div id='fb-root'/>
  • CAKNUN.
  • Bersama Zastrow el-ngatawi
  • Jombang 1-5 Agustus 2015.

Rabu, 02 Maret 2011

Implementasi Landasan Aswaja dalam konteks Gerakan

Aswaja sebagai manhaj fikr dan manhaj taghayyur al-ijtima’ bisa kita tarik dari nilai-nilai perubahan yang diusung oleh Nabi Muhammad dan para sahabat ketika merevolusi masyarakat Arab jahiliyah menjadi masyarakat yang tercerahkan oleh nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan universal. Ada dua hal pokok yang menjadi landasan perubahan itu :

 Basis epistemologi, yaitu cara berfikir yang sesuai dengan kebenaran qurani dan sunnah nabi yang diimplementasikan secara konsekwen dan penuh komitmen oleh para pemikir dalam historisitas asawaja yang terbingkai dalam enam poin tersebut.
 Basis realitas, yaitu Dialektika antara konsep dan realita yang selalu terbuka untuk dikontekstualkan sesuai dinamika perubahan dan lokalitas serta keberpihakan kepada kaum tertindas dan masyarakat lapisan bawah.P
Dua basis ini terus menjadi nafas perubahan yang diusung oleh umat Islam yang konsisten dengan aswaja, termasuk di dalamnya PMII. Konsistensi di sini hadir dalam bentuk élan dinamis gerakan yang selalu terbuka untuk dikritik dan dikonstruk ulang, sesuai dengan dinamika zaman dan lokalitas. Dia hadir tidak dengan klaim kebenaran tunggal, tetapi selalu berdialektika dengan realitas, jauh dari sikap eksklusif dan fanatik. Maka empat landasan yang dikandung oleh aswaja, untuk konteks sekarang harus kita tafsirkan ulang sesuai dengan perkembangan teori-teori sosial dan ideologi-ideologi dunia.
Tawassuth harus kita maknai sebagai tidak mengikuti nalar kapitalisme-liberal di satu sisi dan nalar sosialisme di sisi lain. Kita harus memiliki cara pandang yang otentik tentang realitas yang selalu berinteraksi dalam tradisi. Pemaknaannya ada dalam paradigma yang dipakai oleh PMII yaitu paradigma kritis transformatif.
Walaupun dalam kerangka konseptual Aswaja menekan pandangan yang sangat moderat, itu tidak bisa diartikan secara serampangan sebagai sikap sok bijak dan mencari selamat serta cenderung oportunis. Tetap ada prinsip-prinsip dasar yang harus dipegang dalam Aswaja. Selengkapnya lihat tabel:

Aqidah Sosial/Politik Istinbath al-ahkam
• Uluhiuat
• Nubuwat
• al-Ma’ad
(Eskatologis) • Al-Syura
• Al-Adl
• Al- Hurriyah
• Al-Musawah
• Ilimu sosial humaniora • Al-Qur’an
• Al-Hadits
• Al-Ijma’
• Al-Qiyas
• Ilimu sosial humaniora
Jadi misalnya, dalam Aswaja tidak ditekankan bentuk negara macam apayang dibentuk: republik, Federal, Islam atau apa pun. Akan tetapi bagi Aswaja apa pun bentuk negaranya yang terpenting prinsip-prinsip di atas teraplikasikan oleh pemerintah dan segenap jajarannya. Sekaligus, juga Aswaja tidak melihat apakah pemimpin itu muslim atau bukan asal bisa memenuhi prinsip di atas.
Tasamuh harus kita maknai sebagai bersikap toleran dan terbuka terhadap semua golongan selama mereka bisa menjadi saudara bagi sesama. Sudah bukan waktunya lagi untuk terkotak-kotak dalam kebekuan golongan, apalagi agama. Seluruh gerakan dalam satu nafas pro-demokrasi harus bahu membahu membentuk aliansi bagi terbentuknya masyarakat yang lebih baik, bebas dari segala bentuk penindasan dan penjajahan. PMII harus bersikap inklusif terhadap sesama pencari kebenaran dan membuang semua bentuk primordialisme dan fanatisme keagamaan.
Tawazun harus dimaknai sebagai usaha mewujudkan egalitarianisme dalam ranah sosial, tidak ada lagi kesenjangan berlebihan antar sesama manusia, antara laki-laki dan perempuan, antara kelas atas dan bawah. Di wilayah ekonomi PMII harus melahirkan model gerakan yang mampu menyeimbangkan posisi Negara, pasar dan masyarakat. Berbeda dengan kapitalisme yang memusatkan orientasi ekonomi di tangan pasar sehingga fungsi negara hanya sebagai obligator belaka dan masyarakat ibarat robot yang harus selalu menuruti kehendak pasar; atau sosialisme yang menjadikan Negara sebagai kekuatan tertinggi yang mengontrol semua kegiatan ekonomi, sehingga tidak ada kebebasan bagi pasar dan masyarakat untuk mengembangkan potensi ekonominya. Di wilayah politik, isu yang diusung adalah mengembalikan posisi seimbang antara rakyat dan negara. PMII tidak menolak kehadiraan negara, karena Negara melalui pemerintahannya merupakan implementasi dari kehendak rakyat. Maka yang perlu dikembalikan adalah fungsi negara sebagai pelayan dan pelaksana setiap kehendak dan kepentingan rakyat. Di bidang ekologi, PMII harus menolak setiap bentuk eksploitasi alam hanya semata-mata demi memenuhi kebutuhan manusia yang berlebihan. Maka, kita harus menolak nalar positivistik yang diusung oleh neo-liberalisme yang menghalalkan eksploitasi berlebihan terhadap alam demi memenuhi kebutuhan bahan mentah, juga setiap bentuk pencemaran lingkungan yang justru dianggap sebagai indikasi kemajuan teknologi dan percepatan produksi.
Ta’adul sebagai keadilan sosial mengandaikan usaha PMII bersama seluruh komponen masyarakat, baik nasional maupun global, untuk mencapai keadilan bagi seluruh umat manusia. Keadilan dalam ranah ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, dan seluruh ranah kehidupan. Dan perjuangan menuju keadilan universal itu harus dilaksanakan melalui usaha sungguh-sungguh, bukan sekadar menunggu anugerah dan pemberian turun dari langit.
Kemudian dari keempat landasan (bingkai) dan prinsip dalam hal perubahan inilah yang menurunkan Nilai-nilai pergerakan

Catatan Akhir :
Berdasarkan Uraian diatas, kita dapat memahami bahwa Aswaja sebagia manhajul fikr dalam Historisitasnya berusaha dengan sungguh-sungguh menyusun agenda metodologis yang sesuai dengan perubahan zaman dengan mencoba menggabungkan dari berbagai metodologi-ulama pada zaman sekarang dan sebelumnya. Dengan melacak akar historisnya, karena sejarah adalah sistem yang membangun masa kini dan yang akan datang. Metodologi yang dimaksud disini adalah menjadikan al-Qur'an, hadits dan metodologi-ulama baik dari Timur maupun barat sebagai kerangka Epistemologi dan Aksiologi bagi kader PMII dalam menafsirkan dan mentransformasikan realitas. Sehingga epistemologi ini tampak abstrak karena terdapat berbagai varian metodologi yang kesemuanya masih dalam Lingkup Aswaja dan sulit ditemukan benang merahnya. Bahkan sampai sekarang, metodologi tersebut belum ditemukan. Hal ini berbeda ketika Aswaja sebagai manhaj mazhab, disini metolodogi sangat jelas yakni berdasarkan metodologi yang disusun oleh para Imam Mazhab (Qonun Asasi) semisal kaidah uul fiqh dan Qiyasnya Syafi;I, istihsanya maliki, masalaha mursalah, dll. Sedangkan paradigmanya dan orientasinya adalah fiqh. Meski dalam perjalanannya dianggap tidak relevan.
Maka menjadi tugas kita bersamalah untuk membuat satu tawaran alternatif metodologi baru bagi ruh perjuangan PMII yang mampu mengkombinasikan antara barat dan timur yang sesuai dengan konteks Masyarakat Indonesia pada khusunya dan Umat muslim pada umumnya. Yang pada gilirannya Para kader PMII khusunya di Jogjakarta tidak kebingungan dalam hal metodologi baik dalam menafsirkan teks maupun membaca realitas dengan komitmen sosial yang tinggi. wallahu a'lam wi al-shawab.

Tidak ada komentar: