Bulan Ramadan selalu terasa lebih semarak dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Salah satu kesemarakan itu bisa kita rasakan saat hari menjelang petang, menjelang saat berbuka puasa. Orang-orang membuat beragam kegiatan dalam rangka menunggu waktu berbuka puasa. Ada yang mengisinya dengan nongkrong bersama teman, jalan-jalan sore, atau berbelanja ke pusat perbelanjaan, atau pusat jajanan. Ada pula yang mengisinya dengan mengikuti pengajian, pesantren kilat, tadarus Alquran, diskusi, atau sekadar membaca buku. Semua kegiatan itu mereka namakan dengan istilah “ngabuburit.”
Ya, kata ngabuburit begitu sering kita dengar selama Ramadan. Padahal di luar Ramadan, jarang sekali kita mendengar penggunaan kata tersebut. Kata ngabuburit pun semakin luas penggunaannya: iklan-iklan di televisi, tulisan-tulisan di media massa semakin kerap menggunakan dan menuliskannya. Berkat media massa pula kata ngabuburit “menasional, mengindonesia”. Akan tetapi, ternyata masih banyak orang (khususnya di luar masyarakat Sunda) yang belum memahami arti sekaligus mengetahui asal kata ini.
Kata ngabuburit berasal dari bahasa Sunda. Dalam Kamus Bahasa Sunda yang diterbitkan Lembaga Basa dan Sastra Sunda (LBSS), ngabuburit berarti ngalantung ngadagoan burit, yang artinya kurang lebih bersantai-santai sambil menunggu waktu sore. Kata ngabuburit dibentuk dari kata dasar “burit” yang memperoleh proses reduplikasi dwipurwa (pengulangan suku kata pertama) dan penambahan prefiks nga- (imbuhan bahasa Sunda) yang membentuk kata kerja. Kata dasarnya sendiri, yaitu “burit” sebetulnya tidak ada hubungannya dengan puasa (“burit” berarti sore). Artinya, pada awalnya kegiatan ngabuburit tidak harus pada bulan Puasa saja. Dugaan saya, karena istilah ngabuburit lebih sering dan lebih banyak digunakan dan dilakukan orang pada bulan Puasa sebagai kegiatan menunggu waktu berbuka, akhirnya pemaknaan ngabuburit menyempit dan dipahami sebagai menunggu saatnya buka puasa. Pengertian itu sejalan dengan makna ngabuburit yang tercantum dalam Ensiklopedia Sunda: menunggu saat berbuka puasa sambil mengerjakan sesuatu atau bermain-main, berjalan-jalan sekadar melupakan perut lapar sampai magrib.
Kata “burit” merupakan representasi waktu yang menunjukkan keadaan alam pada saat menjelang tenggelamnya matahari atau situasi saat hari mulai gelap (senja). Pada masyarakat Sunda zaman dahulu, tanda-tanda menjelang “burit” atau suasana menjelang magrib ditandai dengan mulai munculnya kelelawar yang beterbangan dan ayam-ayam masuk paranjé (kandang ayam). Oleh karena itu, menurut cerita kakek-nenek saya, ada semacam lelucon, jika mereka sudah tidak sabar menunggu suara beduk magrib dari masjid, mereka dengan sengaja memukul-mukul atau mengganggu sarang kelelawar supaya segera keluar dari sarang.
Tidak seperti bahasa Indonesia yang merepresentasikan waktu dalam sehari semalam cukup dengan kata pagi, siang, sore, malam, dan dini hari, dalam bahasa Sunda waktu direpresentasikan dengan banyak sebutan. Misalnya; wanci (waktu/saat) janari gedé (kira-kira pukul 1.00 – 3.00); wanci janari leutik (kira-kira pukul 3.30 – 4.30); wanci balébat (waktu fajar mulai tampak, pukul 4.30); dan seterusnya.
Melihat fakta kata ngabuburit yang semakin luas penggunaannya di masyarakat, wajar jika kata itu dimasukkan ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Hasilnya, sekarang, penulis atau wartawan tak perlu lagi memiringkan kata ngabuburit saat membuat tulisan. Kata “burit” dan “ngabuburit” resmi menjadi lema (entri) ataupun sublema dalam KBBI Pusat Bahasa Edisi Keempat yang sudah terbit. Tahun terbitnya (yang resmi) 2008 tetapi baru diluncurkan ke pasaran sekitar Januari 2009. “Ngabuburit” berstatus sublema dari lema “burit” (sore), tercantum di halaman 226. Oleh KBBI, ngabuburit diartikan sebagai kegiatan menunggu azan magrib menjelang berbuka puasa pada waktu bulan Ramadan. Jadi, maknanya mengalami penyempitan dari makna kamus bahasa Sunda.
Selain kata burit dan ngabuburit, beberapa kosakata yang berasal dari bahasa Sunda resmi menjadi lema (entri) ataupun sublema pada KBBI Pusat Bahasa Edisi Keempat. Kata-kata tersebut di antaranya lema “goyobod” tercantum di halaman 461, berarti minuman, dibuat dari tepung kanji dicampur dengan agar-agar yang diiris persegi, dan dicampur dengan avokad, sirop, dan es. Lalu, kata “kabita” tercantum sebagai lema di halaman 597, berarti tertarik dan menginginkan sesuatu yang dimiliki atau dialami orang lain. Kata-kata baru lainnya yang berasal dari bahasa Sunda adalah “aom” (hlm. 79), “bobotoh” (hlm. 202), “cunihin” (hlm. 280), “gurandil” (hlm. 468), dan “jatnika” (hlm. 570).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar