Suatu cerita :
MASJID DAN GAMELAN
K.H Chudlori |
Mereka menceritakan bahwa pada saat itu bondo deso (kas desa) yang terkumpul sedang disengketakan oleh warga. Satu fihak menginginkan kas desa digunakan untuk merehabilitasi bangunan masjid.
Sedang sebagian warga yang lain menginginkan kas desa itu digunakan untuk membeli gamelan (seperangkat alat musik tradisional jawa).
Musyawarah demi musyawarah warga desa itu tidak kunjung menghasilkan kesepakatan, dan satu-satunya kesepakatan yang mereka buat adalah meminta “fatwa” dari Kyai Chudlori.
Betapa tercengang Gus Dur karena diluar dugaannya, Kyai Chudlori memberikan fatwa bahwa sebaiknya kas desa itu dibelikan gamelan.
Hal yang sama juga terjadi di fihak warga yang menginginkan rehabilitasi masjid, mereka mempertanyakan fatwa Kyai Chudlori.
Dengan jawaban singkat Kyai Chudlori menjawab, “Nanti kalau gamelannya sudah ada, kelak masjidnya akan jadi dengan sendirinya”.
Mungkin peristiwa inilah awal perkenalan Gus Dur pada pemikiran kontroversi.
Dan memang seperti yang dikatakan Kyai Chudlori, dikemudian hari masjid itu benar-benar bisa dibangun dengan kerukunan warganya.
Sebuah produk pemikiran yang menggambarkan kecerdasan emosi dan spiritual luar biasa tercermin dari fatwa Kyai Chudlori.
Kyai yang menantu KH Dalhar pendiri Ponpes Watucongol itu sadar benar bahwa masjid bukan sebuah tujuan, melainkan sarana menuju Tuhan.
Sedangkan untuk mewujudkan sarana itu mustahil terjadi tanpa kekuatan (dukungan) masyarakatnya.
Sejurus dengan itu kekuatan masyarakat hanya akan terbentuk dengan soliditas (kerukunan).
Kyai Chudlori memiliki visi yang kuat bahwa dengan alasan apapun masjid sebagai sebuah simbol agama tidak boleh menjadi pemicu konflik umat.Tidak boleh menjadi sumber konflik umat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar