div id='fb-root'/>
  • CAKNUN.
  • Bersama Zastrow el-ngatawi
  • Jombang 1-5 Agustus 2015.

Selasa, 18 September 2012

Poin Penting Munas dan Konbes NU 14-17 September 2012.

Munas alim ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama yang di gelar di Ponpes Kempek Cirebon 14-17 September 2012 rencananya hari ini akan di tutup oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selain akan memberikan arahan kepada 2000 peserta yang datang dari 33 wilayah di nusantara, hari inipun akan diserahkan kepada Presiden SBY berbagai rekomendasi yang telah menjadi rumusan keputusan Munas Alim Ulama tersebut menyangkut berbagai persoalan kebangsaan, kenegaraan dan kemasyarakatan dari berbagai persfektif rujukan keagamaan



Beberapa poin penting yang muncul dalam arena Munas dan Kombes tersebut cukup menunjukan betapa NU sebagai ormas sosial keagamaan “Jam’iyyah diniyyah wal ijtimaiyyah” memberikan perhatian dan kepeduliannya yang nyata bagi masyarakat, bangsa dan negara ini. Sebagai organisasi Ulama, NU hadir dengan konsistensi sikapnya sebagai pengawal NKRI, Pancasila, dan UUD’45 yang menjadi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lahir dari kesepakatan para pendiri bangsa ini.

Betapa beruntungnya Indonesia memiliki ormas keagamaaan NU, karena mampu menjadi penyeimbang munculnya dua kutub kekuatan ekstrim. satu sisi Ekstrim kanan dengan radikalisme dan fundamentalisme hingga terorismenya, dan satu sisi dengan ekstrim kiri liberalisme dan sekularismenya. Dua kutub ini memang muncul dengan segala politik bunyi-bunyiannya masing-masing. Mereka nyaring secara diametral. Saling serang dan saling berhadap-hadapan.Menggunakan dalil dan logikanya tersendiri.

Dalam konteks kebangsaan, NU sebenarnya berada ditengah, memainkan peran dengan sikap keberagamaan dan kebangsaan yang tasamuh, tawasuth, dan i’tidal. Karena NU menyadari betul realitas sosial serta kultur di negeri ini yang memang beragam (multikulturalisme).
Dalam Munas dan Kombes NU itu terdapat hal-hal strategis yang sayang untuk dilewatkan. Ponters strategis yang menjadi konsern NU itu menunjukan bahwa NU memiliki preferensi yang kuat dan istiqomah sebagai Jam’iyyah keagamaan dan kemasyarakatan yang peduli terhadap ummat dan bangsa Indonesia. Meskipun mereka dianggap sebagai kaum sarungan, kaum tradisionalis. Tapi isu dan kajian-kajian serta pandangan fiqihnya benar-benar menunjukan lompatan yang jauh kedepan. Persoalan kekinian disikapi dengan persfektif lampau menuju implementasi kehidupan di masa depan.
Diantara hal-hal strategis yang menjadi rekomendasi Munas Alim Ulama dan konferensi Besar NU di Cirebon itu antara lain sbb: 
Pertama, Sikap NU yang tetap di tengah sebagaimana tadi dijelaskan oleh penulis. Dengan tema besar nya “Kembali ke Khittah Indonesia 1945’”  NU ingin agar bangsa ini kembali pada semangat Proklamasi, nilai-nilai luhur Pancasila, dan amanat Mukadimah UUD 1945. NU sadar betul posisi strategisnya dalam tantangan besar bangsa ini dari persfektif keagamaan dan gerakannya. Munculnya radikalisme dan fundamentalisme, hingga terorisme vis a vis dengan maraknya liberalisme dan sekularisme dalam ranah kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 

Kedua, Rekomendasi tentang tak wajib membayar pajak jika korupsi masih marak. Persoalan ini sangat mengena ke jantung permasalahan akut bangsa ini. Sebagai bagian dari gerakan moral, isu yang digelindingkan oleh para Ulama NU ini menjadi bagian dari ikhtiyar untuk mengingatkan para pemangku kebijakan di negeri ini agar amanah dan menumpas praktik korupsi.
Jika korupsi terus saja marak, aparat penegak hukum tak mampu bertindak, maka rekomendasi ini mendapatkan momentumnya, rakyat dapat menjalankan rekomendasi ini, bahwa membayar pajak tidaklah wajib. Berarti rakyat bisa memboikot pembayaran pajak kepada negara sampai negara ini benar-benar diurus dengan baik dan terbebas dari praktik korupsi. 

Ketiga, Hukuman mati bagi koruptor. Pendapat para ulama dalam munas tersebut yang mengungkapkan perlunya(diperbolehkannya) hukuman mati bagi koruptor, menjadi point penting juga yang akan menjadi dukungan moral bagi aparat penegak hukum untuk bertindak secara tegas, dan menjadi shock terapi bagi para pelaku korupsi agar tidak terus menerus berada dalam kubangan praktik dan perilaku korup. Seruan hukuman mati terhadap koruptor diambil dalam sidang Komisi A (Komisi Bahtsul Masa’il Ad-Diniyyah Al-Waqiyyah). Komisi ini membahas persoalan-persoalan kebangsaan dalam perspektif hukum Islam.
Sebagaimana diungkapkan dalam artikel Kompas.com, ”Hukuman mati boleh diterapkan setelah pengadilan mempertimbangkan pelanggarannya, baik dari jumlah uang yang dikorupsi maupun dari seberapa sering pelanggaran itu dilakukan, NU merekomendasikan hukuman mati sebagai opsi terakhir bagi koruptor, yakni ketika ia tidak jera setelah menerima hukuman penjara bertahun-tahun dan masih mengulangi perbuatannya. Hukuman mati tidak dianjurkan langsung dijatuhkan tanpa melewati syarat-syarat itu.”
Ulama NU menekankan pertimbangan hukuman mati itu pada efek jeranya. Dalam pandangan para Ulama NU, Hukum Islam sangat berhati-hati dalam menjatuhkan hukuman mati terhadap seseorang. Hukuman mati harus ditolak sepanjang masih ada keraguan dalam bentuk pelanggaran yang dilakukan. Tapi sebagai sebuah rekomendasi, pandangan ulama NU ini dapat menjadi bahan masukan pembuatan undang-undang yang mengatur tentang hukuman bagi koruptor. 

Keempat, Fatwa Haram terhadap praktik Money Politics dalam pemilu dan Pemilu Kepala Daerah. Dalam pandangan Ulama NU, politik uang merusak moral rakyat dan politisi termasuk kalangan ulama sendiri. Rakyat dididik perilaku politik yang seolah-olah segala sesuatu diukur dan ditentukan oleh uang. Jika praktik seperti ini terus terjadi dalam setiap pelaksanaan pemilu legislatif maupun memilih kepala daerah, maka dapat dibayangkan betapa akan rusaknya tatanan kepemimpinan dan kepemerintahan di negeri ini. Produk terpilih hanya hasil permainan jual beli suara yang tidak akan memberi manfaat bagi ummat. Tidak mendasarkan diri pada idealitas kepemimpinan, kualitas moral dan intelektual serta komitmen politisi itu untuk masyarakat. 

Kelima, Penghapusan Pilkada Langsung. Pemilihan langsung dalam pandangan para kiai NU hanya memberi dampak negatif (madarat), yaitu terjadinya politik biaya tinggi dan masyarakat yang akan lebih berorientasi kepada uang, dampak lebih jauhnya, ketika seseorang terpilih, banyak sekali terjadi kasus-kasus korupsi. Sehingga Pemilihan kepala daerah harus di kembalikan kepada DPRD, agar biaya politiknya bisa ditekan, dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan publik yang lebih luas dan nyata. Selain itu Pilkada langsung juga melahirkan berbagai gesekan horizontal yang luas.
Itulah beberapa point penting yang lahir dari perhelatan Munas Alim Ulama NU di Cirebon. Sebagai bentuk rekomendasi, hal-hal tersebut tentu layak untuk mendapat respon lebih lanjut dari para petinggi di republik ini dan menjadi pesan moral bagi ummat. Tentu Munas itu juga melahirkan banyak rumusan lain yang bersifat internal terhadap warga NU, ummat Islam pada umumnya. Serta beberapa rekomendasi lain yang berhubungan dengan persoalan-persoalan kekinian yang perlu disikapi.


Tidak ada komentar: