Sebuah Prolog
Pemikiran
Islam di Indonesia dalam seperempat abad terakhir telah mengalami kemajuan yang
berarti melalui pengkayaan tema yang tidak bisa dibilang konservatf. Tema itu
tidak lagi berputar-putar pada mata rantai teosentrik,
melainkan telah memasuki ruang yang betul-betul bersifat kultural,
teologis –antroposentrik, dan filosofis-sosiologis, dimana pemikiran
itu hadir. Ini tentu satu fase perkembangan baru yang membedakan dengan puluhan
tahun sebelumnya yang memiliki kecenderungan kuat menjadikan Islam sebagai
perjuangan politik ideologis di negeri ini, yang memaksa Islam harus dihadapkan
dengan ideologi-ideologi lain seperti nasionalisme
dan sosialisme.
Dari
tema-tema itu terlihat kegairahan berfikir kritis
dan “orisinal” melalui penawaran
pemikiran baru yang signifikan dan bermutu, yang tidak saja mendinamisasi
kinerja intelektual di Indonesia, melainkan juga bisa disejajarkan dengan
pemikir islam lainnya dibelahan bumi ini. Satu hal yang menarik adalah, bahwa
pemikiran keislaman tersebut lahir dan berkembang di dalam lingkungan iklim
politik sosial dan Orde Baru. Padahal pada masa itu seperti yang kita tahu, tak
seorang pun yang mengakui bahwa Orde Baru itu demokratis dan menyediakan ruang
publik (public sphere) yang cukup bagi tumbuh-kembangnya budaya
perbedaan pendapat. Dari sini penulis ingin mengkaji.
Dalam
penelitian ini yang dimaksud dengan Post-Tradisionalisme adalah satu aras baru
pemikiran yang sedang marak di Indonesia, label gerakan pemikiran ini, sejauh
yang penulis tahu sering dilekatkan pada tubuh kaum muda NU. Post-Tradisionalisme Islam lahir sebagai
inovasi dan kreatifitas intelektual muda Islam Indonesia hasil pembacaan dan
pergelutannya dengan para pemikir Islam mutakhir, terutama yang menjadi pioneer
intelektual Islam seperti Muhammad Arkoun, Nashr Hamid Abu-Zayd, Hasan Hanafi, Asghar
Ali Engineer dan Muhammad Abid al-Jabiri. Para pemikir tersebut memiliki ciri khas, yakni tidak hanya akomodatif dan
apresiatif terhadap tradisi, yang di barengi kegairahan untuk memperbaharui,
tetapi sekaligus juga memiliki komitmen sosial yang tinggi. Sedangkan yang dimaksud
dengan kaum muda NU adalah para mahasiswa/ pemuda yang tergabung dalam
organisasi dibawah naungan NU baik secara struktural maupun secara kultural.
Horison pemikiran islam di Indonesia
Adalah
kenyataan yang sulit dipungkiri bahwa sepanjang tahun 1970-an, 1980-an, hingga
medio 1990-an, Indonesia telah mencatat sebuah Kebangkitan Islam yang amat progresif dan begitu futuristik. Inilah
fenomena luar biasa dan mengejutkan apabila kenyataan itu dibandingkan dengan
apa yang disebut sebagai “Islamic
revival” yang sempat dialami Negara
jiran Malaysia dan beberapa Negara Islam lain yang kharismanya secara
tradisional di pertimbangkan lebih Islam dari Indonesia[1].
Sejumlah
studi, baik dalam kaitan tugas akademis maupun riset-riset ilmiah lainnya
menjelaskan perkembangan pemikiran Islam di Indonesia berikut tokoh-tokohnya.
Sekedar menyebut contoh, misalnya, adalah Clifford Geertz dalam The religion
of Java (1960), M. Syafi’I Anwar
dalam Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang
cendekiawan muslim orde baru (1995), Dedy Djamaludin Malik dan Idy Subandi Ibrahim dalam Zaman Baru Islam
Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik
(1998).
Para
pengkaji ini rata-rata meneliti perkembangan pemikiran Islam, pergolakan
gerakan Islam, dan tema-tema pokok pemikiran tokoh-tokoh Islam yang muncul
sekitar dekade 1970-an dan 1980-an, yang secara umum mereka sebut sebagai horizon
modernisasi Islam di Indonesia dan kemunculan “Islam Modenis”, atau lebih tegas seperti dijuluki Barton sebagai “Islam Neo-Modernis”.
