div id='fb-root'/>
  • CAKNUN.
  • Bersama Zastrow el-ngatawi
  • Jombang 1-5 Agustus 2015.

Selasa, 17 Mei 2011

RAIMU

Serial Jon Traktor
Hampir saja mata ini terpejam dipeluk lelahnya jiwa dalam kegelapan kamar kosan. Pintu kosan telah terkunci rapat dan saya telah bersiap diri untuk menikmati dimensi yang lebih nyaman, dimensi mimpi. namun di terakhir kedipan mata sebelum terlelap, sesosok makhluk kurus tinggi muncul menembus dinding kosan. tentu saja kejadian ini di luar dugaan saya, – meskipun saya tidak tersentak – karena sesosok makhluk itu telah ku kenal sejak enam tahun yang lalu. ia adalah Jon Traktor, kawan lama yang selalu mengingatkan saat ku lupa, dan sekaligus menyemangati ketika ku jatuh terjerembab. namun kali ini ia datang dengan air muka yang merah padam, seakan tengah kesal dengan sesuatu yang menimpanya hari ini. “Tak perlu kau menyalakan lampu, negeri ini harus belajar hemat. meskipun tak boleh pelit,” katanya saat aku hendak memencet tombol saklar.
“Apa gerangan yang membuatmu datang malam-malam, menembus tembok, dan membawa wajah seperti itu? kau lagi banyak masalah ya? biarpun saya tidak lebih pintar darimu, cerita lah… meskipun belum tentu saya bisa membantumu..” aku mencoba menenangkannya.

“Sialan! saya marah pada Raimu!” bentaknya. meskipun suaranya begitu keras, namun seakan tak mengganggu sedikitpun rekan-rekan kosan lain yang tengah terlelap. Bentakannya seolah lenyap dalam keheningan malam.
“Marah ke saya? Apaan? Wong saya hari ini ndak ngapa-ngapain kok, apalagi membuatmu marah?” aku mengelak.
“Raimu sudah merasa suci ya, hingga menganggap boleh untuk menyombongkan diri?!” nada suaranya masih tinggi.
“Tunggu-tunggu, apalagi nih??? Merasa suci? Menyombongkan diri? Apa maksud’e, Jon???” aku semakin kebingungan.
“Kau lupa?! Setelah engkau menyombongkan diri, dengan mudahnya kau melupakan kesombonganmu?! Hari ini kau berkali-kali mengatakan ‘Cinta pada Allah-Cinta pada Allah’, apa kau tidak merasa telah menyombongkan diri?! Ia menceramahiku dengan berbagai bentakan yang tak bisa kuredam.
“Lho? Memang benar kan, saya lagi belajar mencintai Allah? Apanya yang sombong, Jon…?” aku mencoba sabar. Ia memang tipe orang yang tak sabaran. Mudah menilai orang lain. Namun aku selalu salah menilainya, dari dulu omongannya selalu ‘memukul’-ku dari dalam, mungkin juga kali ini. Tapi ia jarang memarahiku jika memang aku melakukan kesalahan fatal.
“Kalau raimu memang lagi belajar mencintai Allah, mengapa kau masih mengharapkan pahala-Nya?! Masih menginginkan syurga-Nya?! Dan masih ketakutan memasuki neraka-Nya? Raimu ngomong Cinta pada Allah, tapi masih bisa melangkahkan kaki di Bumi-Nya tanpa berdzikir mengingat-Nya di setiap langkahmu?! Bershalawat di setiap nafas dan detak jantungmu sebagai bukti kau mencintainya?! Tapi apa yang kau lakukan di setiap langkahmu itu, hah?! Sibuk lirik sana-lirik sini!” ia mulai mencecarku dengan kesalnya. Nampaknya memang guru-ku yang satu ini melihat kesalahan ku dalam kehidupan ini untuk kesekian kalinya.
“Apaan? Jangan asal nuduh gitu dong! Kau tahu sahabatmu ini laki-laki culun, laki-laki pemalu! Aku lebih focus ke rokok saat aku berjalan, Jon!” aku tergerak juga untuk balik memarahinya. “Memang benar, saya belum bisa melakukan apa yang kau ucapkan itu. Karena memang aku belum mengenal Tuhanku secara sempurna. Dan tolonglah… ajari aku agar bisa seperti itu..” aku mencoba menenangkan diri, tidak membalas kekesalannya kepadaku.
“Nah itu! Raimu ngomong sendiri belum mengenal Tuhanmu secara sempurna, lalu bagaimana mencintainya jika kau belum mengenal-Nya? Sudahlah, kau cukup menjadi pragmatis saja dihadapan Tuhanmu. Menjadi manusia yang masih mengharap syurga meskipun telah diberi berbagai kenikmatan di dunia! Lepaskan itu, simbol-simbol keagamaan yang ada pada dirimu, jangan sok alim!” ucapannya semakin menusuk ke dalam relung nuraniku. “Raimu belum bisa mengucapkan salam pada siapapun yang kau temui, padahal kau tahu, salam adalah ungkapan Cinta Universal yang Tuhan berikan lewat Muhammad sang rasul sebagai bentuk konkret Cinta-Nya pada seluruh alam. Sebagai rahmatan lil alamin! Tidak tersekat agama, jenis kelamin, apalagi suku dan ras! Kau jangan sok suci!”
Brengsek! Dia ‘menelanjangi’-ku dengan ocehan-ocehan-nya yang menyakitkan hati. Aku benar-benar kalah telak. “Tapi Jon –“
“Tapi apa?! Kau masih menyombongkan diri? Seberapa sakitkah saat raimu melihat saudara-saudaramu di pelosok Nusa Tenggara sana, yang mati karena kelaparan dan gizi buruk?! Bisakah kau merasakan pahitnya menjadi anak-anak kecil yang harus mengais rizki-Nya di waktu mereka belajar dan bermain? Dan mampukah kau merasakan betapa getirnya keluargamu yang lelah setengah mati mencari ‘rupiah’ untuk sekolahmu yang hampir-hampir percuma?!” ia memotong pembicaraanku dan kembali berceloteh ria tanpa bisa ku hentikan barang sedetik.
“Cukup, Jon! Cukup! Saya bukan manusia seperti itu! Meskipun saya juga belum bisa menjadi manusia yang sempurna! Jangan-jangan, kau akan meninggalkanku karena kesalahan ini, ya?”
“Kau takut?! Kau seharusnya tahu, ketika kau dijauhi semua orang, kau bisa lebih bebsa untuk mengenal-Nya, untuk mencintai-Nya! Ketika tak ada seorangpun yang memperhatikan dan mempedulikanmu, kau bisa berbuat apapun tanpa ragu! Ketakutanmu dijauhi orang, menandakan kau masih berharap pada sesuatu yang sebenarnya tak pantas sedikitpun kau berharap padanya. Hentika harapanmu itu, sekalipun pada Tuhan,” ia mulai mereda.
“Lha? Kalau ndak berharap ke Tuhan, berarti harus apa saya ke Tuhan?”
“Kau memang inkonsisten. Hilangkanlah harap dan takutmu itu pada Tuhan. Karena Tuhan tidak pernah mengajari makhluknya untuk takut dan harap pada-Nya. Tapi Ia selalu mengajarkan Cinta, hanya kitalah yang terlalu bodoh dengan ‘ucapan’-Nya,”
“Tapi kalau aku dijauhi orang-orang karena Cintaku pada-Nya, bagaimana, Jon?”
Ia hilang secepat angin. Pertanyaanku tak dijawabnya. Ia lenyap dalam kegelapan kosan bersamaan rintik hujan yang turun dari langit yang mendung dari sore hari. Pertanyaanku menggantung, bersamaan robohnya tubuhku dipangkuan kasur. Sejenak sebelum terlelap, aku teringat dengan apa yang ia sampaikan padaku tiga tahun lalu, sebelum aku merantau ;
“Jika kau mencintai Tuhan dengan benar, kau tidak akan dijauhi oleh siapapun, bahkan kupu-kupu dan kumbang pun seakan ingin mendekatimu. Hidupku adalah memahami dan melengkapi. Aku akan selalu berusaha untuk memahami setiap orang, bahkan setiap makhluk, meskipun masih dalam tahap belajar dan seringkali berat, tapi akan terus aku coba. Sebaliknya, aku tidak akan mengharapkan orang lain untuk memahamiku. Dan aku akan melengkapi kekurangan orang-orang yang ada di sekitarku dengan sedikit kelebihan yang ada pada diriku, meskipun sekedar do’a. namun aku tidak akan berharap orang lain menutup begitu besar kelemahan yang ada pada diriku. Aku akan menutupi kekuranganku dengan terus belajar dari apa yang ada di alam, dari setiap gerak alam ini. Hingga akhirnya aku sempurna dijemput oleh-Nya…

Tidak ada komentar: