WAHABI: “Mengapa Anda menilai kami kaum Wahabi termasuk aliran sesat,
dan bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Padahal rujukan kami sama-sama
Kutubus-Sittah (Kitab Standar Hadits yang enam).?”
SUNNI: “Sebenarnya kami hanya merespon Anda saja. Justru Anda yang
selalu menyesatkan kelompok lain, padahal ajaran Anda sebenarnya yang
sesat.”
WAHABI: “Di mana letak kesesatan ajaran kami kaum Wahabi?”
SUNNI: “Kesesatan ajaran Wahabi menurut kami banyak sekali. Antara
lain berangkat dari konsep tauhid yang sesat, yaitu pembagian tauhid
menjadi tiga.”
WAHABI: “Kok bisa Anda menilai pembagian tauhid menjagi tiga termasuk konsep yang sesat. Apa dasar Anda?”
SUNNI: “Begini letak kesesatannya. Pembagian Tauhid menjadi tiga,
yaitu Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyyah dan Tauhid al-Asma’ wa
al-Shifat, belum pernah dikatakan oleh seorangpun sebelum Ibn Taimiyah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga tidak pernah berkata kepada
seseorang yang masuk Islam, bahwa di sana ada dua macam Tauhid dan kamu
tidak akan menjadi Muslim sebelum bertauhid dengan Tauhid Uluhiyyah.
Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam juga tidak pernah mengisyaratkan hal
tersebut meskipun hanya dengan satu kalimat. Bahkan tak seorangpun dari
kalangan ulama salaf atau para imam yang menjadi panutan yang
mengisyaratkan terhadap pembagian Tauhid tersebut. Hingga akhirnya
datang Ibn Taimiyah pada abad ketujud Hijriah yang menetapkan konsep
pembagian Tauhid menjadi tiga.”
WAHABI: “Anda mengerti maksud tauhid dibagi tiga?”
SUNNI: “Kenapa tidak mengerti?
Menurut Ibn Taimiyah Tauhid itu terbagi menjadi tiga:
Pertama, Tauhid Rububiyyah, yaitu pengakuan bahwa yang menciptakan, memiliki dan mengatur langit dan bumi serta seisinya adalah Allah saja. Menurut Ibn Taimiyah, Tauhid Rububiyyah ini telah diyakini oleh semua orang, baik orang-orang Musyrik maupun orang-orang Mukmin.
Kedua, Tauhid Uluhiyyah, yaitu pelaksanaan ibadah yang hanya ditujukan kepada Allah. Ibn Taimiyah berkata, “Ilah (Tuhan) yang haqq adalah yang berhak untuk disembah. Sedangkan Tauhid adalah beribadah kepada Allah semata tanpa mempersekutukan-Nya”.
Ketiga, Tauhid al-Asma’ wa al-Shifat, yaitu menetapkan hakikat nama-nama dan sifat-sifat Allah sesuai dengan arti literal (zhahir)nya yang telah dikenal di kalangan manusia.
Pandangan Ibn Taimiyah yang membagi Tauhid menjadi tiga tersebut kemudian diikuti oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, perintis ajaran Wahhabi. Dalam pembagian tersebut, Ibn Taimiyah membatasi makna rabb atau rububiyyah terhadap sifat Tuhan sebagai pencipta, pemilik dan pengatur langit, bumi dan seisinya. Sedangkan makna ilah atau uluhiyyah dibatasi pada sifat Tuhan sebagai yang berhak untuk disembah dan menjadi tujuan dalam beribadah.
Tentu saja, pembagian Tauhid menjadi tiga tadi serta pembatasan makna-maknanya tidak rasional dan bertentangan dengan dalil-dalil al-Qur’an, hadits dan pendapat seluruh ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah.”
Menurut Ibn Taimiyah Tauhid itu terbagi menjadi tiga:
Pertama, Tauhid Rububiyyah, yaitu pengakuan bahwa yang menciptakan, memiliki dan mengatur langit dan bumi serta seisinya adalah Allah saja. Menurut Ibn Taimiyah, Tauhid Rububiyyah ini telah diyakini oleh semua orang, baik orang-orang Musyrik maupun orang-orang Mukmin.