Selama
dua dasawarsa tersebut, dipandu tekanan suatu rezim politik yang sangat
hegemonik terhadap umat Islam, harus diakui bahwa para pemikir muslim memang
tampak mengerahkan seluruh daya kreatifitas dan kritisisme berfikirnya dalam
rangka penguatan pembaruan pemikiran Islam, mengimbangi paksakan proyek Modernisasi Negara, bahkan rezim
internasional terhadap Indonesia. Sepamjang masa itu, entah sebagai “jawaban”, counter,
atau kritik, bisa kita catat telah
muncul beberapa tokoh utama yang menjadi “kebanggaan
nasional”. Melalui pembaharuan pemikiran Islam masing-masing sebagai
tawaran baru. Sekedar menyebut contoh, Nurcholis Madjid dengan label pemikiran “sekularisasi Islamnya”[2],
Abdurrahman Wahid dengan “pribumisasi
Islamnya”[3], Djohan
Effendi dengan “teologi kerukunannya”[4], dan
tokoh-tokoh lainnya.
Namun
demikian, oleh para pengamat barat (orientalis), kecenderungan studi keislaman
Indonesia model di atas lebih disebut sebagai kerja Indonesianists daripada
Islamist. Hal ini disebabkan oleh perhatian mereka yang lebih tertuju pada
persoalan-persoalan sosial, politik, atau ekonomi daripada aspek ajaran Islam
itu sendiri. Anggapan ini tentu tidak terlalu salah, akibat fokus perhatian
mereka yang memaksa untuk mensikapi realitas ketika rezim Orde Baru
secara sistematis dan terus-menerus melakukan intervensi secara berlebihan terhadap umat Islam dan bentuk-bentuk
pengamalan keagamaannya. Oleh karena itu, aspek metodologis dan substansi
ajaran Islam atau sumber-sumber pengambilannya yang selama ini disakralkan
tidak terjamah oleh pembaharuan mereka. Kalaupun masuk, mereka berhenti pada
kritik bangunan (sejarah) pemikiran Islam masa lalu tanpa memberikan tawaran
baru yang berarti. Mereka, sejauh ini, hanya mengadvokasi betapa pentingnya
kontekstualisasi, reaktualisasi, reinterpretasi, pribumisasi, maupun tema
sejenis, tanpa memberikan bukti contoh (rekonstruksi) pemikiran Islam baru
seperti apa yang tepat untuk zaman ini.
Disinilah
kegetiran di balik kemajuan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia dalam dua
puluh lima tahun terakhir, mungkin akibat tidak tuntasnya pemikiran mereka,
atau sebagai bentuk kegagalan gerakan Neo-Modernisme Islam di Indonesia,
pemikiran dan gerakan Islam fundamentalistik itu muncul kembali justru pada
saat beberapa tokoh Neo-Modernis muslim memegang tampuk kekuasaan negara. Ini
adalah sebuah ironi terbesar dalam sejarah perjuanagan Islam di negeri ini.
“Sekularisasi
Islamnya” Cak Nur tahun 1970-an sekarang dijawab dengan perjuangan memasukkan
“piagam Jakarta” dalam UUD 1945 dan pemberlakuan “Syari’at Islam” diberbagai
daerah. “Pribumisasi Islamnya” Gus Dur tahun 1980-an sekarang direspons dengan
maraknya simbol-simbol kearaban dan Timur Tengah sebagai simbol Islam. “Teologi
kerukunannya” Djohan Effendi tahun 1970-an sekarang dihadapkan dengan maraknya
konflik antar agama di berbagai daerah. Semua itu terjadi justru pada saat Gus
Dur dan Djohan Effendi berada di istana Negara, dan Cak Nur diposisikan sebagai
“Guru Bangsa”. Atau, mungkin akibat masuknya mereka ke dalam kekuasaan negara
itulah arah perjalanan pemikiran keislaman itu berbelok. Di titik inilah,
betapa arah sejarah pemikiran itu tidak selalu linier.
Gairah Baru pemikiran Generasi Muda
Nahdliyin
Kelompok
yang ingin dikatakan disini adalah generasi muda Nahdhatul Ulama, yang
tergabung dalam lembaga studi dan sosial, seperti komunitas LKiS (Lembaga
kajian Islam dan Sosial) Yogyakarta, elSAD (Lembaga studi agama dan Demokrasi)
Surabaya, Lakpesdam-NU (Lembaga Kajian dan Pengmbangan Sumberdaya Manusia)
Jakarta, Kaum Muda NU, PMII (pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), Bamboe
Moeda di Temanggung dan lain sebagainya.
Kelompok-kelompok
yang disebut diatas adalah komunitas kecil ilmiah Nahdliyin yang secara
intens tidak saja melakukan kajian dan penelitian atas berbagai pemikiran
keagamaan, filsafat, dan teori-teori social, tetapi juga terjun langsung ke
lapangan melakukan pendampingan, advokasi, dan dalam urusan tertentu juga
berdemonstrasi dihadapan penguasa. Sebagian besar latar sosial pemdidikan
mereka, selain mahasiswa atau sarjana, adalah pondok pesantren salafiyah (tradisional).
Basis
organisasi kemahasiswaannya selain dijajaran organisasi NU, juga di PMII.
Pernyataan menarik dari seorang antropolog asal Belanda, Martin van Bruinessen
terkait aktivitas mereka adalah sebagai berikut: “….dalam diskusi-diskusi informal dikalangan santri tua dan
mahasiswa berlatar belakang NU, perdebatan dan pencarian wacana baru
benar-benar hidup. Banyak diantara orang muda ini sudah berpengalaman dalam
berbagai kegiatan pengembangan masyarakat, dan memiliki kepedulian kepada masalah-masalah
keadilan social dan ekonomi. Organisasi mahasiswa yang berafiliasi ke NU, PMII,
selama beberapa tahun ini telah menjadi salah satu organisasi mahasiswa paling
dinamis dalam hal perdebatan intelektual. Kontras dengan mahasiswa Islam
Modernis, anggota PMII biasanya mempunyai penguasaan lebih baik terhadap ilmu
tradisional, tetapi bacaan mereka jauh lebih luas dari kurikulum tradisional
semata. Sementara para mahasiswa modernis masih banyak dipengaruhi para
pengarang Maududi dan Sayyid Qutb. Mahasiswa PMII memperlihatkanminta yang
besar kepada pengarang radikal, seperti Hassan Hanafi, filsuf mesir itu.
Diskusi-diskusi dilingkungan mereka akhir=akhir ini menjurus ke pokok persoalan
keterbelakangan Dunia Ketiga, keadilan ekonomi, dan hak asasi termasuk pertanyaan
yang sulit tentang hak perempuan dalam Islam. Perdebatan di lingkungan
mahasiswa ini akan semakin memberikan tekanan kepada ulama di Syuriyah untuk
menyoroti masalah-masalah yang sama dan memikirkan kembali banyak pangangan
fiqih yang sudah mapan.”[5]
Pernyataan
ini memperlihatkan suatu pengamatan yang jeli dan pengakuan akan adanya gerak
dinamika perubahan yang terjadi di lingkungan mereka, dan peran yang dimainkan
kaum muda NU. Secara perorangan memang tak seorang pun diantara mereka yang
tercatat berhasil menawarkan gagasan dan bangunan pemikirn baru yang
signifikan, sebagaimana tokoh-tokoh pemikir generasi 1970-an dan 1980-an.
Mereka dalam konteks ini masih menjadi konsumen pemikiran yang lahap. Apa saja
asal kritis, radikal, dn “nakal”
dikomsumsi dan ditularkan ke teman-temannya. Akan tetapi, secara kolektif
gerakan mereka harus diakui mempunyai pengaruh yang besar terhadap masyarakat
luas, baik kalangan terpelajar maupun non-pelajar, kalangan muda maupun tua,
terutama lewat produksi penerbitan buku-bukunya dan selebaran-selebaran yang
visioner, provokatif, dan mencerdaskan.
Secara
umum, gerakan kaum muda NU ini bersifat plural, terbuka, apresiatif terhadap
hal-hal baru, dan tetap merakyat serta sosial. Kecenderungan revolusionernya
tetap tak berkurang, namun sekarang lebih dijabarkan dengan sikap toleransi
yang tinggi, penghormatan pada hak asasi, serta konsistensi pada penguatan
masyarakat sipil.
Salah
satu hal yang menarik dari gerakan ini adalah, mereka mampu mengembangkan dan
mengapresiasi gagasan-gagasan baru dengan berpijak pada tradisi intelektual
yang kaya. Pengembangan gagasan tentang hak asasi, gender, demokratisasi, lingkungan
dan sebagainya, mereka mencari perbandinganya dari berbagai sumber. Mereka
pertemukan dengan kekayaan intelektual mereka dan dalam penerapannya mereka
gunakan idiom-idiom sendiri untuk memberikan warna pada gagasan baru itu.
Dengan demikian, ada kontinuitas yang jelas dari gerakan intelektual tersebut
dengan tradisi, dan visi yang hendak dibangun.
Mereka
melakukan kritik terus-menerus terhadap kemapanan doktrin dan kemandekan
tradisi, berdasarkan nilai-nilai etis yang mereka peroleh dari pergulatan
intelektualnya. Apapun bentuk penafsiran agama, tradisi atau ideologi yang
tidak lagi mengabdi kepada kepentingan kemanusiaan perlu digugat kembali
keabsahannya, baik karena kehilangan relevansi maupun karena sejak awal memang
dikembangkan untuk memanipulasi dan mendiskriminasikan masyarakat. Visi ini
setidaknya tercermin dari berbagai gerakan dan tulisan-tulisan mereka. Kaum
muda NU sebagai gerakan kultural dalam merumuskan rancangan ideologinya dengan melakukan
hibriditas atas wacana-wacana ideologi. Di bidang ekonomi, mereka mengambil
varian-varian teori ekonomi sosialis, di bidang politik: demokrasi, dan di
bidang kebudayaan: liberal.
Hibriditas
ini tetap berprinsip pada mempertahankan apa yang maslahat dalam wacana
terdahulu dan mengambil apa yang maslahat dalam wacana kekinian. Ini dilakukan
agar tidak mewarisi kegagalan-kegagalan ideologi lama. Kegagalan ideologi lama
menurut mereka, disebabkan oleh kepercayaan atas narasi besar bahwa ideologi tunggal mampu
menyelesaikan segala persoalan[6]
.
Yang
patut dicermati, proses pembaharuan pemikiran dan gerakan sosial yang dilakukan
kalangan muda Nahdliyin, bukan karena adanya tuntutan akademis, melainkan
lebih karena tuntutan realitas sosial yang sehari-hari mereka gumuli bersama
masyarakat akar rumput. Karena itu,
pembebasan yang dilakukan tidak hanya pada level sosial, tetapi juga pembebasan
terhadap doktrin-doktrin keagamaan dan tradisi nilai-nilai budaya yang tidak
lagi relevan dengan situasi kekinian. Gagasan liberasi ini juga ditempuh dengan
liberalisasi, yakni pembebasan cara berfikir.
Terobosan
dan loncatan yang dilakukan dengan begitu berani ini tidak lain hanya menegakkan
harkat dan martabat kemanusiaan dan keyakinan akan tradisi yang harus berubah.
Bagaimanapun pemikitan ini tidak netral, tetapi berdasarkan komitmen yang
mendalam, akan dampak pada tendensi kekiri-kirian: pemihakan pada yang
tertindas dan terlemahkan.kaum muda ini mendefinisikan diri mereka sendiri sebagai
kelompok Post-Tradisional Islam[7].
Membaca Gerak Post-Tradisionalisme Islam
Sebagaimana
diketahui bersama, Fazlur Rahman, intelektual Islam berkebangsaan Pakistan,
berpandangan bahwa sejarah gerakan pembaruan Islam selama dua abad terakhir
dapat di bagi ke dalam empat gerakan pemikiran, yaitu: [1] Gerakan ke-19 yaitu gerakan Wahhabiyah di Arab, [2] Gerakan Modernis, yang dipelopori di
India oleh Sayyid Ahmad Khan dan di seluruh Timur Tengah oleh Jamaludin
al-Afghani dan di Mesir oleh Muhammad Abduh, [3] Neo-Revivalisme, yang ‘modern’ namun agak reaksioner, dimana
al-Maududi beserta kelompok Jama’ati Islami-nya di Pakistan merupakan contoh
terbaik, dan terakhir [4] Neo-Modernisme,
Fazlur Rachman sendiri mengkategorikan dirinya ke dalam wilayah terakhir ini
dengan alas an karena Neo-Modernisme, mempunyai sintesis progresif dari
rasionalitas-modernis dengan ijtihad dan tradisi klasik.
Sejauh
ini, kita memang belum menemukan basis epistemologi dari Post-Tradisionalisme
Islam. Istilah ini muncul untuk menamai suatu gerakan yang nemiliki ciri-ciri
khusus, yang secara kategorial tidak bisa disebut Modernis, Neo-Modernis, dan
tidak bisa pula dikatakan tradisionalis
atau Neo-Tradisionalis, sebagai mana yang di ekspresikan kalangan kaum muda NU
tadi. Istilah ini memang masih debatable, belum mmiliki gambaran
epistemologis yang jelas. Akan tetapi secara simplistik, gerakan
Post-Tradisionalisme dapat dipahami sebagai suatu gerakan “lompatan tradisi”. Gerakan ini, sebagai mana Neo-Tradisionalisme,
berangkat dari suatu tradisi yang secara terus-menerus berusaha memperbaharui
tradisis tersebut dengan cara mendialogkan dengan modernitas. Karena
intensifnya berdialog dengan kenyataan modernitas, maka terjadilah loncatan
tradisi dalam kerangka pembentukan tradis baru yang sama sekali berbeda dengan
tradisi sebelumnya. Di satu sisi memang terdapat kontinuitas, tetapi dalam
banyak bidang terdapat diskontinuitas dari bangunan tradisi lamanya.
Umumnya,
bersamaan dengan pengembanga pemikitan Post-Tradisionalisme terjadi juga nuansa
“liberasi pemikiran”. Gerakan Post-Tradisionalisme yang terjadi dalam kultur NU,
akan memungkinkan NU untuk melakukan sebuah loncatan tradisi, tidak hanya
berfikir, tetapi juga dalam bertindak dan bersikap dalam era global belakangan
ini.
Mungkin
contoh yang bias dijadikan sebagai lompatan tradisi ini adalah usulan Masdar F. Mas’udi untuk menambahkan
pelaksanaan ibadah haji setahun lebih dari sekali. Sehingga, tidak hanya pada
bulan Dzulhijjah. Tetapi, ibadah haji
juga bisa dilaksanakan pada bulan-bulan lain, sesuai dengan kesepakatan
negara-negara terkait, semenjak 1 Syaal
hingga 10 Dzulhijjah. Ini di usulkannya berkaitan dengan pertimbangan
perkembangan keadaan, dimana jumlah umat Islam dari seluruh penjuru dunia yang
akan menunaikan ibadah haji terus meningkat. Sementara tempat untuk melaksanakan ibadah
tersebut sangat terbatas. Akibatnya, selain tidak tertampung seluruh jama’ah,
juga kerap kali terjadi kecelakaan akibat penuh berdesak-desakan. Usulan semacam
ini tidak memiliki rujukan tradisi pemikiran sebelumnya, tetapi cara dan
metodologi yang digunakan untuk mengusulkan tetap berangkat dan tidak keluar
dari pakem-pakem tradisi pemikiran masa lalu, yang secara genealogis
tradisionalis.
Pada
akhirnya penulis sampai pada satu kesimpulan bahwa kaum muda NU pada umunya
lebih terbuka dan jujur dalam menghadapi tantangan modernitas dari pada kelompok-kelompok muslim lainnya. Karena
saking terbukanya, usulannya juga
relatif liberal, bahlan tidak jarang menabrak sana-sini dalam lontaran-lontaran
pemikiran dan gagasannya, melampaui tradisi pemikiran yang telah mapan
sekalipun.
[1]
Baca hasil penelitian Greg barton, gagasan Islam liberal di Indonesia,
Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan
Abdurrahman Wahid 1968-1980, (Jakarta: Kerjasama Paramadina dengan Pustaka
Antara, Yayasan Adikarya IKAPI, dan The Ford Foumdation, 1999) hlm3-4
[2]
Baca Nurcholis Madjid, Islam, kemodernan, dan keindonesian (bandung:
Mizan,1987)
[3]
Baca Abdurrahman Wahid, “pribumisasi Islam”, dalam Muntaha Azhari dan Abdul
Munim Saleh, Islam Indonesia menatap masa depan, (Jakarta: P3M, 1989)
[4]
Baca Djihan Effendi , “Dialog antar Agama: Bisakah Melahirkan Teologi
Kerukunan?”, Prisma, No. 5, Jakarta, Juni, 1987, hlm. 12-17
[5]
Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa hlm 233-234
[6]
Baca “Manifesto Perang Kebudayaan” KAUMMUDA_NU 2015 di Malang, 3 maret 2001.
adapun target gerakan kaummuda_NU yang dapat di catat adalah (1) rebut
kepemimpinan moral dan inteketual disegala lini gerakan kemasyarakatan, (2)
konsisten di jalur politik ekstra parlementer berbasi multikulturalisme dengan
menghormati “orang lain” sebagai warga Negara, lengkap dengan “tradisi dan
kebudayaannya” sendiri, dan (3) menyiapkan secara serius paradigma economical
society, membangun basis ekonomi mandiri, demi penciptaan civil society.
[7]
Abdul Mun’im DZ, :Pembaruan Berbasis Tradisi Sebuah Pengantar’, pengantar dalam
Muh. Hanif Dhakhiri & Zaini Rachman, Post-Tradisionalisme Islam
Menyingkap Corak Pemikiran dan Gerakan PMII,: Isisindo Mediatama, 2000) hlm
xi