div id='fb-root'/>
  • CAKNUN.
  • Bersama Zastrow el-ngatawi
  • Jombang 1-5 Agustus 2015.

Jumat, 09 November 2012

KAOM SARUNGAN Episode 2



Kaum Sarungan
“Mengikuti kebiasaan kaum Muslimin itu penting!” kata Kiyai Maemoen Zubair, “Contohnya: sarung. Dari asal-usulnya, itu merupakan pakaian tradisional orang Birma yang Buddha. Tapi di Indonesia ini sekarang sudah jadi pakaiannya kiyai dan santri. Ya nggak usah tanya dalilnya. Masak mau pakai sarung saja nyari dalil dulu?”
Seorang Mahasiswa Universitas Al Azhar asal Indonesia berkeliaran di kota Thanta, Mesir, dengan tetap mempertahankan kebiasaannya memakai sarung –barangkali penghayatannya akan hal itu telah mencapai taraf “ideologis”. Maklum, dia itu murni makhluk pesantren yang tak pernah tersentuh pendidikan lainnya, hatta Sekolah Dasar. Ketika masuk sebuah pasar ia menjadi pusat perhatian semua orang. Mereka bisik-bisik dan ketawa-tawa. Bahkan sekumpulan anak muda meledeknya,
“Belum junub sudah keluyuran ke pasar!” teriak mereka. Santri Kendil kita merasa risih juga, tapi tak paham maksud mereka dan tak perduli.
Baginya, sarung adalah jati diri. Ia pun cuek saja saat Juma’atan seisi masjid memandanginya dengan tatapan penuh keheranan. Sampai kemudian seorang profesor dosennya menghampiri, lalu memberi nasehat,
“Kamu kalau kemana-mana mbok ya pakai celana, jangan pakai sarung,” kata profesor, “Saya tahu, kalau di Indonesia itu adalah pakaian tholabul ‘ilmi-nya santri. Tapi kalau di sini, itu pakaian jima’!”
Berkumpul singa mengaum, berkumpul kambing mengembik.
Tapi, mengaum ataupun mengembik perlu mawas diri juga.
Kang Ustad Darkum pegang mata pelajaran Fiqih di Madrasah Diniyah sore. Tapi murid-murid kelas tiga menamai pelajarannya: nonton wayang.
Kenapa?
Pintu ruang kelas itu menghadap ke Barat, menentang matahari sore. Dan Kang Darkum tak pernah mengenakan apa-apa dibalik kain sarungnya.

SUMBER : TERONG GOSONG