Kedua, Tauhid Uluhiyyah, yaitu pelaksanaan ibadah yang hanya ditujukan kepada Allah. Ibn Taimiyah berkata, “Ilah (Tuhan) yang haqq adalah yang berhak untuk disembah. Sedangkan Tauhid adalah beribadah kepada Allah semata tanpa mempersekutukan-Nya”.
Ketiga, Tauhid al-Asma’ wa al-Shifat, yaitu menetapkan hakikat nama-nama dan sifat-sifat Allah sesuai dengan arti literal (zhahir)nya yang telah dikenal di kalangan manusia.
Pandangan Ibn Taimiyah yang membagi Tauhid menjadi tiga tersebut kemudian diikuti oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, perintis ajaran Wahhabi. Dalam pembagian tersebut, Ibn Taimiyah membatasi makna rabb atau rububiyyah terhadap sifat Tuhan sebagai pencipta, pemilik dan pengatur langit, bumi dan seisinya. Sedangkan makna ilah atau uluhiyyah dibatasi pada sifat Tuhan sebagai yang berhak untuk disembah dan menjadi tujuan dalam beribadah.
Tentu saja, pembagian Tauhid menjadi tiga tadi serta pembatasan makna-maknanya tidak rasional dan bertentangan dengan dalil-dalil al-Qur’an, hadits dan pendapat seluruh ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah.”
WAHABI: “Maaf, dari mana Anda berkesimpulan, bahwa pembagian dan
pembatasan makna tauhid versi kami kaum Wahabi bertentangan dengan
al-Qur’an, hadits dan aqwal ulama?”
SUNNI: “Ayat-ayat al-Qur’an, hadits-hadits dan pernyataan para ulama
Ahlussunnah Wal-Jama’ah, tidak ada yang membedakan antara makna Rabb
(rububiyah) dan makna Ilah (uluhiyah). Bahkan dalil-dalil al-Qur’an dan
hadits mengisyaratkan adanya keterkaitan yang sangat erat antara Tauhid
Rububiyyah dengan Tauhid Rububiyyah. Apabla seseorang telah bertauhid
rububiyyah, berarti bertauhid secara uluhiyyah. Allah subhanahu wata’ala
berfirman:
وَلاَ يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلاَئِكَةَ وَالنَّبِيِّيْنَ أَرْبَابًا
Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai arbab (tuhan-tuhan). (QS. Ali-Imran : 80).
Ayat di atas menegaskan bahwa orang-orang Musyrik mengakui adanya
Arbab (tuhan-tuhan rububiyyah) selain Allah seperti Malaikat dan para
nabi. Dengan demikian, berarti orang-orang Musyrik tersebut tidak
mengakui Tauhid Rububiyyah, dan mematahkan konsep Ibn Taimiyah dan
Wahhabi, yang mengatakan bahwa orang-orang Musyrik mengakui Tauhid
Rububiyyah. Seandainya orang-orang Musyrik itu bertauhid secara
rububiyyah seperti keyakinan kaum Wahabi, tentu redaksi ayat di atas
berbunyi:
وَلاَ يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلاَئِكَةَ وَالنَّبِيِّيْنَ آَلِهَةً
Dengan mengganti kalimat arbaban dengan aalihatan.”
WAHABI: “Tapi kan baru satu ayat yang bertentangan dengan tauhid kami kaum Wahabi.”
SUNNI: “Loh, kok ada tapinya. Kalau sesat ya sesat, walaupun
bertentangan dengan satu ayat. Dengan ayat lain juga bertentangan.
Konsep Ibn Taimiyah yang mengatakan bahwa orang-orang kafir sebenarnya
mengakui Tauhid Rububiyyah, akan semakin fatal apabila kita
memperhatikan pengakuan orang-orang kafir sendiri kelak di hari kiamat
seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an al-Karim:
تَاللهِ إِنْ كُنَّا لَفِي ضَلاَلٍ مُبِينٍ (97) إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ (98)
Demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang
nyata, karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan (Rabb) semesta alam.
(QS. al-Syu’ara’ : 97-98).”
Coba Anda perhatikan. Ayat tersebut menceritakan tentang penyesalan
orang-orang kafir di akhirat dan pengakuan mereka yang tidak mengakui
Tauhid Rububiyyah, dengan menjadikan berhala-berhala sebagai arbab
(tuhan-tuhan rububiyyah). Padahal kata Wahabi, orang-orang Musyrik
bertauhid rububiyyah, tetapi kufur terhadap uluhiyyah. Nah, alangkah
sesatnya tauhid Wahabi, bertentengan dengan al-Qur’an. Murni pendapat
Ibnu Taimiya yang tidak berdasar, dan ditaklid oleh Wahabi.”
WAHABI: “Maaf, kan baru dua ayat. Mungkin ada ayat lain, agar kami lebih mantap bahwa tauhid Wahabi memang sesat.”
SUNNI: “Pendapat Ibn Taimiyah yang mengkhususkan kata Uluhiyyah terhadap makna ibadah bertentangan pula dengan ayat berikut ini:
يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللهُ
الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ، مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلاَّ أَسْمَاءً
سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ
Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang
bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu
tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama
yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. (QS. Yusuf : 39-40).
Anda perhatikan, Ayat di atas menjelaskan, bagaimana kedua penghuni
penjara itu tidak mengakui Tauhid Rububiyyah dan menyembah tuhan-tuhan
(arbab) selain Allah. Padahal kata Ibnu Taimiyah dan Wahabi, orang-orang
Musyrik pasti beriman dengan tauhid rububiyyah.
Disamping itu, ayat berikutnya menghubungkan ibadah dengan
Rububiyyah, bukan Uluhiyyah, sehingga menyimpulkan bahwa konotasi makna
Rububiyyah itu pada dasarnya sama dengan Uluhiyyah. Orang yang bertauhid
rububiyyah pasti bertauhid uluhiyyah. Jadi konsep tauhid Anda
bertentangan dengan ayat di atas.”
WAHABI: “Mungkin tauhid kami hanya bertentangan dengan al-Qur’an.
Tapi sejalan dengan hadits. Jangan Anda jangan terburu-buru
menyesatkan.”
SUNNI: “Anda ini lucu. Kalau konsep tauhid Anda bertentangan dengan
al-Qur’an, sudah pasti bertentangan dengan hadits. Konsep pembagian
Tauhid menjadi tiga kalian akan batal pula, apabila kita mengkaitkannya
dengan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Misalnya dengan
hadits shahih berikut ini:
عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ
( يُثَبِّتُ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ) قَالَ
نَزَلَتْ فِي عَذَابِ الْقَبْرِ فَيُقَالُ لَهُ مَنْ رَبُّكَ فَيَقُولُ
رَبِّيَ اللهُ وَنَبِيِّي مُحَمَّدٌ صلى الله عليه وسلم. (رواه مسلم 5117).
Dari al-Barra’ bin Azib, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Allah berfirman, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman
dengan ucapan yang teguh itu”, (QS. Ibrahim : 27). Nabi J bersabda,
“Ayat ini turun mengenai azab kubur. Orang yang dikubur itu ditanya,
“Siapa Rabb (Tuhan)mu?” Lalu dia menjawab, “Allah Rabbku, dan Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam Nabiku.” (HR. Muslim, 5117).
Coba Anda perhatikan. Hadits di atas memberikan pengertian, bahwa
Malaikat Munkar dan Nakir akan bertanya kepada si mayit tentang Rabb
(Tuhan Rububiyyah), bukan Ilah (Tuhan Uluhiyyah, karena kedua Malaikat
tersebut tidak membedakan antara Rabb dengan Ilah atau antara Tauhid
Uluhiyyah dengan Tauhid Rububiyyah. Seandainya pandangan Ibn Taimiyah
dan Wahabi yang membedakan antara Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyyah
itu benar, tentunya kedua Malaikat itu akan bertanya kepada si mayit
dengan, “Man Ilahuka (Siapa Tuhan Uluhiyyah-mu)?”, bukan “Man Rabbuka
(Siapa Tuhan Rububiyyah-mu)?” Atau mungkin keduanya akan menanyakan
semua, “Man Rabbuka wa man Ilahuka? Ternyata pertanyaan tersebut tidak
terjadi. Jelas ini membuktikan kesesatan Tauhid ala Wahabi.”
WAHABI: “Maaf, seandainya kami hanya salah melakukan pembagian Tauhid
di atas, apakah kami Anda vonis sebagai aliran sesat? Apa alasannya?”
SUNNI: “Nah, ini rahasianya. Anda harus tahu, apa sebenarnya makna
yang tersembunyi (hidden meaning) dibalik pembagian Tauhid menjadi tiga
tersebut? Apabila diteliti dengan seksama, dibalik pembagian tersebut,
maka ada dua tujuan yang menjadi sasaran tembak Ibnu Taimiyah dan
Wahabi:
Pertama, Ibn Taimiyah berpendapat bahwa praktek-pratek seperti
tawassul, tabarruk, ziarah kubur dan lain-lain yang menjadi tradisi dan
dianjurkan sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah termasuk
bentuk kesyirikan dan kekufuran. Nah, untuk menjustifikasi pendapat
ini, Ibn Taimiyah menggagas pembagian Tauhid menjadi tiga, antara lain
Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyyah. Dari sini, Ibn Taimiyah
mengatakan bahwa sebenarnya keimanan seseorang itu tidak cukup hanya
dengan mengakui Tauhid Rububiyyah, yaitu pengakuan bahwa yang
menciptakan, memiliki dan mengatur langit dan bumi serta seisinya adalah
Allah semata, karena Tauhid Rububiyyah atau pengakuan semacam ini juga
dilakukan oleh orang-orang Musyrik, hanya saja mereka tidak mengakui
Tauhid Rububiyyah, yaitu pelaksanaan ibadah yang hanya ditujukan kepada
Allah. Oleh karena itu, keimanan seseorang akan sah apabila disertai
Tauhid Rububiyyah, yaitu pelaksanaan ibadah yang hanya ditujukan kepada
Allah.
Kemudian setelah melalui pembagian Tauhid tersebut, untuk
mensukseskan pandangan bahwa praktek-praktek seperti tawassul,
istighatsah, tabarruk, ziarah kubur dan lain-lain adalah syirik dan
kufur, Ibn Taimiyah membuat kesalahan lagi, yaitu mendefinisikan ibadah
dalam konteks yang sangat luas, sehingga praktek-praktek seperti
tawassul, istighatsah, tabarruk, ziarah kubur dan lain-lain dia
kategorikan juga sebagai ibadah secara syar’i. Padahal itu semua bukan
ibadah. Tapi bagian dari ghuluw yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah dan
Wahabi. Dari sini Ibn Taimiyah kemudian mengatakan, bahwa orang-orang
yang melakukan istighatsah, tawassul dan tabarruk dengan para wali dan
nabi itu telah beribadah kepada selain Allah dan melanggar Tauhid
Uluhiyyah, sehingga dia divonis syirik.
Tentu saja paradigma Ibn Taimiyah tersebut merupakan kesalahan di
atas kesalahan. Pertama, dia mengklasifikasi Tauhid menjadi tiga tanpa
ada dasar dari dalil-dalil agama. Dan kedua, dia mendefinisikan ibadah
dalam skala yang sangat luas sehingga berakibat fatal, yaitu menilai
syirik dan kufur praktek-praktek yang telah diajarkan oleh Rasulullah
SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASALLAM dan para sahabatnya. Dan secara tidak
langsung, pembagian Tauhid menjadi tiga tersebut berpotensi mengkafirkan
seluruh umat Islam sejak masa sahabat. Akibatnya yang terjadi sekarang
ini, berangkat dari Tauhid Rububiyyah dan Uluhiyyah, ISIS, membantai
umat Islam di Iraq dan Suriah.”
- Idrus Romli-
- Idrus Romli-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar