîlâni], yang tarekatnya merupakan tarekat paling agung di antara tarekat-tarekat yang terkenal.
Lebih jauh beliau mengatakan:
Tarekat yang paling agung (ajall al-thuruq) adalah tarekat majikanku (sayyidî) ‘Abd al-Qâdir al-Jîli [al-Jîlâni], semoga Allah memberikan rahmat kepadanya.165
Bukti lebih jauh yang membenarkan hal ini datang dari Ibn Taymîyah dalam salah satu karyanya sendiri:
Aku mengenakan mantel sufi yang diberkati dari ‘Abd al-Qâdir, antara beliau denganku ada dua syekh (labist al-khirqat al-mubârakata li al-syaikh ‘Abd al-Qâdir wa bainî wa bainahû itsnâni)166
Ibn Taymîyah, karena itu, membenarkan bahwa beliau adalah seorang pembaca serius kitab al-Futûhât al-Makkiyyah Ibn ‘Arabî, beliau menganggap ‘Abd al-Qâdir al-Jîlaâni sebagai guru sufinya, dan beliau merupakan bagian dari jamaah Qâdiriyyah dan jamaah-jamaah sufi lainnya. Apa komentarnya tentang tasawuf dan kaum sufi pada umumnya?167
Dalam tulisannya yang berjudul al-Shûfiyyah wa al-Fuqarâ’ dan kitabnya Majmû`at Ffatâwâ Ibn Taimiyyah al-Kubrâ, beliau menyatakan:
Kata sufi tidak dikenal pada tiga abad pertama tapi penggunaannya menjadi sangat dikenal setelah itu. Lebih dari sejumlah imam dan syekh membicarakan tentangnya, seperti Ahmad Ibn Hanbal, Abu Sulaiman al-Dârâni, dan yang lainnya. Diceriterakan juga bahwa Shufyan al-Tsauri menggunakan istilah ini. Ada juga yang menyebutkan istilah itu berkenaan dengan Hasan al-Basri.168
Ibn Taymîyah kemudian menarik kesimpulan bahwa tasawuf berasal dari Bashrah di tengah beberapa generasi setelah tabiin, karena beliau mendapatkan bahwa kebanyakan dari kaum sufi awal berasal dari sana dan beliau tidak menemukan bukti-bukti keberadaannya di tempat lain. Dalam hal ini, beliau telah membatasi tasawuf secara salah pada suatu tempat dan waktu khusus tertentu, seraya memutusnya dari mata rantai yang berhubungan dengan masa Nabi saw. dan para sahabat. Ini merupakan salah satu penyimpulan yang tidak benar yang telah melahirkan pertanyaan-pertanyaan, di antara kaum “Salafi” masa sekarang, seperti “Di manakah tasawuf disebutkan di dalam Alquran dan Sunah?” Kepada para penanya semacam ini, Ibn `Ajîbah menjawab:
Pembangun dari ilmu tasawuf ini adalah Nabi saw. sendiri yang diajarinya oleh Allah melalui wahyu dan ilham.169
Dengan kemurahan Allah, kami telah memaparkan masalah ini dalam uraian yang panjang lebar mengenai dalil-dalil tentang tasawuf pada halaman-halaman sebelumnya.
Ibn Taymîyah melanjutkan:
Tasawuf meliputi haqâ’iq (hakekat-hakekat) dan ahwâl (keadaan pengalaman rohani) yang diungkapkan oleh para sufi dalam ilmu mereka … Sebagian orang mengatakan bahwa sufi adalah orang yang membersihkan dirinya dari segala sesuatu yang mengganggu dirinya dari ingat kepada Allah dan menyibukkan dirinya dengan perenungan tentang hari akhirat, sampai-sampai antara emas dan batu akan sama saja nilainya bagi mereka. Sebagian lain mengatakan bahwa tasawuf adalah memelihara nilai-nilai yang mulia dan meninggalkan keinginan-keinginan terhadap kemasyhuran dan hal yang tak berguna, dan yang sejenisnya. Oleh karena itu, makna dari sufi bersentuhan dengan makna shiddîq atau seseorang yang telah mencapai kepercayaan sempurna, karena sebaik-baiknya umat manusia setelah para nabi adalah shiddîqîn, sebagaimana Allah telah sebutkan di dalam ayat: Dan barangispa yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, mereka akan bersama-sama dengan orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu: para nabi, shiddîqîn (para wali yang berkepercayaan penuh), syuhada, dan orang-orang yang saleh. Betapa indahnya pertemanan dengan mereka! (Q.S. al-Nisâ [4]: 69).
Oleh karena itu, mereka beranggapan bahwa setelah para nabi tidak ada lagi seseorang yang lebih mulia daripada seorang sufi, dan seorang sufi, pada hakekatnya, adalah sejenis shiddîqîn tersebut, yang mengkhususkan diri dalam zuhud dan ibadah (al-Shûfi huwa fi al-haqîqati nau`un min al-shiddîqîna fa huwa al-shiddîq al-ladzî ikhtashsha bi al-zuhdi wa al-`ibâdat) Seorang Sufi adalah “seorang saleh dari kalangan tarekat,” sebagaimana yang lain-lainnya disebut dengan “orang-orang saleh dari kalangan ulama” dan “orang-orang saleh dari kalangan penguasa”…
Sebagian orang mengkritik para pengikut sufi dan mengatakan bahwa mereka adalah ahli bidah dan keluar dari sunah … tapi yang sebenarnya adalah mereka itu melakukan ijtihad dalam rangka menaati Allah sebagaimana telah dilakukan juga oleh lainnya yang taat kepada Allah. Maka dari mereka kamu akan menemukan al-sâbiq al-muqarrab (orang yang paling unggul dalam kedekatan) sebagai hasil dari perjuangannya…., sementara sebagian dari mereka adalah dari Golongan Kanan … dan di antara mereka yang mengaku-aku berafiliasi dengan mereka, ada yang tidak jujur pada dirinya sendiri, dengan durhaka kepada Tuhannya. Mereka inilah kelompok ahli bidah dan berfikiran bebas (zindiq) yang mengaku-aku berafiliasi dengan kaum sufi akan tetapi dalam pandangan para sufi sejati, mereka tidak termasuk ke dalamnya, contohnya adalah al-Hallâj.170
Tasawuf telah bercabang dan berbeda-beda, sedangkan para sufi terbagi ke dalam tiga jenis:
1. Shûfiyyat al-haqâ’iq: kaum sufi sejati, yakni mereka yang kami sebutkan di atas;
2. Shûfiyyat al-arzâq: kaum sufi pencari rezeki yang hidup dengan infak-infak dari rumah-rumah singgah dan madrasah-madrasah sufi; tidak selayaknya mereka masuk ke dalam golongan haqâ’iq, yang merupakan kelompok paling jarang…
3. Shûfiyyat al-rasm: kaum sufi dalam penampilan fisik saja, yang hanya tertarik untuk menonjolkan nama dan menampakkan pakaian, dst.171
Adapun tentang fanâ’ (fana), yaitu istilah yang digunakan oleh kaum sufi secara harfiah untuk menunjukkan peluruhan atau peluruhan-diri, dan syathahât, atau pernyataan-pernyataan para sufi yang mengungkapkan perasaan ketuhanannya, Ibn Taymîyah mengatakan:
Keadaan cinta ini merupakan ciri khusus dari banyak para Pecinta Allah dan para Pencari (Ahl al-irâdah). Seseorang lenyap dalam dirinya sendiri karena tujuan cintanya—yaitu Allah—melalui kedalaman cintanya. Dia akan menghadirkan Allah, bukan menghadirkan dirinya, mengingat Allah dan melupakan dirinya, mempersaksikan Allah dan tidak mempersaksikan dirinya, berada dalam Allah dan tidak berada untuk dirinya. Apabila ia telah mencapai tingkatan ini, ia tidak lagi merasakan keberadaan dirinya. Itulah sebabnya mengapa dalam keadaan ini ia bisa saja mengatakan, ana al-haqq (saya adalah Yang Benar), atau subhânî (Mahasuci Aku), dan mâ fi al-jubbat illâ Allâh (Tidak ada sesuatu pun di dalam mantelku selain Allah), karena ia sedang mabuk kepayang dalam cinta kepada Allah dan ini merupakan sejenis kesenangan dan kebahagiaan yang tidak dapat dikontrol olehnya ….
Persoalan ini mengandung kebenaran sekaligus kesalahan. Apabila seseorang, melalui kegairahannya, memasuki keadaan dimabuk cinta (`isyq) kepada Allah, ia akan meninggalkan pikirannya, dan apabila ia memasuki keadaan tidak sadar diri, ia akan mendapatkan dirinya seolah-olah sedang menerima konsep ittihâd (penyatuan dengan Allah). Saya tidak menganggap bahwa hal ini adalah suatu dosa, karena orang tersebut dimaafkan dan tidak seorangpun boleh menghukumnya karena ia tidak sadar atas apa yang ia lakukan. Pena tidak menyalahkan seorang yang hilang ingatan, kecuali apabila ia telah pulih kesadarannya (dan melakukan tindakan yang sama). Meskipun demikian, apabila ia dalam keadaan tersebut dan melakukan tindakan salah, maka ia akan termasuk ke dalam orang yang dimaksud oleh firman Allah: Wahai Tuhan kami, janganlah engkau menghukum kami apabila kami bertindak lupa atau berbuat salah (Q.S. al-Baqarah [2]: 286). Tidak ada cela atasmu apabila kamu tidak berniat melakukan suatu kesalahan.172
Ada sebuah kisah tentang dua orang yang saling mencintai begitu kuat sehingga pada suatu hari, tatkala salah seorang di antara keduanya jatuh ke laut, yang satunya ikut menceburkan diri, kemudian yang pertama bertanya: “Apa yang membuatmu jatuh ke sini seperti aku?” Temannya itu menjawab, “Aku sudah luruh di dalam dirimu dan tidak lagi melihat diriku. Aku kira engkau ini adalah aku dan aku adalah engkau”… Oleh karena itu, selama seseorang tidak mabuk karena sesuatu yang dilarang, tindakannya itu dapat diterima, akan tetapi apabila ia mabuk karena sesuatu yang dilarang (jadi niatnya adalah buruk) maka ia tidak dapat dimaafkan.173
Kutipan-kutipan di atas menunjukkan keluasan yang sesungguhnya dari keakraban Ibn Taymîyah dengan jalur-jalur tasawuf yang begitu luas. Pengetahuan seperti ini tak lain hanyalah bagian dari pendidikan seseorang yang menyatakan memiliki pengetahuan, pada masa Ibn Taymîyah dan sebelum masanya. Tasawuf bukanlah hal di luar dari dan tak dikenal dalam struktur besar ilmu-ilmu keislaman. Namun demikian, dalam hubungannya dengan akidah yang diurai di atas, kesalahfahaman Ibn Taymîyah jauh lebih besar daripada pemahamannya tentang tasawuf. Hal ini dijelaskan dengan kecermatan yang mirip pembedahan oleh seorang syekh sufi besar Ibn ‘Athâ’ Allah dalam perdebatannya dengan Ibn Taymîyah di mesjid al-Azhar, Kairo.
Sumber : Tasawuf dan Ihsan : Syeikh Muhammad Hisyam Al Kabbani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar